Part 7

2141 Words
"Mbak Runi lagi apa?" Suara Indah mengejutkan Arunika yang sedang menguping. Entah darimana datangnya makhluk menyebalkan satu ini. Runi terlalu fokus dengan apa yang dilihatnya. Tidak menyadari jika ada orang lain ada didekatnya. Tidak tahu sejak kapan Indah berada di dekatnya dan membuatnya terkejut. Mungkin saja, adik iparnya juga sudah melihat apa yang dilakukannya, merekam pembicaraan kedua ibu dan anak itu. Sesegera mungkin Arunika menetralkan keterkejutannya. Terlebih Bu Yanti dan Renjana menoleh ke arahnya. Arunika menyunggingkan senyum. Berpikir sejenak untuk memberikan alasan yang tepat. Wajah cantik Runi dibuat seserius mungkin agar kedua orang di depan sana percaya mendengar semua alasan yang akan dibuatnya. Sebuah alasan untuk menutupi perbuatannya. "Mau ke depan, ambil pesanan makanan yang diantar oleh ojek online," jawab Arunika sambil berusaha memasukkan ponsel ke dalam saku baju terusan yang dipakainya. Runi berpikir sejenak tempat mana yang cocok untuknya bersantai. Teras rumahnya menjadi tujuan utamanya. Ia hanya ingin duduk sebentar. Menetralkan keterkejutannya, mendengar percakapan ibu mertuanya dan laki-laki yang masih sah menjadi suaminya. Tidak menyangka, ternyata laki-laki itu sama busuknya dengan anggota keluarga yang lain. Bu Yanti menghela napas panjang. Raut wajahnya terlihat tenang. Beliau tidak tahu saja, jika Runi mendengar semuanya. Cukup sudah, habis kesabaran Runi. Mereka memang harus diberi pelajaran. Gulma yang tidak tahu diri. Ingin mengambil alih semua aset yang dimiliki oleh Runi. "Lho? Kenapa pesan makanan? Jelita masak banyak. Semua makanan yang dimasak kesukaan kamu lho Runi." Bu Yanti mengatakannya dengan nada yang dibuat selembut mungkin. Sebuah akting yang tampak sempurna. Siapa pun bisa terkecoh dengan mudah. Runi hanya menyunggingkan senyum. Terpaksa memberikan senyuman palsu. Sama halnya dengan mereka yang memberikan kepalsuan selama ini. Runi menatap ke arah sang suami dengan tatapan seolah ramah tamah. Tatapan yang sebenarnya ingin menerkam, layaknya singa yang lapar dan mendapatkan daging buruannya. "Jelita masak buat suaminya, Bu," jawab Runi sambil berjalan pelan meninggalkan orang-orang yang ada di sana. Seketika wajah Renjana berubah pias. Dia terkejut mendengar apa yang Runi ucapkan. Seolah, Runi tidak menganggapnya lagi sebagai suami. Perkataan Runi mungkin lembut, tapi efeknya luar biasa untuk Renjana dan Bu Yanti. Ucapan wanita itu seolah menegaskan jika dirinya dan Renjana tidak ada hubungan sama sekali. Ego laki-laki suami Runi tercubit. "Runi, memang kamu ingin makan apa? Mungkin, Mas bisa masak buat kamu," tawar Renjana dengan lembut mencoba berbaik hati pada sang istri. Jelita yang mendengar hal itu dadanya berdenyut nyeri. Belum pernah sekali pun Renjana berbuat hal demikian. Dirinya sadar, jika kebaikan sang suami semata-mata karena adanya Kumala, anak mereka. Selebihnya hati dan pikirannya hanya ada satu nama--Arunika. Wanita yang dicintai begitu dalam oleh Renjana. Runi ingin terbahak mendengar tawaran Renjana. Sejak kapan laki-laki itu memasak untuk dirinya? Sedang mengigau, atau? Oh ... pasti ada udang dibalik batu. Ada tujuan dan maksud yang disembunyikan. Mulai saat ini sebaiknya tidak makan di rumah. Tidak akan ada yang tahu jika salah satu di antara mereka menaburkan racun dan bisa mengancam jiwa Runi. Kejahatan bisa datang kapan saja jika ada peluang. Terlebih mereka yang tidak pernah bersikap baik pada Runi. Belum lagi mereka punya tujuan untuk menguasai harta Runi. Waspada dan berjaga-jaga lebih baik daripada memberikan peluang pada mereka. "Ga usah repot, lagian yang antar makanannya sudah perjalanan ke sini," jawab Aruni berdusta sambil menghentikan langkahnya. Runi mengatakannya dengan tersenyum ramah, seolah tidak ada masalah sama sekali. Renjana menghela napas panjang mendengar penolakan istri pertamanya. Akan sulit berbicara pada sosok wanita yang telah mendampinginya sejak belum punya apa-apa hingga sekarang mempunyai segalanya. Sayang, kadang manusia lupa siapa yang menemaninya sejak nol hingga sukses. Lebih mementingkan ego dan bujuk rayu setan untuk menghianati orang yang paling berjasa dalam hidupnya. Runi bahkan sama sekali belum mengecek sampai di mana pengantar makanan tersebut. Dia sibuk dengan keterkejutanya mendengar pembicaraan antara ibu dan anak yang ada di depannya. Entah bisa hilang atau tidak rasa kaget itu. Hatinya menolak dan mengatakan jika suaminya tidak seperti itu, tetapi matanya melihat kenyataan yang berbeda dan menyakitkan. Renjana kembali mendesah panjang, Runi semakin menjauhinya. Jika dulu dirinya menawarkan untuk memasakan sesuatu untuk wanita yang sangat ia cintai, dengan cepat Runi pasti akan mengiakan. Sekarang tidak lagi dan semakin menjauh. Itu dulu, sebelum dirinya menikah dengan Jelita. Sebuah kesalahan yang tidak dipikirkan akibatnya oleh keluarga yang rakus dengan harta. Renjana bingung, dari mana akan menyelesaikan masalah yang menimpanya. Runi bahkan tidak memberikan kesempatan untuk menjelaskan satu per satu masalah dan mencari solusi bersama. Wanita yang sangat dicintainya sudah berubah. Bukan lagi seseorang yang bisa ditindas oleh siapa pun. Ia menunjukkan semua kekuasaan dan kekuatan yang dimilikinya. Tiba-tiba saja pintu gerbang diketuk oleh seseorang dari luar. Runi sudah sejak lima belas menit yang lalu duduk di teras rumahnta. Dengan sigap, Runi segera menuju ruang tamu untuk membukakan pintu. Sayang bukan pesanan makanan yang datang, tapi Bani, adik iparnya yang entah dari mana seharian ini. Tidak pernah jelas apa tujuan hidup manusia yang ada di depannya itu. Lebih mengutamakan foya-foya dan jalan-jalan tidak jelas. "Mbak, mbok ya jangan egois. Semua fasilitas kok ditarik. Aku bakal dijauhi teman-teman." Bukan salam yang keluar dari mulut Bani melainkan kemarahannya. Runi tidak menanggapi lagi rengekan adik bungsu dari Renjana. Biarkan saja, anak itu harus diberikan pelajaran dalam hidup. Tujuannya agar kelak menjadi manusia yang berguna. Tidak hanya pandai meminta uang saja, tetapi harus pandai mencari uang dan menghasilkan uang sendiri. Tidak bergantung pada orang lain. Bukankah tadi pagi anak ini pamit ke Yogyakarta untuk kuliah? Lalu mengapa kembali lagi? Banyak tanya dalam benak Runi yang sebenarnya ingin keluar dari mulutnya. Namun, sengaja ia menahannya. Tidak lagi ingin tahu urusan satu per satu keluarga serakah ini. Begitu lebih baik, daripada sakit hati saat ingin tahu urusan mereka. "Ya, karena memang semua milikku." Jawaban Runi sukses membuat Bani bungkam seketika."Oh, ya, mulai semester depan, mintalah uang pembayaran kuliah pada Jelita jika masih ingin kuliah. Dia seorang ASN pasti banyak duit. Aku sudah tidak mau membiayaimu lagi," lanjut Runi membuat Bani terkejut dan wajahnya pias seketika. Semua terperanjat kaget mendengar ucapan Runi.Wajah Jelita seketika pias. Runi yang melihatnya hanya tersenyum tipis. Sukses membuat orang yang berada di rumah ini terkejut. Bagua untuk kesehatan jantung mereka. Kejutan demi kejutan akan membuat jantung mereka berolahraga setiap harinya. Bukankah olah raga itu baik untuk kesehatan? "Ta--tapi Mbak," kata Bani sambil memandang ke arah Runi dengan tatapan mengiba. Runi tak akan lagi terpengaruh oleh Bani. Jika dibiarkan, Bani akan semakin seenaknya sendiri. Kuliahnya tidak ada yang beres satu pun. Nilainya juga sangat jauh dari kata baik. Lebih tepatnya mahasiswa paling hancur di kelasnya. Entah bagaimana saat menerima perkuliahan. Otaknya dipakai atau tidak? Atau hanya titip presensi kehadiran, setelahnya hilang bak ditelan bumi. Hanya datang saat ujian saja. Sikap tegas Runi memang membuat semua orang terkejut. Bu Yanti yang biasanya membela anak kesayangannya itu kini tidak berani lagi. Menantunya bisa saja mengatakan hal-hal yang menyakitkan hatinya. Ibunya Renjana memilih diam dan menundukkan wajahnya. Lantai marmer rumah ini lebih menarik untuk ditatap daripada menatap wajah menantunya yang membuatnya bergidik ngeri. "Ga ada tapi-tapian. Mulai sekarang jika menginginkan sesuatu harus kerja dan dari hasil kerja bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan diri. Jangan minta terus, apalagi sampai nyuri aset kantor," kata Runi sambil melangkahkan kaki menuju pintu gerbang halaman rumahnya. Bani terdiam pasrah. Meminta bantuan Renjana dan Jelita pasti tidak akan ada hasilnya. Adik bungsu Renjana itu tahu, jika Jelita pun sebenarnya hanya menumpang hidup pada Runi. Hanya saja wanita itu beruntung, menjadi seorang ASN. Masih dipandang oleh orang lain. Jika dia sosok yang biasa saja, pasti akan menjadi cibiran bagi banyak orang. Tidak ada yang menjawab apa pun setelah Runi keluar. Bu Yanti hanya diam. Sesekali memijat pelipisnya. Bisa-bisa penyakit darah tingginya kambuh jika seperti ini terus. Bu Yanti memang memiliki riwayat penyakit darah tinggi. Kapan saja bisa mendadak kambuh ketika mendapatkan masalah dan tekanan. Jika dulu bisa melampiaskan emosi dengan bersikap kasar pada Runi kini tidak bisa lagi. Jangan sampai Runi menampar balik wajahnya itu. "Kamu ajak bicara Runi, dia masih istrimu." Bu Yanti akhirnya membuka suara. Lebih tepatnya mengajak Renjana berbicara. Renjana, sosok laki-laki yang tidak memiliki ketegasan dalam hidupnya. Lebih tepatnya, terlalu menurut pada ibunya. Hingga saran sesat dari ibunya pun diturutinya. Akibatnya, kemarahan Runi tidak bisa dibendung dan mereka semua terkena imbasnya. Bukan hanya itu, sosok wanita yang dulunya lemah lembut itu pasti sudah banyak mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. "Saya, tidak tahu lagi harus mengatakan apa pada Runi. Sudah banyak beban yang harus saya pikul sendirian." Renjana mengatakannya dengan nada putus asa. Sudah sangat jelas, Runi pasti tak akan mau mendengarnya lagi. Mereka semua memutuskan untuk masuk ke rumah. Membiarkan Runi duduk sendirian di teras rumahnya. Rùni mendengar ucapan ibu mertuanya yang meminta sang putra untuk berbicara padanya. Sayangnya Runi menutup semua akses itu. Ia tidak ingin mendengar apa pun dari mulut Renjana. Sebagai lelaki harga dirinya telah jatuh. Istrinya, Arunika bahkan tidak menganggapnya lagi. Dia memilih menyelesaikan semua masalahnya sendiri. Tidak melibatkan dirinya sebagai sang suami. Runi bahkan lebih nyaman berdiskusi dengan orang lain yang menjadi temannya. Kehadiran Renjana dan keluarganya seolah hanya angin lalu saja bagi sosok wanita anggun dan baik itu. Hati suami mana yang tak sakit jika diperlakukan seperti ini? Hatinya ingin menjerit. Bahkan selama menikah dengan Runi, dia sama sekali tidak mengenal sisi lain dari sang istri, Arunika. Renjana hanya tahu jika sang istri adalah wanita yang sangat lemah lembut. Tidak pernah memberontak. Kini semuanya ternyata salah. Runi sosok yang sangat tegas dan menakutkan. Mungkin benar kata pepatah, kelinci yang terus - menerus disakiti, suatu saat juga akan menggigit. Begitulah keadaan Runi saat ini. Terlalu lama menyimpan sakit hati akibat perbuatan Bu Yanti membuat dirinya berubah. Berubah menjadi sosok yang berani melawan sikap kasar dan penindasan yang dilakukan oleh ibu mertuanya itu. Biarlah jika dianggap tidak sopan. Hati, pikiran, dan fisiknya lelah menerima semua perlakuan yang tidak manusiawi dari mertuanya itu. Di teras depan rumah, Runi merasa tenang. Ia memainkan ponsel miliknya. Iseng-iseng membuka sosial media, ia mencari pada kolom pencarian. Ternyata media sosial berlogo F besar menemukan sebuah hasil Jelita Maharani. Kala itu baru saja booming aplikasi berlogo huruf F besar berwarna biru. Runi pun membuat akun media sosialnya hanya untuk sekadar refresing saja. Runi jarang membuka akun miliknya. Bahkan pertemanannya pun sangat sedikit. Segera ia mencari tahu melewati beberapa foto-foto miliknya. Banyak sekali foto dengan laki-laki yang sengaja ia tutupi. Bukan Arunika jika tidak mengenali siapa lelaki itu. Dia adalah Renjana. Mereka tampak tertawa bahagia layaknya pengantin baru. Selama ini orang yang dia sangat percaya telah menghianatinya dengan kejam. Hati Runi berdenyut nyeri, matanya memanas saat melihat foto pernikahan keduanya yang digelar dua tahun lalu. Hingga saat ini, Runi masih memandangi foto itu. Saat itu Renjana mengatakan jika harus keluar kota. Runi tidak curiga sama sekali. Pun dengan anggota keluarga yang lainnya. Mendadak mereka pergi di hari yang sama. Runi kala itu menganggap mereka semua punya banyak kepentingan. Sebuah keberuntungan bagi Runi yang tidak harus memasak ini dan itu untuk mereka semua. "Maaf dengan Bu Arunika?" sapa seorang yang ternyata pengantar pesanannya. Runi segera menghapus air matanya dengan cepat. Ia tidak menyadari jika ada seorang tamu yang entah sejak kapan berdiri di depannya itu. Ia terlalu asyik dengan foto-foto yang membuat hatinya sakit hingga menangis. "Ya, saya sendiri," jawab Arunika sambil tersenyum ramah pada sosok di depannya. "Maaf, Bu, ini pesanannya, saya ketuk pagar sepertinya Ibu tidak mendengar. Makanya saya nekat masuk," kata pengantar makanan sambil menyerahkan makanan pesanan Runi. "Oh, maaf, tadi saya menyelesaikan pekerjaan saya. Jadi berapa semuanya?" tanya Runi dengan ramah. Rasanya tidak enak hati melihat pengantar makanan yang dipesannya itu. "Semuanya delapan puluh lima ribu rupiah," jawab pengantar makanan dengan ramah. Runi mengambil pecahan uang seratus ribu dari kantongnya. Ia sengaja membawanya tadi. Agar tidak repot, tidak membawa dompet. Pengantar makanan tampak bingung saat hendak memberikan uang kembalian. Runi tanggap akan hal ini. "Ambil saja uang kembaliannya, Mas. Terima kasih ya," kata Runi dengan ramah. Pengantar makanan milik Runi tersenyum dengan bahagia. Uang tak seberapa yang ia terima membuatnya tersenyum. Senyum itu menular pada wanita cantik yang sedang gundah hatinya. Setelah berpamitan, pengantar makan miliknya keluar dari rumah. Runi segera memasuki rumahnya. Runi mengernyit heran, semua orang berkumpul di ruang makan. Terlebih saat Renjana tersenyum lebar padanya. Runi enggan menanggapi. Ia melangkahkan kaki menuju dapur dan mengambil perlengkapan makanan. Tak lupa membawa air minum dalam gelas. Makan di balkon kamar miliknya lebih baik. "Runi kemarilah, kita makan sama-sama," kata Renjana sambil berjalan ke arah wanita yang dicintainya. Runi tidak menanggapinya sama sekali. "Aku makan di kamar saja. Makanlah dengan anak istrimu," jawab Runi tanpa melihat ke arah sang suami. Ia malas jika harus memandang orang-orang yang sudah menghianatinya dengan kejam. "Istriku itu kamu," jawab Renjana sambil menggenggam tangan Runi. Sayangnya dengan dengan cepat sang istri melepaskannya. Runi meninggalkan Renjana yang terpaku. Raut muka sang suami terlihat sedih. Sebenarnya, ia juga merasakan hal yang sama. Tidak ada lagi senyum hangat dan canda tawa. Semua hilang dalam satu hari kala itu. 'Runi, bisakah kita kembali seperti dulu?' Renjana berkata dalam hatinya yang sedang sakit. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD