Bab 3: Dicelakai?

1275 Words
Di atas pelaminan, Dinar sedang menangis sesenggukan. Bagaimana pun kehadiran Dhana semakin membuatnya merasa berat untuk menjalankan pernikahan ini. "Sudah lah, Nak. Tak perlu larut dalam kesedihan, Ibu yakin kamu pasti bisa melewati semua ini dengan baik. Kamu boleh sedih untuk sekarang ini, tapi nanti atau besok, kamu harus lebih ikhlas menjalaninya karena pernikahan itu bukan mainan," bisik Widyawati. Ia masih mendekap tubuh Dinar yang terduduk sambil memeluknya dengan terisak. "Saya tidak akan memaksa jika kamu keberatan dengan pernikahan ini. Kamu bisa mengajukan gugatan cerai setelah ini," lirih Arya. Ia merasa malu dengan sikap Dinar yang seperti tidak mengharapkannya. Dinar mendongak, lalu menoleh pada lelaki yang baru saja sah menjadi suaminya. "Jangan asal kamu!" hardik Rahman kesal. Ia baru saja berdiri di dekat Widyawati untuk mengajaknya turun. "Dia sendiri tidak menerima pernikahan ini, untuk apa dilanjutkan," oceh Arya tak peduli. "Nak, jangan begini," bisik Widyawati. "Pernikahan bukan mainan, yakinlah Arya adalah yang terbaik untuk kamu." Perlahan Dinar mengusap air matanya. Ia mengela napas dalam dan mencoba untuk tenang agar bisa menerima kenyataan hidupnya. "Baik lah, saya tidak akan bersedih lagi. Saya menerima pernikahan ini," ujar Dinar mantap. Nasi sudah menjadi bubur, pernikahan sudah sah terjadi, tak mungkin juga tiba-tiba memutuskan untuk berpisah setelah memutuskan bersama. Jalan satu-satunya hanya menjalaninya walau terasa berat. Ponsel Widyawati berbunyi saat ia sedang menyalami para tamu undangan. Setiap kata maaf terlontar dari bibirnya bagi undangan yang menyaksikan pertengkaran Dinar dengan Sitta diatas panggung pelaminan. "Bu, kondisi Pak Ridwan kritis," ujar kerabat yang sedang berjaga di rumah sakit setelah panggilan terhubung. Tanpa basa basi lagi, Widyawati segera pergi tanpa memberitahu Dinar dan Arya. "Paaakkk!" teriak Widyawati keras. Ia meraung melihat tubuh sang suami sudah ditutupi kain putih hingga ujung kepala. Perempuan paruh baya itu menggoyang-goyangkan tubuh suaminya agar terbangun dari tidur tanpa nafasnya. Tak henti ia menepuk pipi lelaki renta yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Tapi tetap saja tubuh itu tak bergerak sedikitpun. "Maaf, Bu. Beberapa menit setelah saya menghubungi Ibu, Bapak menghembuskan napas terakhirnya. Dokter sudah melakukan yang terbaik, sudah memberikan kejut jantung agar jantung Bapak kembali normal tapi tetap saja. Tangis Widyawati menganak sungai. Ia meraung hingga tubuhnya luruh ke lantai. Suami yang menikahinya dua puluh delapan tahun lalu itu menghembuskan napas terakhir tanpa dirinya di sisinya. Widyawati menyesali itu. Seseorang sedang mengintip tingkah Widyawati dari balik celah pintu. Ia lantas mengambil ponselnya dan menghubungi orang suruhannya. "Beres, Bos." Jenazah Ridwan dibawa kembali ke rumah pada malam harinya. Dinar tak dibolehkan datang ke rumah sakit karena kondisi fisiknya yang lelah dan letih. Rahman merasa mendapat angin segar. Ada kelegaan saat kabar duka itu sampai di telinganya. Tapi ia berusaha menutupi rasa itu dalam hatinya agar terkesan turut bersedih. "Sabar ya, Wid," ujar Rahman saat jenazah Ridwan sudah berada di rumah duka. Ia duduk di samping jenazah Ridwan. "Ini terlalu cepat, Mas," ujarnya lirih. Ia merangkul tubuh suaminya yang sudah terbujur kaku. Air matanya tumpah ruah. "Paak," teriak Dinar. Ia meraung dengan wajah yang masih penuh dengan riasan make up. Kebahagiaan yang selalu didamba setiap pasangan pengantin baru tak ia dapatkan sama sekali. Arya hanya memandang Dinar dengan tatapan iba. Bagaimana pun tak sukanya ia dengan pernikahan ini, Arya tetap manusia yang punya hati. Ia turut berbela sungkawa dengan musibah yang menimpa keluarga istrinya itu. Tak butuh waktu lama jenazah sudah siap untuk dimakamkan. Empat orang penyangga keranda siap untuk melangkah. Tapi seseorang tiba-tiba saja datang dan meminta satu bagian kayu penyangga untuk digantikan dirinya. "Permisi, Pak. Biar saya bantu," ujar lelaki itu. Widyawati yang melihat kejadian itu segera saja berteriak. "Jangan! Jangan berikan pada lelaki itu. Dia penyebab suami saya meninggal!" teriak perempuan bergamis hitam itu. Ia berlari mendekati sisi keranda yang hendak digantikan oleh Dhana. Dhana hanya mematung mendengar ocehan Widyawati. Ia menyadari kesalahan yang dibuatnya tapi tak menyurutkan niatnya untuk datang ke rumah duka. Baginya Ridwan adalah ayahnya juga. Hubungan yang sudah berjalan lama membuat anggota keluarga Dinar dianggap seperti keluarga sendiri oleh Dhana. "Bu, sudah!" ujar Dinar menenangkan. Ia merangkul pundak ibunya agar tak lagi membuat kegaduhan. "Tidak, Nak! Ibu tidak rela jenazah ayahmu dipegang oleh dia! Dia penyebab semua ini terjadi!" teriaknya lagi. Widyawati bahkan tak peduli dengan kehadiran banyak orang disekitarnya. Ia terus saja meraung. "Permisi, Mas. Sebaiknya Mas minggir dulu biar ngga bikin keributan. Kasihan istri almarhum," ujar seseorang pemegang tandu jenazah yang digantikan oleh Dhana. Dengan sopan Dhana memberikan kembali pegangan tandu itu dan menyisih. Ia menghormati kondisi Widyawati yang masih terpukul atas musibah yang menimpa ini. Pemakaman akhirnya berjalan lancar. Widyawati enggan untuk kembali pulang. Ia masih saja meraung di atas pusara Ridwan yang telah menghadap Sang Khaliq. "Bu, sudah, jangan begini." Dinar berusaha menenangkan. Ia memegang bahu Widyawati untuk diusapnya lembut. "Tidak, Nak. Waktu ibu tinggal kondisi Bapakmu sudah lumayan membaik. Ini mustahil terjadi. Ibu nggak rela! Ibu nggak bisa jauh dari Bapakmu, Nak!" Air mata Widyawati terus saja membanjiri kerudung yang dikenakannya. Ia bahkan memeluk nisan yang bertuliskan nama lelaki yang telah menggantikan tanggung jawab atas dirinya dari almarhum bapaknya. "Wid, sudah, jangan terlalu ditangisi. Kasihan Ridwan sudah tenang di sana." Rahman mencoba mendekat. Gemetar tangannya saat hendak memegang tubuh wanita yang dipujanya itu. Rasa yang ia pendam sekian tahun membuat jantungnya berlompatan saat berada di dekat Widyawati. Ada desir halus dalam dadanya saat kulitnya dan kulit Widyawati bersentuhan. Tapi Rahman berusaha menetralisir rasa itu agar tak terlalu kentara. Bagaimana pun Widyawati sedang berduka, tak baik jika ia menyampaikan perasaaan itu saat ini. "Mas Ridwan, Mas. Dia pergi dariku," ujar Widyawati sambil terisak. Ia meraih tangan Rahman ke dalam genggamannya. Rahman menepuk lembut punggung tangan Widyawati agar ia merasa tenang. "Sabar ya? Ini ujian buatmu. Yang ikhlas agar jalannya lapang menuju sisi Illahi." "Mas Ridwaan," rengek Widyawati lagi. Ia terus saja mengusap nisan itu dengan tangannya yang putih bersih. "Ibuu, sudahh." Dinar turut memeluk tubuh Widyawati. "Sudah, Nak. Ajak ibumu berdiri. Hari sudah larut. Tak baik jika berlama-lama di area makam." Rahman memberikan intruksi pada Dinar. "Yuk, Bu. Bapak sudah tenang. Ibu jangan bersedih lagi." Arya dan Rahman berjalan lebih dulu ke tempat mobil mereka diparkirkan. Disusul kemudian Dinar dan Widyawati di belakang mereka. Widyawati berjalan sempoyongan sambil dipapah oleh putri tunggalnya. Tangan Dinar memeluk tubuh ibunya agar tak terjatuh. Kerudung yang dikenakannya sudah basah oleh air mata dan percikan lumpur bekas tanah makam yang menempel di nisan Ridwan. * "Tunggulah di sini dulu. Istri dan mertuamu masih berduka. Hormati mereka," ujar Rahman saat Arya meminta izin untuk kembali ke kota. "Tapi, Paa!" sanggah Arya. "Arya! Ingat status kamu sekarang sudah bukan pria single lagi. Kamu sudah menikah, apa iya istrimu sedang berduka tapi kamu mengajaknya balik? Kerjaan bisa dihendel sama yang lainnya. Kamu tunggu istrimu di sini saja," sahut Rahman tak mau kalah. Bagaimana pun masih menjadi kewajiban Rahman untuk mengingatkan putranya bagaimana harus bersikap sebagai seorang suami. Arya tak lagi berani menolak. Ia diam dan pergi menuju kamar pengantinnya. Pengantin baru itu merebahkan diri disisi ranjang sambil memainkan ponselnya. "Mari makan, Mas," ajak Dinar yang baru saja masuk ke dalam kamar. "Aku nggak lapar." Dinar hanya terdiam mendengar ucapan ketus suaminya. "Nanti kalau lapar, Mas bilang sama aku biar aku siapkan," ucap Dinar. Ia memandang suaminya yang sedang memainkan ponsel dengan wajah kecewa. "Hemm." Mata Arya terus saja menatap layar ponsel dengan jari yang tengah menari di atas keyboard dengan lincahnya. Keningnya sesekali berkerut membaca pesan balasan dari seseorang yang sedang mengisi relung hatinya. [Kamu tahu kan, ini terpaksa kulakukan. Aku sungguh masih cinta kamu!] [Bohong] [Sungguh, Yank. Aku cinta kamu, sampai mati] [Aku butuh bukti, bukan sekedar bualan] [Harus apa aku buktikan cintaku padamu? Keadaan ini sungguh bukan mauku.] [Jangan sentuh dia, bisa? Kamu hanya milikku. Aku nggak rela kamu tidur seranjang dengan dia]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD