Nat menatap Cleo penuh kekesalan. Sepanjang obrolannya Cleo terus-terusan mendesak Nat menceritakan soal Ramon. Apakah Ramon punya kakak duda? Punya adik yang tampan? Nat menyesal kenapa dia mengiyakan ajakan Cleo untuk makan di restoran yang cukup mahal di Orchad Road. Tapi, ya, bagaimana lagi, Nat sudah mengiyakan. Nat tahu percakapan mereka pasti akan seputar Ramon dan keluarganya karena Cleo selalu penasaran dengan pria yang menyandang label ‘pria kaya’.
“Jadi siapa yang akan mendesain gaun pernikahan kamu, Nat?” tanya Cleo menepiskan extension pirangnya dengan gaya lucu.
Mendesain gaun? Emang aku mau menikah dengan siapa?
“Aku punya banyak perancang gaun yang the best. Kamu tahu kan aku bahkan kenal beberapa desainer kelas dunia dengan konsep gaun couture. Aku kenal Vera Wang, Elie Saab, Ines Di Santo dan lain-lainnya.” Ekspresi Cleo cukup meyakinkan, tapi Nat tidak terlalu paham dengan gaun couture yang dimaksud Cleo.
Nat menyesap caffe latte perlahan. Sebelum dia berkomentar soal selera fashionnya yang rendahan. “Aku nggak terlalu suka gaun yang ribet-ribet. Lagian, aku dan Ramon belum ngebahas sejauh itu.”
Pupil Cleo melebar. “Kalian belum ada pembahasan apa-apa?” tanyanya dengan nada sedikit kesal.
Nat heran sebenarnya siapa sih yang mau menikah kenapa temannya ini ribet sekali soal pernikahannya dengan Ramon. Toh, dia hanya asal bicara saat menyebut Ramon sebagai ‘calon suaminya’.
Nat merapikan rambut hitamnya yang dikuncir kuda dengan agak gugup. Benar kata orang kebohongan akan selalu berlanjut dengan kebohongan-kebohongan lainnya. “Kita masih santai, Cleo.” Komentarnya berusaha menutupi indikasi kebohongan.
Cleo menatapnya curiga. “Oh ya?” sebelah alisnya terangkat sebelum dia menyesap espresso. “Begini, Nat, aku khawatir sama kamu. Kamu calon istri Ramon yang notabene pria kaya. Berawal dari skandal memalukan—ma’af—“ Cleo agak menyesal harus mengatakan skandal memalukan. “Lalu kalian akan menikah. Kalian itu menganut gaya hidup barat ya. Semuanya dibuat santai. Terlalu santai juga berbahaya, Nat. Saingan kamu ada di mana-man, lho. “ Cleo menatap Nat dari atas rambut Nat, kemeja polos biru yang dikenakannya, jam tangan sport murah meriah berwarna hitam, dan tas yang Cleo yakini sudah berusia lima tahun lebih. Tas jelek dan buluk. “Nat, kamu harus merubah penampilan.”
Nat mengernyit. Dia mengalihkan pandangan dari Cleo ke arah kemeja polos birunya. “Apa yang salah sih?”
“Branded.” Cleo berkata dengan nada ala orang kaya.
“Maksudnya?”
“Ganti pakaianmu dengan barang-barang bermerk.”
Nat tidak bisa menyembunyikan kekesalannya saat mendengar perkataan Cleo. “Kamu sinting ya, aku makan aja susah.” Katanya dengan nada penuh kejengkelan.
Pupil Cleo melebar, dia menatap ke arah sana dan sini untuk memastikan suara Nat tidak terdengar orang-orang di dalam kafe. “Oke, aku tahu keadaan finansialmu, Nat. Tapi, kamu harus merubah penampilan. Jangan karena Ramon akan menjadi calon suamimu lalu kamu nggak peduli sama penampilan. Ingat, orang yang menikah saja bisa bercerai apalagi kamu dan Ramon belum ada pembahasan lanjut soal pernikahan kalian.”
Ya Tuhan, Cleo...
Nat ingin sekali memukul-mukul kepalanya dengan buku tebal Harry Potter.
“Ah, udah nggak usah dibahas. Oke!”
“Nat, kamu nggak bisa kaya gitu. Kamu lihat kan pas Ramon ketemu aku. Dia berbinar-binar. Coba bayangkan di luar sana banyak yang lebih cantik dari aku. Dia bisa tertarik sama wanita-wanita lain, Nat.” kata Cleo defensif.
Sebenarnya Cleo ini siapa sih? Penasehat pribadi Nat atau peramal?
“Ya Tuhan, hentikan omong kosong sialanmu, Cleo. Aku dan Ramon tidak punya hubungan apa-apa.”
Seketika pupil Nat kembali melebar. Mulutnya ternganga. Ekspresinya tidak menutup keterkejutannya. Butuh beberapa saat hingga dia sadar dari keterkejutan. Cleo memang seperti itu. Dia rentan terkejut dan selalu butuh waktu lama hingga benar-benar sadar dari keterkejutan atau kabar tak terduga.
“Nat, apa maksudmu?” tanyanya setelah sadar. “Kamu bilang Ramon calon suamimu kan? Foto kalian tersebar seantreo Singapur dan bahkan menyebrangi pulau-pulau, lho. Negeri sebrang pun tahu soal skandal poto itu.”
“Ah, persetan dengan skandal poto sialan!” umpat Nat tidak tahan dengan kebohongan yang diciptakannya sendiri.
***
Jakarta, Indonesia
Ramon menunjuk perut Lanna yang agak membesar seperti menunjuk benda aneh sedikit mengerikan dari luar angkasa yang jatuh ke bumi. “Berapa usia kandungannya?” tanya Ramon pada David. Lanna mendekat pada mereka.
“Empat bulan.” Jawab David santai. Dia berusaha menyembunyikan kecemburuannya pada kakaknya. Baginya, Ramon pernah menyayangi Lanna dan itu hal yang masih sulit diterimanya meskipun dia berusaha berdamai dengan semua peristiwa yang terjadi antara Lanna dan Ramon. Setiap kali melihat Ramon dia belum bisa mengenyahkan adegan ciuman saat dirinya mengantar kakek pergi.
“Kak Ramon, mau nyoba puding buatan aku?” tanya Lanna. Ramon menyadari ada perubahan dari wajah wanita yang pernah—masih dicintainya itu. Ini gila! Dia masih menginginkan adik iparnya yang jelas-jelas sedang mengandung buah cintanya bersama David. Wajah Lanna tampak lebih lembut dan lebih dewasa. Ya, wajah itu tampak lebih dewasa dari sebelumnya. Mungkin itu efek hormon ibu hamil.
“Boleh, tapi kalau tidak enak,” Ramon menoleh pada David. “Biar David yang menghabiskannya.”
David tertawa renyah.
“Oke, siap. Aku ambil ya, pudingnya. Jangan memuji aku kalau pudingnya enak luar biasa.” Ujarnya bangga. Lanna kembali melesat ke lemari es untuk mengambil puding buatannya.
“Sejak kapan dia bisa bikin puding begitu?” tanya Ramon pada David.
“Sejak nggak benci bau aku lagi.”
Dahi Ramon mengernyit. “Benci bau kamu?”
“Ya ampun, sejak awal dia hamil, Lanna rewel banget, Kak. Dia benci bau aku tapi dia maunya dimanja aku.” David menggeleng mengingat betapa anehnya istrinya. Lanna hamil dan tidak ingin dekat-dekat David tapi dia tidak mau David bekerja atau akan sangat kesel kalau David terlambat pulang kerja. Betapa menyebalkannya Lanna saat itu, tapi David paham. Mamahnya bilang itu hanya efek hormon ibu hamil.
Ramon menggeleng-geleng tidak wajar.
“Percayalah, Kak, nanti juga bakal rasain seperti apa yang aku rasain kalau kamu punya istri yang lagi hamil.” David mengedip genit. Ramon tidak bisa menahan senyum gelinya.
“Tara... puding buatan Lanna siap disantap.” Lanna datang dengan sepiring puding berwarna hijau muda. Puding itu terlihat sederhana, simpel dan enak.
Tanpa berpikir lama, Ramon menghabiskan sepiring puding buatan Lanna dan memuji rasa puding itu yang enak dan pas di dalam hati. “Lumayan juga.” Komentarnya tanpa ingin membuat Lanna tersipu senang.
“Lumayan tapi habis,” balas Lanna menatap kosong piring yang kosong.
Ramon tertawa renyah. “Itu efek dari rasa lapar kali, Lann.”
“Rasanya aku nggak bisa lama-lama di Jakarta.” Ujar Ramon setelah hening beberapa saat.
“Kenapa?” Lanna dan David berkata secara bersamaan. Lalu mereka saling pandang dan tertawa.
“Kalian tuh sama keponya ya?” Ramon menggeleng-geleng tak percaya.
“Ngapain sih balik ke Singapur, toh, di sini Kakek lagi sakit. Lagian di Singapur kan semua kerjaan sudah ada yang handle.” Gerutu David. Jauh di kedalaman hati David—sebenarnya dia lebih merasa tenang saat Ramon berada di Singapur. Dia masih memiliki ketakutan yang ganjil kalau Lanna dan Ramon kembali saling... menginginkan? David masih melihat keinginan itu di mata Ramon. Saat Ramon menatap istrinya. Dia masih merasa cemburu. Tapi, bukankah cemburunya terlalu berlebihan atau ini hanya karena dia takut kehilangan Lanna saja.
“Bawa Nat ke sini, itu kan permintaan Kakek.” Ramon nyengir.
Lanna dan David saling bersitatap bersama keheningan yang ganjil.
***