Part 18

2075 Words
Sandi dan Reza memang bersahabat meskipun tidak satu angkatan. Selisih satu tahun, tetapi usia mereka berbeda dua tahun. Saat SMA mengikuti program akselerasi, sehingga lebih cepat satu tahun. Juga, saat kuliah, laki-laki itu lulus tepat waktu, empat tahun pas. Tidak ada mata kuliah yang mengulang. Saat PPL dulu, Sandi juga mengerjakan tugasnya dulu. Beruntung, keduanya selesai tepat waktu. Pembimbing tugas akhir Sandi kebetulan memudahkan semuanya. Tidak membuatnya terhambat atau tertekan. Entah karena memang Sandi cerdas atau karena kebaikan beliau. Keduanya saling berhubungan. Tidak akan lulus jika tugas akhir tidak dikerjakan dengan baik. Kondisi jalanan saat ini masih macet. Runi mulai bosan dan lelah. Ingin rasanya memejamkan mata, tetapo rasanya tidak sopan jika tertidur dan membiarkan Sandi sendirian. Sudah baik mendapat tumpangan. Jika tidak? Entahlah, mungkin hingga malam masih berdiam di depan gerbang yayasan tanpa tahu kapan harus pulang. Runi mengambil ponsel dari dalam tas ransel bagian depan. Ia mendesah pelan. Ponselnya benar-benar mati kehabisan daya. Runi takut jika sang papa mencarinya ke sekolah dan bingung. Sandi rupanya memerhatikan tingkah polah sosok penumpang yang duduk di belakangnya. "Mau telepon orang rumah?" Sandi mengangsurkan ponselnya ke arah Runi. Runi terperanjat karena mendadak ada tangan di depannya. Ia gugup karena tidak mengira jika Sandi memerhatikannya sejak tadi. Runi mengambil ponsel itu, tetapi tidak segera menghubungi papanya. Ia berpikir sejenak, kemudian menyetujui ide dari Sandi. Runi dengan cepat mengetikkan nomor ponsel milik papanya. Tanggan lentiknya menekan tombol bergambar telepon. Sayangnya, panggilannya dibalas oleh operator. Ponsel papanya sedang tidak aktif. Runi mengembalikan ponsel milik Sandi. Tak lupa menghapus nomor milik sang papa. Bukan tidak sopan. Hanya saja Runi tidak ingin siapa saja menghubungi papanya hanya untuk sekadar bertanya tentang dirinya. Sungguh, itu adalah hal yang membuat hari-harinya tidak nyaman. Bukan karena sombong, tetapi hatinya belum siap menerima sosok laki-laki lain dalam hidupnya. "Ini ponselnya, Pak Sandi. Nomor papa saya sedang tidak aktif." Runi memajukan tubuhnya saat mengembalikan ponsel milik Sandi."Terima kasih, Pak," lanjutnya saat Sandi menerima ponsel itu. Sandi dan Runi sama-sama terkejut saat tangan mereka tidak sengaja bersentuhan. Runi segera melepaskan ponsel itu. Sementara Sandi berusaha meraihnya. Hampir saja terjadi kecelakaan. Beruntung, dengan sigap Sandi menginjak rem mobilnya. "Duh ... berhenti dulu saja, Pak Sandi. Jantungan saya." Runi memegang dadanya karena terkejut dengan kejadian yang baru saja menimpanya. Sandi segera menepikan mobilnya dengan susah payah. Tidak mudah mencari celah di saat macet seperti ini. Sandi. Merusaha merangkak seperti siput dan fokus. Sandi tak ingin lagi mencuri pandang ke arah sosok Runi. "Maaf, ya, Miss Runi. Hari ini saya banyak tidak fokusnya. Biasalah, banyak pekerjaan di kantor." Sandi mengatakan hal yang sebenarnya. Bukan untuk membela diri, tetapi itu yang sebenarnya terjadi. Tuntutan pekerjaan di Yayasan Maju Bersama memang berat. Semua staf, baik pengajar ataupun bukan wajib bekerja dan mengerjakan semua tugas dari pihaky yayasan dengan maksimal. Tak jarang mereka harus lembur dan tetap berada di kantor untuk mengerjakannnya gingga batas waktu pukul delapan malam. Pun dengan Sandi, hari ini banyak membawa pekerjaan ke rumah. Ia akan mengerjakannya malam nanti. Lusa sudah harus dikirimkan pada pemilik yayasan. Beberapa tugas mengajar di kelas sembilan pun masih banyak. Terkadang tekanan pekerjaan membuat siapa saja mendadak stres. Yayasan Maju Bersama sangat loyal kepada semua karyawannya. Tuntutan pekerjaan sebanding dengah gaji yang mereka terima saat ini. Ada banyak tunjangan yang nominalnya sangat besar. Tak hanya itu, jaminan kesehatan juga diberikan oleh yayasan ini. Jika karyawan sehat, pasti kinerja mereka akan bagus. Begitulah motto yang digunakan oleh Yayasan Maju Bersama. "Oh ... gitu. Atau gantian aku yang nyetir?" tanya Runi membuat Sandi menoleh ke arah belakang. Dahi laki-laki berambut cepak itu mengeryit dalam. Tidak menyangka jika sosok dibelakangnya bisa menyetir. Akan terapi, rasa gengsi membuatnya menolaknya dengan halus. Saat ini sedang masa pendekatan pada wanita yang membuatnya berdebar. Apa iya mengizinkan wanitanya menyetir sedangkan dirinya duduk layaknya seorang tuan? Sandi tidak mau hal itu terjadi. Bisa jatuh harga dirinya. "Miss Runi bisa nyetir? Bolehlah, nanti sesekali aku yang disupirin. Sekarang aku aja, lebih ini hujan. Miss Runi duduk saja dengan tenang." Sandi mengatakannya dengan nada bercanda. Runi tersenyum menanggapi canda dari Sandi. Sebenarnya Runi merasa kasihan pada sosok di depannya itu. Wajah lelahnya sangat terlihat jelas. Dengan menawarkan membantu menyetir mobil milik Pak Reza barangkali bisa mengurangi rasa lelahnya. Setidaknya, laki-laki yang kini fokus melihat jalanan dan berusaha mencari tempat parkir itu bisa beristirahat sebentar. "Bisa, tapi nyetirnya pelan. Saya bukan pembalap soalnya," jawab Runi sambil tersenyum. Runi merasa nyaman ketika mengobrol dengan Sandi saat ini. Tidak seperti sebelumnya, wanita itu sangat tampak berhati-hati ketika mengobrol pada lawan jenisnya. Waspada lebih tepatnya Tidak hanya itu, Runi lebih sering mengabaikan laki-laki yang berusaha ingin dekat dengannya. Atau mungkin dengan Sandi hanya sekadar berbasa-basi saja? Entahlah. "Woh iya ... 'kan Miss Runi wanita. Tidak bisa disebut dengan pembalap. Pembalap hanya khusus laki-laki." Perkataan Sandi sukse membuat Runi memajukan badannya."Lagi pula, Miss Runi 'kan tidak berkulit gelap," lanjut Sandi sambil menahan tawanya. Runi bingung dengan jawaban yang keluar dari mulut Sandi. Apa hubungannya pembalap dengan wanita dan warna kulit. Runi sangat serius memikirkan hal ini. Ia bahkan tidak menyadari jika Sandi sedang mengajaknya bercanda. Sandi melirik wanita yang kini duduk di kursi tengah bagian penumpang. Runi tampaj sedang memikirkan sesuatu. Sandi tidak sanggup menahan tawa lebih lama. Akhirnya laki-laki yang memiliki hidung bangir itu bertanya sesuatu pada Runi. "Miss, tahu ga apa itu pembalap?" tanya Sandi membuat wajah cantik mendongak dan menatap ke arah spion yang berada di tengah atas antara kemudi dan kursi penumpang di sebelah kemudi. Sandi melipat bibirnya ke belakang; menahan tawa agar tidak keluar tanpa permisi. Ia takut Runi akan tersinggung jika mendadak dirinya terbahak tidak jelas. Padahal bagi Sandi, ini adalah pemandangan paling menyenangkan. Wajah cantik itu serius saat memikirkan apa yang diucapkannya. "Pembalap itu orang yang suka mengadu kecepatan dengan menggunakan mobil atau sepeda motor, 'kan?" Pertanyaan sekaligus jawaban dari Runi untuk Sandi. Sandi sudah menduga jika Runi akan menjawab demikian. Jawaban yang sesuai dengan artian sesungguhnya. Runi adalah sosok yang serius. Tidak begitu paham dengan bahasa gaul atau plesetan yang kekinian. "Bukan ... tapi, pembalap itu adalah pemuda berbadan gelap, kaya aku gini," jawab Sandi sambil tertawa saat menunjukkan kulitnya yang sawo matang. Runi tersenyum lebar saat menyadari arti pembalap. Ada-ada saja Pak Sandi itu. Sedikit terhibur dengan candaan yang dikatakan oleh Pak Sandi. Ada-ada saja plesetan kata yang didapatnya. Sedetik kemudian, Runi pun ikut tertawa bersama dengan Sandi. Sandi melihat tawa Runi dari spion. Wanita itu sangat cantik saat tertawa. Wajahnya berseri dan beban pikirannya sedikit berkurang. Bagi Sandi, Runi adalah wanita cantik yang pernah ditemuinya. Semoga saja belum ada yang memilikinya. "Ada-ada saja, Pak Sandi. Saya baru dengar istilah pembalap. Tidak terpikirkan sama sekali di kepala ini." Runi menunjuk kepalanya dengan tangan kiri. Perkenalan singkat Runi dengan Sandi membuat pikiran wanita itu sedikit terbuka. Tidak semua laki-laki ingin mendekatinya. Hanya perasaan waspada yang berlebihan saja. Contohnya Sandi, tidak ada tanda-tanda ingin mendekatinya sama sekali. Bahkan, mungkin hanya sekadar berteman. "Ya, Miss Runi orangnya terlalu serius. Makanya jarang dengar bahasa plesetan. Coba aja kalo lagi senggang baca-baca artikel tentang bahasa pleseten kekinian di internet. Lumayan cukup menghibur." Sandi mencoba mengajak mengobrol Runi. Runi menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Memang hal yang terlihat sepele itu sesekali perlu dicoba. Selama ini Runi hanya fokus mencari pekerjaan dan sibuk melupakan sosok mantan suaminya itu. Tidak ada waktu untuk dirinya, meskipun sekedar membaca artikel yang berisi hiburan. Saran dari Sandi menjadi alternatif Runi untuk membahagiakan dirinya. Sudah tujuh bulan lebih masih dalam rasa sedih mendalam akibat kegagalan rumah tangganya. Runi bertekad, mulai hari ini harus lebih banyak bahagia. Toh, Renjana saat ini mungkin sudah bahagia dengan memilih Jelita daripada dirinya. Semoga saja Runi bisa berhasil melupakan sosok mantan suaminya. Meskipun melupakan bukan hal yang mudah, setidaknya saran dari Sandi bisa dipraktekan. Lebih banyak membaca artikel menghibur di internet. "Hehehe ... pasti nanti saya coba, Pak Sandi.Terima kasih atas sarannya," jawab Runi sambil tersenyum ramah. Runi kembali duduk di dekat kaca mobil. Pemandangan di luar kembali membuatnya tertarik. Ia tidak lagi ingin melanjutkan obrolan dengan Sandi. Tiba-tiba saja perut wanita cantik itu terasa lapar. Ia menekan perutnya dengan kedua tangannya. Tentu saja dengan ditutupi menggunakan tas ransel miliknya. Malu rasanya terlihat sedang menekan perut saat sedang bersama dengan orang lain. Jam di tangan Runi menunjukkan pukul 20.00 WIB. Suara perut lapar milik Runi terdengar oleh Sandi. Pria itu tersenyum sambil melirik ke arah Runi yang tampak merona wajahnya. Sandi gemas melihatnya. Ingin rasanya mencubit pipi milik Runi. Sayangnya, tidak berani. Takut wanita itu justru akan marah dan meninggalkannya saat ini. "Miss Runi, kita singgah makan dulu ya," pinta Sandi pada Runi. Runi menoleh dan menatap ke arah Sandi. Mobil milik Sandi saat berhenti di pinggir jalan. Ada banyak penjual makanan di sebelah kanan jalan. Runi baru pertama kali melihat tempat ini. Entahlah, seharusnya sudah sering melihatnya, tetapi wanita cantik itu terlalu fokus melihat ke arah jalanan saat pulang. Tidak tahu ada banyak penjual makanan jika malam hari. Mau tidak mau Runi mengiakan. Sebab, perutnya tidak bisa diajak kompromi. Bagi wanita cantik itu, hal ini sangat memalukan. Bunyi perut keroncongannya sampai terdengar oleh orang lain. Dasar perut nakal. Runi masih berpikir jika Sandi tidak mendengar suara berisik yang keluar dari perutnya itu. Hanya kebetulan saja Pak Sandi sedang lapar. Toh, sudah waktunya makan malam. Sandi menghentikan mobilnya di sebuah warung bakso malang. Ramai sekali warung ini, bahkan antrean mengular. Runi baru kali ini makan di tempat ini. Jika ramai pastilah terkenal enak. Jangankan tahu ada banyak warung, di dekat kompleks tempat tinggalnya ada warung makan lezat yang baru saja buka saja dirinya tidak tahu. Sungguh wanita yang sangat serius sehingga mengabaikan banyak hal. "Ini bakso langgananku, semoga Miss Runi menyukainya," kata Sandi dengan tulus sambil membuka sabuk pengaman yang melilit badannya dengan cepat. Sandi kemudian keluar dari pintu kemudinya. Dengan cepat tanpa menunggu jawaban dari Runi, ia memutari mobilnya. Membukakan pintu untuk Runi. Agar wanita itu tidak kerepotan saat keluar dari mobil miliknya itu. Sikap gentle man yang ditunjukkan oleh Sandi patut mendapat apresiasi. "Silakan, Miss Runi," kata Sandi sambil membukakan pintu mobil untuk Runi. Apa yang dilakukan oleh Sandi mendapat perhatian dari banyak orang. Runi salah tingkah dibuatnya. Sebab, mereka bukan tuan dan sopirnya melainkan teman. Belum bisa dikatakan teman, karena baru mengenal beberapa jam saja. Bisa dikatakan jika mereka kebetulan kenal karena bekerja di satu yayasan yang sama. "Jadi, tak apa jika makan di sini?" Sandi mengulangi pertanyaannya tadi karena belum mendapatkan jawaban dari Runi. Runi menatap Sandi yang sedang menutup pintu mobilnya dan menyalakan alarm pengunci otomatis. Mereka bertatapan dan Runi mengangguk sebagai jawaban. Perut yang sangat lapar tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Bisa-bisa asam lambung mendadak kambuh. "Saya, makan apa saja kok, yang penting halal dan tidak berbahaya." Runi menjawab perkataan Sandi dengan tersenyum. Sandi lega mendengar jawaban Runi. Tanpa pikir panjang lagi, Sandi menggandeng tangan Runi untuk menyeberang jalan. Runi tidak menolaknya karena tidak menyadari. Kebetulan lalu lintas malam ini masih sangat ramai meskipum tidak se-macet tadi saat hujan. Hujan hanya tinggal gerimis kecil saja. Runi segera melepaskan genggaman tanggan Sandi saat mereka berdua sudah sampai ke warung bakso malang itu. Luar biasa antreannya. Mengular dan banyak pengunjung yang belum kebagian tempat duduk. Sang penjual pun sibuk menyajikan pesanan. Banyak mangkuk yang sudah kosong di meja. Mereka dengan cepat mengambilnya dan membersihkan meja. Kemudian mempersilakan pelanggan untuk duduk. Mereka berdua akhirnya mendapatkan tempat duduk lesehan. Duduk berdampingan dengan Runi membuat kinerja jantung Sandi ekstra sepuluh kali lebih cepat berdetaknya. Runi menuliskan pesanan bakso malang porsi sedang dan segelas teh tawar hangat. Berbeda dengan Sandi yang memesan bakso dengan porsi jumbo. Porsi Sandi memang sangat banyak saat makan bakso. Bakso adalah salah satu makanan favoritnya. Mendadak ia teringat pada sosok Nirina, muridnya yang sangat suka sekali dengan bakso ekstra pedaa. Murid yang dicintai oleh Reza dengan sangat dalam. Apa kabar ya murid ajaibnya itu? Semoga tidak banyak korban yang berjatuhan akibat sakit kepala mendadak karena ulah gadis ajaib itu. Tiba-tiba saja Runi membuyarkan lamunan Sandi. "Pak Sandi sering makan di sini?" tanya Runi memecah keheningan di antara keduanya. Rasanya tidak nyaman duduk bersebelahan dan tidak ada obrolan. Runi berinisiatif membuka obrolan terlebih dahulu agar tidak terlihat kaku. Sejak tadi hanya Sandi yang membuka obrolan di antara mereka berdua. "Iya, Miss, kalau pas lagi lewat daerah ini," jawabnya dengan jujur. Sudah sangat jarang lewat daerah ini karena Sandi tidak tinggal di dekat tempat ini lagi. "Loh, memangnya Pak Sandi tidak searah rumahnya dengan saya?" tanya Runi penuh rasa penasaran. "A- anu itu saya tinggal di ...." Perkataan Sandi terpotong karena pesanan mereka sudah datang. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD