Part 11

2030 Words
Antara terkejut dan marah, Runi melihat wanita yang ada di depannya. Seenaknya saja menceramahi dirinya. Tidak punya hati sekali saat mengatakannya. Jelita bahkan tidak merasa bersalah. Segala sumber masalah yang terjadi dalam rumah tangganya ada padanya. Pun dengan orang-orang yang terkait, Bu Yanti dan keluarganya. Mereka seolah tidak punya perasaan seperti wanita pada umumnya. Perbuatan yang dilakukan pada Runi sangat menyakitkan. Hanya mementingkan diri sendiri tidak mengingat ada hati yang tersakiti. Mereka pasti sengaja, karena istri Renjana dianggap lemah dan dipastikan akan diam menerima semuanya. Salah besar! Justru kemaran wanita cerdas itu membuat semua berantakan. Jelita masih saja berdiri di depan kamar Runi. Istri pertama Renjana sengaja tak memintanya masuk. Menjijikan jika wanita ulat bulu itu memasuki kamarnya. Jelita pun dengan percaya diri yang tinggi justru memberikan nasihat yang sesat untuk kakak madunya itu. Berharao Runi akan paham dengan apa yang terjadi. Kemudian menerima kehidupan poligaminya. Semua dilakukan demi kepentingan pribadi keluarganya. Juga Renjana masih bisa menjadi bos di tempat usaha milik Runi. "Runi, dengar, tak selamanya poligami itu buruk. Kita bisa berbagi, aku dan Kumala tak akan mengambil Renjana darimu. Hati Renjana sepenuhnya milikmu," kata Jelita tanpa memerhatikan raut muka Runi yang siap marah besar. "Kamu bilang tidak mengambil?! Dengar ya perempuan murahan, dengan kamu dan dia menikah diam-diam itu sama saja mencurinya dariku!" bentak Runi tidak bisa menahan kemarahannya. Seenaknya saja mengatakan mudah menjalani poligami dalam rumah tangga. Apa yang ada di otak wanita itu sebenarnya? Dirinya seorang ASN, tidak boleh menjadi istri kedua. Lalu, mengapa justru sangat ingin menjalani rumah tangga poligami? Rasanya memang mereka semua tidak punya hati. Ingin menguasai harta milik keluarga Runi. Runi paham dengan keinginan mereka, tetapi tidak akan membiarkan semuanya terjadi begitu saja. Dengan bantuan Reno semua asetnya akan aman. Mereka tidak lagi bisa mengusik apa yang dimilikinya dengan susah payah. Bekerja dari nol hingga menghasilkan seperti saat ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Lalu tiba-tiba ada yang ingin memindahkan seluruh asetnya, rasanya ingin memaki orang itu. Akan tetapi, tidak dilakukan oleh Runi. Semua orang di rumah mendengar keributan dari kamar atas. Bu Yanti yang pertama datang. Dirinya hanya tersenyum sinis pada Runi. Bagi wanita cerdas ini tak akan pernah memaafkan ibu mertuanya itu. Orang yang selalu menekan dan memaksanya untuk bekerja layaknya pembantu di rumahnya sendiri. Entah bagaimana hati ibu mertuanya yang sangat tega dengan Runi yang notabene adalah menantu di keluarga ini. Mereka tidak pernah berbuat baik sedikit pun saat belum ada masalah ini selalu saja seenak hati. Bu Yanti bahkan tak segan memukul dan menampar Runi ketika berbeda pendapat dan keinginannya tidak terpenuhi. Runi masih bertahan dengan semua perlakuan ibu mertuanya karena rasa cintanya pada sang suami. Kini rasa itu entah menguap kemana. "Dan kamu wanita tua, aku menemukan semua bukti kejahatan dan pencurianmu terhadap semua asetku. Bersiaplah menghadapi panggilan dari kepolisian!" Runi mengancam Bu Yanti."Dengar, semua orang yang terlibat dalam kecurangan dan penggelapan aset keluarga besarku akan aku pidanakan!" ancam Runi dengan nada tegas. Bu Yanti yang tak siap dengan serangan mendadak dari Runi sangat terkejut. Tak menyangka jika menantunya sangat pintar dan cerdas. Bahkan belum sampai dirinya mengambil sertifikat tanah yang diinginkan, justru sudah ketahuan. Ada sertifikat tanah yang lain yang ingin dicurinya. Otak ibu mertua Runi hanya memikirkan uang dan uang saja tidak ada yang lainnya. "Ke-kejahatan apa?" tanya Bu Yanti terbata. Wajah pias Bu Yanti membuat Runi ingin terbahak. Rupanya ibu mertuanya bisa takut juga. Sebuah hiburan yang sangat menyenangkan bagi Runi saat ini. Wajah itu sangat lucu ketika ketakutan semuanya akan terbongkar saat ini. Seharusnya mereka tidak akan mengalami hal ini jika jujur dari awal juga berbuat baik pada Runi. Sayang, sifat serakah mereka membuat sikap lemah lembut Runi pun berubah. "Kenapa jadi gagap? Kaget? Dengar ya, sepintar apa pun kalian mencurangiku, semua sudah ada bukti. Dan, kamu, Mas, permudah sidang perceraian kita!" Runi mengatakannya pada Renjana dengan nada penuh emosi. Mereka selalu saja membuat ulah seolah tidak mengapa hal ini terjadi. Hati nurani keluarga Renjana telah mati demi harta dan kepentingan pribadi masing-masing. Setelah mengatakan hal itu, Runi segera membanting pintu kamarnya. Suaranya berdebam sangat keras. Kumala yang sudah tidur menjadi terbangun dan menangis karena terkejut. Jelita dengan tergopoh menuju ke kamar putrinya. Anaknya akan sulit tidur kembali jika terbangun malam-malam. Bisa mengajaknya bergadang sampai pagi menjelang. Runi terdiam di sisi ranjang. Dia berpikir, bagaimana bisa wanita itu mengatakan hal yang menyakitkan hatinya dengan santai. Seperti tidak punya dosa sama sekali. Bulir bening dengan lancang mengalir deras. Marah, sedih, dan sakit hati menjadi satu saat ini. Tidak ada seorang pun di rumah ini yang peduli dengan keadaannya. Mereka semua sumgguh jahat dan tidak bisa dianggap sebagai keluarga lagi. Keluarga, seharusnya saling melindungi satu dengan lainnya. Runi tidak merasakan hal itu. Justru hal sebaliknya yang terjadi dalam keluarga ini semenjak awal menikah dengan Renjana. Bu Yanti tak pernah berbuat baik padanya. Mempunyai seorang menantu justru membuatnya seperti mempunyai seorang pembantu gratis. Runi semakin terisak dan menjatuhkan air matanya. Ingatan di kepalanya tentang perlakuan kasar ibu mertuanya membuatnya mantap untuk berpisah dengan Renjana. "Runi, maafkan Mas, ya," kata Renjana yang entah sejak kapan berada di dalam kamar yang sama dengannya. Runi mendongak dan mencari arah sumber suara itu. Istri Renjana itu lupa tidak mengunci kamarnya tadi. Hingga membuat sang suami bisa masuk ke kamar mereka. Runi segera menggeser duduknya, menjauh dari pria yang masih berstatus suaminya. Tak ingin ada pembicaraan apa pun dengan laki-laki yanh kini sudah duduk di sebelahnya. Runi menatap sekilas wajah Renjana. Wajahnya menyiratkan kesedihan yang mendalam juga kebingungan. Akan tetapi Runi tidak ingin terpengaruh, hati dan pikirannya mantap untuk mengakhiri pernikahannya dengan sang suami. Tidak mudah menerima semuanya seperti ini. Terlalu menyakitkan, dan di masa yang akan datang, mereka pasti akan bertindak semena-mena. "Runi, saat itu, Mas benar-benar terpaksa menikahi Jelita. Tak ada cinta untuknya. Memang benar, dulu Jelita adalah mantan kekasih Mas. Namun, itu sudah berlalu dan Mas memilih menikah denganmu. Saat kamu menerima Mas waktu itu, sungguh sangat bahagia. Tak pernah terpikir bisa mendapatkan hatimu. Mas tahu, banyak yang menaruh hati padamu, termasuk Reno. Hanya saja, mungkin Mas adalah orang yang paling beruntung. Ibu, terus menerus meminta cucu, sedangkan kamu tak kunjung hamil jadi ...." Renjana menjeda sesaat ucapannya. "Mas menyetujui menikah dengan Jelita. Saat itu dia belum diterima ASN. Jadi kami bisa menikah hanya secara agama," lanjutnya dengan nada yang lembut. Renjana berusaha menjelaskan hal yang selama ini ingin dibicarakan dengan istri pertamanya. Beruntung, kamar ini tidak dikunci dari dalam oleh Runi hingga dirinya bisa masuk dengan leluasa. Runi tidak merespons semua penjelasan dari sang suami. Hatinya telah mati rasa karena ketidakjujuran yang dilakukan oleh suaminya itu. "Manfaatnya aku mendengar ini apa?" tanya Runi dengan nada yang dingin. Renjana menghela napas panjang. Tidak mudah menjelaskan dan mengajak berbicara Runi perihal masalah rumah tangganya itu. Suami Runi itu menoleh dan menatap sang istri dari samping, wajah Runi tampak sedikit kurus juga ada guratan lelah. Renjana berharap jika Runi membatalkan pengajuan gugatan perceraiannya di Pengadilan Agama. "Mas, ingin menjelaskan semua dari awal. Setelah menikahi Jelita, Mas sangat merasa berdosa padamu. Setiap hari d**a ini rasanya sangat sesak. Tak sanggup rasanya membuatmu sedih. Namun, nasi telah menjadi bubur. Lagi dan lagi, Mas tak bisa menolak ibu. Jika kamu marah saat ini, marahlah, Mas akan terima, tapi jangan minta perceraian. Rasanya tak sanggup untuk melepasmu." Renjana terisak saat mengatakannya. Pertama kali sebagai seorang suami Runi, ia meneteskan air mata di depan istri pertamanya. Hati laki-laki yang duduk di sebelah Runi sangat hancur. Tidak sanggup jika berpisah dengan istri yang sangat dicintainya itu. Tidak pernah terpikir di kepalanya akan bercerai dengan Runi. Wanita yang sangat dicintainya itu sejak pertama bertemu hingga saat ini. Runi diam tidak menjawab apa pun, dia tak mau goyah. Keputusannya sudah bulat. Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi, ternyata Reza menghubunginya. Dia lantas meninggalkan suaminya yang sedang terisak. Tidak memedulikan sosok yang kini sedang meratapi kesedihan. Istri pertama Renjana itu segera menerima panggilan dari sang adik. "Kak, Papa drop dan masuk rumah sakit lagi. Bisakah pulang sebentar?" suara Reza terdengar sangat ketakutan. Wajar jika adiknya sangat takut, karena ayahnya sakit dan harus dirawat. Sedangkan Reza masih sibuk dengan urusan kuliahnya yang tidak bisa ditinggalkan. Papa memiliki riwayat penyakit jantung. Mungkin saja karena memikirkan masalah Runi, penyakit jantungnya kambuh. "Baiklah." Runi menjawab singkat permintaan adiknya. Runi memutuskan sepihak panggilan dari Reza. Tanpa berpikir panjang, ia segera membuka lemari dan mengemas pakaiannya dalam koper kecil. Renjana terkesiap melihat sang istri membereskan pakaiannya. Ia sungguh tak sanggup jika harus kehilangan Arunika. "Run, tolong jangan pergi," pinta Renjana dengan memelas dan memeluk sang istri dari belakang. "Lepasin saya!" bentak Runi sambil berusaha melepaskan pelukan sang suami. "Ga akan, aku akan tetap peluk kamu, sampai kamu memaafkan semua salahku."Renjana memohon pada sang istri. Runi menghela napas kasar. Dia tak mengerti bagaimana harus menjelaskan tentang Pak Subroto. Baginya kesehatan sang ayah jauh lebih penting saat ini. Reza tidak bisa pulang karena kesibukan kuliah yang tidak bisa ditinggalkan. "Saya mau pulang, Papa sakit," kata Runi menjelaskan pada Renjana. Renjana melepaskan pelukkannya pada Runi. Matanya terlihat bengkak karena menangis. Runi mengerjab beberapa kali melihat laki-laki itu yang masih berstatus suaminya itu. Menangis? Air mata buayakah yang keluar? Lalu bagaimana pada saat menikah secara diam-diam dan memilih membohonginya? Apakah juga menangis? Ah ... tidak pasti saat itu mereka sangat bahagia. "Aku antar, ya," tawar Renjana pada Runi berharap sang istri setuju. Setidaknya mereka masih bisa pergi berdua seperti dulu. "Tidak usah, Mas, Papa dan Mama tak akan senang melihat kedatanganmu. Mereka sudah tahu perihal rumah tangga ini. Aku tetap memutuskan untuk bercerai, maafkan saya jika selama menjadi istrimu ada kurang dan membuatmu tak berkenan. Tolong permudah sidang cerainya. Pengacaraku akan mendaftarkannya minggu depan." Runi mengatakannya dengan lancar. "Tidak akan tenang jika hidup dalam poligami tapi disembunyikan. Sejak awal sudah berdusta, akhirnya saling menyakiti. Kita semua akan sakit hati," lanjut Runi dengan menahan air mata yang bersiap turun. Renjana tergugu mendengar semua ucapan wanita yang sangat dicintainya. Ikhlas adalah hal terberat baginya. Sudah tidak ada yang bisa diselamatkan biduk rumah tangganya dengan Runi. Wanita itu telah menyerah. Menyerah dan tidak mau lagi bertahan untuk bersama dengannya. Hal ini tidak mudah untuk keduanya. "Oh, ya, Mas, besok atau entah kapan, semua barang-barangku akan diambil oleh seseorang. Aku tak akan kembali lagi." Runi mengatakannya dengan tenang. Sejak awal memutuskan berpisah dengan suaminya, Runi memang berencana tidak lagi tinggal di rumah ini. Rumah yang hanya memberikan kesedihan mendalam baginya. Dusta dan keserakahan akhirnya menghancurkan rumah tangga Renjana dan Runi. Ingin mengulang masa bahagia yang sempat terpikir oleh laki-laki yang kini beristri duai itu, sayangnya tidak mungkin. Wanita yang dicintainya memilih pergi dan meninggalkannya. Bukan hanya Renjana yang terluka, Runi juga sama. Luka dihatinya, entah kapan akan sembuh. Wanita cantik ini kehilangan rasa percaya dirinya. Hatinya telah mati, bersama dengan sidang perceraiannya yang rencanya akan digelar minggu depan nanti. Jelita dan Bu Yanti mendengar semua percakapan kedua orang yang saling mencintai. Ada sedikit kelegaan dihati istri kedua Renjana, setidaknya bisa mengurus pernikahannya secara resmi. Walaupun, cinta sang suami hanya untuk Runi. Mama Kumala itu setidaknya masih bisa bertahan menjadi ASN. Tidak lagi dihantui rasa ketakutan akan sanksi dari pemerintah. Berbeda dengan Bu Yanti, ada rasa takut di hatinya. Ucapan Runi mempengaruhinya. Wanita serakah itu tak siap untuk kembali hidup miskin. Belum lagi, jika Renjana tak mendapatkan harta gana-gini. Harta di rumah ini seluruhnya milik keluarga besar sang menantu. Banyak bantuan berupa uang yang berasal dari keluarga Pak Subroto untuk menyelamatkan usaha milik Runi yang dipimpin oleh Renjana. Renjana bersiap keluar dari kamar yang dulu ia tempati dengan Runi. Bu Yanti dan Jelita bergegas pergi. Kedua orang itu tak mau jadi sasaran amarah Renjana. Terlebih, Kumala baru saja bisa tidur kembali. "Kita bisa memulainya dari awal, Mas," kata Jelita saat Renjana baru saja melangkahkan kaki hendak menuruni anak tangga. Renjana menoleh ke arah sumber suara itu. Matanya menyorot penuh amarah. Ingin rasanya menelan hidup-hidup wanita pembawa petaka ini. Sebenarnya bukan seratus persen kesalahan istri keduanya, ibunya juga ikut andil. Pun dengan kebodohannya yang mau saja menerima permintaan sang ibu agar tidak dianggap durhaka. "Akan kubuat hidupmu bagai di neraka," kata Renjana pelan, tapi sukses membuat Jelita ketakutan. Renjana telah berubah, kehilangan Runi penyebabnya. Hanya wanita cantik itu yang ada dihatinya. Tidak akan ada wanita lain yang bisa menyentuh dasar hatinya. Kali ini, hati Renjana telah mati. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD