Part 19

2072 Words
Sandi mendadak gelagapan saat wanita yang duduk di sebelahnya bertanya tentang tempat tinggalnya. Laki-laki yang kini sedang membuka toples berisi kerupuk itu sejenak menghentikan aktivitasnya. Ia menghela napas beberapa kali karena bingung hendak menjawabnya. Apa yang dilakukan oleh Sandi ternyata tidak luput dari pandangan Runi. Runi memerhatikan kegugupan Sandi. Aneh, ditanya tinggal di mana membuat lelaki di sebelahnya gugup. Padahal bukan untuk menagih hutang atau semacamnya. Hanya ingin tahu saja di mana tempat tinggalnya. Siapa tahu mereka searah, jadi Runi tidak merepotkan ketika Pak Sandi mengantarnya. Setelah beberapa saat terdiam, Sandi berpikir lebih baik jujur pada Runi. Tidak baik jika mengawali hubungan dengan kebohongan. Toh, bukan salah Runi jika Sandi mengantarnya pulang. Laki-laki itu yang menawarkan diri untuk mengantarnya. Wanita yang sedang menatap Sandi itu menunggu jawaban darinya. "Sa-saya tinggal di Grogol," jawabnya dengan nada masih gugup. Arah rumah mereka tidak sama. Bukan tanpa alasan Sandi gugup. Lelaki berhidung bangir ini takut jika Runi akan menolak untuk diantarkan. Jika itu terjadi, akan hilang kesempatan untuk dekat dengan wanita cantik ini. Sandi lega ketika bisa mengatakannya dengan jujur. Entah bagaimana dengan reaksi Runi saat mendengar jawabannya itu. Raut wajah Runi terkejut sesuai dengan dugaan Sandi. Laki-laki itu merasa tidak enak hati saat melihat wajah Runi yang terkejut. Baginya laki-laki yang kini sedang menyugar rambutnya itu, tidak masalah jika harus mengantar wanita yang sudah mencuri hatinya. Sekalian ingin tahu di mana tempat tinggalnya. Siapa tahu kapan-kapan bisa datang berkunjung ke rumah itu. "Ya, Allah, Pak Sandi ... selesai makan saya naik taksi dari sini saja. Bapak putar baliknya jauh kalau dari rumah saya." Runi terkejut mendengar ucapan dari Sandi. Rasanya tidak enak hati bagi Runi, merepotkan Pak Sandi untuk mengantarnya pulang. Harusnya tadi menolak saja. Jika tidak mengantar dirinya, pasti Pak Sandi sudah sampai di rumahnya saat ini. Jarak sekolah menuju Grogol lebih dekat jika dibandingkan dengan jarak rumah Runi menuju sekolah. Nah, ini harus menempuh jarak dua kali lipat untuk bisa pulang ke Grogol. Sandi hanya mendesah pelan. Apa yang ia pikirkan tadi menjadi kenyataan. Runi menolak diantar pulang olehnya. Mencari cara, lelaki berhidung bangir ini membuat alasan. Alasan yang mungkin bisa diterima oleh Runi. Walaupun alasannya sedikit mengada-ada. Terpenting bisa tetap mengantar wanita yang sedang meminum segelas air mineral yang ada di meja depan mereka. "Kebetulan aku lagi pengen makan bakso ini. Kebetulan, Ibu juga pesan minta dibelikan. Sudah lama tidak makan bakso ini." Sandi mengatakannya dengan setenang mungkin. Berharap Runi tidak curiga. Ibu Sandi tidak memesan apa pun pada sang putra, tetapi demi kelancaran mengantarkan Runi, terpaksa harus berdusta. Runi mengerjab beberapa kali dan menatap ke arah Sandi, tidak tampak ada kebohongan dari laki-laki itu. Wajahnya tampak tenang saat menjawabnya tadi. Runi tidak tahu saja jika sosok yang ada di sebelahnya sedang menahan jantungnya agar tidak lepas dari rongganya. "Oh, gitu, ya, maaf ya, saya kok jadi merepotkan gini." Runi mengucapkannya dengan tulus. Hanya anggukan sebagai jawaban yang Sandi berikan. Bingung hendak mengatakan apa, lelaki berhidung bangir ini sulit untuk berbohong. Pasti lama-lama akan tampak dan terlihat dengan jelas jika ia berdusta. Salah tingkah dan gugup ketika harus berdusta. Sandi tidak ingin terlihat salah tingkah di depan Runi. Ia pandai menyembunyikan semuanya. "Ga merepotkan kok, Miss Runi. Santai saja," ucap Sandi sambil makan kerupuk yang ada di depannya. Runi tetap saja merasa tidak enak hati pada Sandi. Rasanya ingin memesan taksi, tetapi diurungkannya. Ponselnya mati karena kehabisan daya. Matanya mengedar ke seluruh penjuru warung makan itu. Di satu titik ada stop kontak di dekat meja kasir. Runi membuka tasnya dan berpamitan pada Sandi untuk ke meja kasir sebentar. "Pak Sandi, saya ke meja kasir dulu, ya," pamit Runi sambil tersenyum dan berdiri bersiap untuk melangkah ke depan. Sandi mengernyitian dahi. Menduga Runi hendak membayarkan pesanan bakso mereka yang belum datang. Dengan cepat, Sandi meraih tangan Runi. Wanita itu terkejut sekatika dan wajahnya mendadak pias. Sandi yang menyadari perubahan wajah Runi, segera melepaskan tangan mungil itu. "Ma-maaf, Miss. Kita 'kan belum makan, kenapa mau bayar tagihan di kasir?" tanya Sandi sambil menetralkan degup jantungnya yang berpacu saat ini. Mendengar ucapan Sandi, Runi terdiam menahan tawa. Pak Sandi salah paham. Bukan itu tujuan Runi ke meja kasir. Wanita cantik itu hendak menumpang mengisi daya untuk ponselnya. Takut jika papa atau orang yang ada di rumahnya mencarinya ke sekolah tempatnya mengajar. "Bukan mau bayar, Pak. Saya mau numpang isi daya untuk ponsel saya Takut Papa cari saya ke sekolah." Runi menjelaskan dengan sabar dan sambil tersenyum. Sandi merasa lega setelah mendengar jawaban dari Runi. Bukan apa-apa, rasanya tidak enak jika wanita yang harus membayar. Dirinya yang mengajak makan di tempat ini. Sudah seharusnya Sandi juga yang membayarnya. Runi sampai di meja kasir. Wanita yang bertugas di kasir itu mengizinkan Runi untuk mengisi daya ponselnya. Seperti sudah lama kenal mereka ada sedikit obrolan. Runi hanya menanggapinya dengan senyum. Sandi memerhatikan keduanya dengan seksama. Mengira jika Runi sering makan di tempat ini, karena tampak akrab dengan pelayan yang bekerja di warung ini. Setelah mengucapkan terima kasih, Runi kembali ke tempat duduknya. Saat kembali, pesanan bakso mereka sudah datang. Runi dengan semangkuk bakso porsi sedang, Sandi dengan porsi besarnya, dan sepertinya porsi spesial. Runi melirik ke arah mangkuk Sandi. Sepertinya porsi besar dan spesial. Sandi yang menyadari jika Runi meliriknya, mencoba menawarkan bakso miliknya untuk sekadar dicicipi oleh Runi. "Miss Runi mau coba?" tanya Sandi sambil menyorongkan mangkuk bakso miliknya ke arah Runi. Runi menggeleng dan mengambil kecap yang ada di depan Sandi. Ia heran melihat porsi makan laki-laki yang telah menolongnya itu. Sebanyak itu? Reza adik laki-laki satu-satunya porsi makannya tidak sebanyak itu. Runi tiba-tiba saja merindukan sosok adiknya yang masih di Yogyakarta. "Kalo makan emang banyak begitu, ya?" tanya Runi membuat Sandi menoleh ke arahnya dan tersenyum. Sandi tidak tersinggung dengan pertanyaan Runi. Pun dengan wanita yang duduk di sebelahnya itu juga porsi makannya lumayan banyak. Teman-teman wanita yang mengajar SMP di sekolah, biasanya hanya makan dalam porsi kecil. Mereka akan makan di sini jika kebetulan ada pertemuan guru mata pelajaran di daerah dekat sini. "Iya, saya suka sekali bakso. Lebih saat kuliah di Yogyakarta dulu, sampai punya langganan warung bakso." Sandi menjawab pertanyaan Runi dengan sabar. Mendengar kata Kota Yogyakarta disebut oleh Sandi, kerinduan pada sosok adiknya semakin menjadi. Pun dengan gadis yang membuat adiknya jatuh cinta. Akan tetapi, Runi tidak ingin bertanya lebih lanjut tentang dulu Sandi kuliah di universitas apa. Bukan sombong, hanya saja akan memperpanjang obrolan. "Oh, begitu, ya. Saya suka tapi ga terlalu. Hanya kadang-kadang saja." Runi memgatakannya sambil menambahkan dua sendok makan sambal di mangkuk bakso miliknya. Jika makan bakso, Runi lebih suka menggunakan kecap dan sambal sebagai pelengkap. Ia tidak begitu menyukai kuah bakso yang dicampur dengan saus. Perutnya bisa mendadak mulas jika ada paduan saus dan sambal pada mangkuk baksonya. Berbeda dengan Sandi yang membuat kuah baksonya menjadi berwarna merah karena saus yang dituangkannya. Tidak ada obrolan saat mereka berdua makan. Mereka menikmati makan malamnya dengan hening. Fokus pada rasa yang sangat menggugah selera itu. Bakso malang di tempat ini sangatlah enak. Ini pertama kali Runi makan di warung bakso malang yang menjadi langganan Sandi. Selesai makan, Runi pamit pada Sandi untuk mengambil ponselnya. Lumayan terisi dan semoga sudah bisa dinyalakan kembali. Ponsel milik Runi sudah terisi kurang lebih setengah jam. Tidak apa, mungkin baru tiga puluh atau empat puluh persen baterainya terisi. Terpenting bisa digunakan untuk menghubungi keluarganya, terutama sang papa. Beliau pasti sangat kawatir. Hingga malam menjelang anak perempuannya belum juga pulang ke rumah. Cuaca juga sedang tidak bagus. Dingin setelah hujan. Sebenarnya Runi tidak tega meminta dijemput oleh papanya, tetapi karena sudah mendesak maka ia lakukan. Runi kembali ke tempat duduk semula, sambil membawa ponsel miliknya. Sandi masih asyik memainkan ponsel miliknya. Laki-laki itu ternyata sudah selesai makan. Saat ditinggal Runi mengambil ponsel tadi, masih ada sedikit bakso di mangkuknya. Sandi mendoangak ke arah Runi dan tersenyum ramah. "Udah terisi baterainya? Kalo belum, bisa pakai punyaku untuk menghubungi papa," kata Sandi sambil mengangsurkan ponsel miliknya ke arah Runi. Runi yang sudah duduk di sebelah Sandi menoleh dan tersenyum. Sandi berdebar melihat senyum itu. Lagi dan lagi, jantungnya tidak bisa diajak kompromi untuk tidak berdetak lebih cepat. Seperti habis lari marathon dengan kecepatan maksimal. "Udah kok, tapi belum penuh. Tak apalah, yang penting bisa menghubungi papa." Runi menolak tawaran dari Sandi. Sandi mendesah pelan. Saat membuka riwayat panggilan keluar, ternyata tidak ada nomor Runi. Wanita yang sedang sibuk dengan ponselnya itu sepertinya menghapus nomor milik papanya. Sia-sia usahanya kali ini. Jika nomor papanya Runi masih ada, setidaknya bisa menghubungi papanya itu. Mendekati orang tuanya lebih dahulu biar lebih mudah mendekati anak perempuannya. Sayangnya, hal itu tidak semudah apa yang ada di kepala Sandi. Runi jauh lebih cerdas. Mereka akhirnya selesai makan dan minum. Sandi kemudian mengajak Runi untuk pulang. Lebih tepatnya, mengantar wanita itu pulang ke rumah kedua orang tuanya. Sesampainya di kasir, Sandi membayar semua tagihan makan mereka berdua. Tak lupa Sandi memesan dua porsi untuk dibungkus. Entah, sampai di rumah nanti ada yang makan atau tidak, tapi demi mengetahui alamat rumah Runi tak masalah. Dua porsi bakso malang ukuran sedang sudah dibungkus oleh penjualnya. Sandi dengan cepat menerima bungkusan itu. Runi mengikuti langkah Sandi. Menyeberang jalan seperti tadi. Kali ini tidak bergandengan tangan seperti tadi saat datang. Kali ini dirinya sangat sadar. Tidak lagi mau digandeng tangannya oleh Sandi. Pun dengan Sandi yang mendadak menjadi kikuk saat Runi memasukkan tangannya ke dalam sakunya. Untuk menghilangkan Kecanggungan mereka berdua, Runi mengajak berbicara. "Eh, ini beneran, saya bisa naik taksi saja," kata Runi saat Sandi membukakan pintu mobilnya untuk wanita itu. Sandi menghela napas panjang. Wanita satu ini keras kepala. Sudah dekat dengan rumahnya masih saja menolak. Apa salahnya jika dirinya yang mengantarkan pulang? Toh, tidak akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk sampai ke rumah Runi. "Udah tanggung, sekalian aku antar. Naik taksi juga harus nunggu. Ini sudah malam. Jakarta tidak aman untuk wanita." Sandi mengatakan dengan tegas. Membuat Runi terkesiap saat mendengar ucapan Sandi. Lagi dan lagi Runi seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Wanita cantik ini hanya bisa menurut. Sebuah hal langka yang terjadi kali ini. Semenjak bercerai, Runi jarang sekali dekat dengan pria mana pun. Reno yang setiap hari menghubunginya pun diabaikannya. Tidak ingin memberikan harapan lebih pada sosok Reno. Biarlah, hanya cukup dengan status berteman. Rasanya itu jauh lebih baik dan lebih nyaman untuk Runi. Ponsel Runi bergetar, ada panggilan masuk. Setelah dilihat ternyata sang papa. Tadi saat di warung bakso, ponsel papa Runi masih tidak bisa dihubungi sama sekali. Mungkin beliau baru sempat menghubungi karena lupa mengisi daya pada baterai ponselnya. Jadi, saat Runi menghubunginya ponsel dalam keadaan mati. Runi segera mengangkat panggilan telepon dari sang papa. "Halo, Nak, di mana sekarang?" tanya Pak Subroto dengan nada khawatir. "Ini, Runi udah mau sampai, Pa, diantar teman," jawab Runi. Runi paham kekawatiran papanya. Memang Jakarta kota besar, tetapi tidak aman jika wanita masih berada di luar rumah. Kejahatan bisa terjadi kapan saja. Tidak ada yang bisa menjamin keamanan diri karena memang kota ini sangat rawan dengan angka kajahatan. Terdengar helaan napas lega dari sang papa. Runi pun lega setelah memberitahukan keberadaannya pada sang papa. Laki-laki yang menjadi cinta pertamanya itu sangat bingung ketika dirinya belum sampai di rumah. Itulah wujud kasih sayang seorang papa pada putrinya. Selalu memerhatikan dan mengutamakan keselamatan putrinya. Pak Subroto menutup panggilan telepon itu, takut menganggu sang anak yang berada di atas kendaraan. Beliau tidak tahu jika Runi di antar dengan menggunakan mobil. Wanita itu memasukkan ponselnya ke dalam tas dan menatap Sandi. "Papa telepon, takut saya masih di sekolah," kata Runi pada Sandi, Runi sadar jika Sandi sedari tadi memerhatikan dirinya saat menerima panggilan telepon tersebut. Wanita itu menjadi salah tingkah saat kedua mata mereka bersiborok. Degup jantung Runi menjadi tak menentu. Bukan karena merasa Sandi menyukainya, tetapi karena diperhatikan seperti seorang tahanan yang sedang berbicara di telepon. Tak hanya itu, Sandi seolah ingin tahu apa yang dibicarakan dengan sang papa. Berbeda dengan Sandi yang kini menyunggingkan senyum lebar. Entah mengapa, pria ini merasa Runi melibatkannya dalam setiap tindakannya. Memberitahu siapa yang menghubunginya. Entahlah, hanya perasaannya saja atau memang seperti itu. Hingga perkataan Sandi membuat Runi terkejut. "Pasti Papa sangat menyayangimu ya," kata Sandi dengan tulus. Runi terkesiap mendengar Sandi mengucapkan kata 'Papa' karena hal ini tak biasa. Semua temannya akan memanggil dengan sebutan 'Om' pada papanya. Pria berhidung bangir ini justru menyamakan panggilannya dengan dirinya. Perasaan Runi menjadi berkecamuk tidak jelas. Ingin marah, tetapi Sandi tidak salah. Bahagia? Tidak juga. "I-iya," jawab Runi terbata karena masih sangat terkejut dan segera menetralkan wajah terkejutnya di hadapan Sandi. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD