Calvin berjalan bolak-balik di ruangannya, dia terus saja mengingat perkataan Andrea tadi. Perasaannya jadi kacau karena kata-kata Andrea itu, bagaimana mungkin wanita itu meminta Calvin mengakhiri hubungan rahasia mereka.
Pikiran Calvin dipenuhi dengan berbagai alasan kenapa Andrea ingin mereka mengakhiri hubungan rahasia mereka. Calvin yakin betul dia sudah membayar Andrea dengan jumlah yang tinggi jadi tidak mungkin Andrea meninggalkannya karena kekurangan uang. Calvin juga yakin bahwa Andrea tidak meninggalkannya hanya karena perkataan Ibunya dan dia saat pesta ulang tahun ibunya tempo hari. Calvin tahu, Andrea sudah terbiasa menghadapi omongan pedas Ibunya.
Calvin tidak suka tapi alasan itu terus muncul dalam pikirannya yaitu alasan Andrea yang sudah mempunyai kekasih. Calvin terus menolak alasan itu karena dia yakin sekali Andrea sudah cinta mati padanya.
“Jadi kamu akan datang?”
Calvin tidak sengaja menangkap suara dari intercom teleponnya. Dia mendekati telepon itu dengan segera, tampaknya para sekretarisnya itu tidak memutuskan panggilan mereka.
“Iya. Lagian aku juga gak pernah datang pas reuni.” Suara Andrea terdengar menjawab pertanyaan tadi.
“Iya, kayaknya Cuma kamu yang gak pernah ikut reuni. Kamu ditanya terus itu sama Rangga.” Kali ini suara Widia menyahut kata-kata Andrea.
Calvin terdiam sejenak, dia tahu bahwa Widia dan Andrea berasal dari SMA yang sama hanya berbeda tempat kuliah. Jadi sudah pasti mereka sedang membicarakan mengenai reuni SMA mereka. Calvin terus mendengar percakapan mereka.
“Cie, Rangga siapa itu?” kali ini suara Dian terdengar menggoda Andrea.
“Mantan ketua OSIS kami dulu. Dari dulu dia naksir Andrea Cuma Andrea gak mau dengan alasan mau fokus sekolah. Klasik,” jelas Widia sekaligus mencibir.
“Ih! memang benar kok mau fokus sekolah. Kamu ‘kan tahu aku sekolahnya karena beasiswa,” ujar Andrea.
“Nah, sekarang ‘kan kamu udah gak sekolah. Berarti bisa dong fokus sama diri dan nasib percintaan kamu. Sampai kapan kamu mau menjomblo?” ujar Widia.
“Ya kalau dia masih suka sama aku,” kilah Andrea.
“Ya masihlah, orang dia masih tanya ke aku nomor baru kamu. Lagian, gimana caranya ponsel kamu bisa rusak begitu?” tanya Widia.
Calvin mengingat ponsel Andrea yang dia buang dari gedung apartemennya itu.
“Aku kasih nomor kamu bisa ya, Andrea. Kasihan itu anak orang udah nunggu kamu lama banget,” ujar Widia.
Jantung Calvin berdebar cepat menunggu jawaban Andrea. Dia ingin memastikan bahwa Andrea tidak akan melakukan hal itu karena Calvin sudah pernah melarangnya untuk memberi nomor ponselnya ke pria lain. Tiba-tiba tanpa sengaja lengan Calvin menyenggol gelas kosong bekas kopinya sehingga gelas itu kemudian jatuh dan hancur.
Mendengar bunyi pecah membuat Widia dengan cepat masuk ke dalam ruangan Calvin dan menemukan atasannya itu sedang duduk dan agak terkejut karena Widia yang masuk tiba-tiba. Entah kenapa menurut Widia wajah Calvin lebih seperti orang yang baru saja ketahuan melakukan sesuatu.
“Apa yang terjadi, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Widia.
Calvin merapikan duduknya lalu menggeleng.
“Saya hanya tidak sengaja menyenggol gelas kopi saya. Tolong dibersihkan saja,” ujar Calvin.
Widia mengangguk lalu menuju ke bekas gelas itu dan mengangkat gelas itu berserta serpihan-sepihannya lalu membuangnya ke tempat sampah.
“Untuk karpetnya akan saya suruh OB untuk membersihkannya setelah Bapak pulang,” ujar Widia.
Calvin mengangguk.
“Ada lagi yang perlu saya bantu?” tanya Widia.
Calvin menggeleng.
“Baik kalau begitu, permisi Pak,” ujar Widia lalu segera keluar dari ruangan Calvin.
Calvin langsung mendekat lagi ke arah telepon itu namun sayangnya telepon itu sudah putus panggilannya. Calvin kecewa karena kini dia tidak tahu jawaban yang Andrea berikan dan itu pasti akan mengganggunya.
***
Calvin segera bersiap untuk pulang, dia sudah sangat lelah dan ingin sekali tidur. Dia kemudian segera keluar dari ruangannya.
“Jadi Rangga udah telepon?” Calvin secara tidak sengaja mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Widia itu.
Calvin lalu dengan cepat berhenti namun sayangnya dia sudah terlihat oleh Widia.
“Eh, Pak Calvin!”
Calvin mengutuk dirinya dalam hati karena dia kembali gagal mengetahui jawaban Andrea. Ketiga sekretarisnya itu langsung berdiri dan memberi hormat kepadanya.
“Apa Bapak sudah ingin pulang?” tanya Andrea.
Calvin menggunakan wajah datarnya kemudian mengangguk.
“Baik Pak, silakan.” Andrea berdiri dan bersiap untuk mengantar Calvin menuju ke mobilnya.
Calvin mengekori jalan Andrea yang berada di depannya, hatinya terus bertanya-tanya karena penasaran apakah Andrea akan menerima ajakan kencan dari pria lain atau tidak. Tentu saja Calvin berharap Andrea akan menolak ajakan pria itu.
“Kamu ada acara akhir minggu ini?” tanya Calvin.
Andrea agak terkejut dengan pertanyaan Calvin sekaligus panik karena dia harus berpikir cara untuk menolak kalau-kalau Calvin mengajaknya lagi.
“Iya Pak,” jawab Andrea.
Calvin memandangi sekeliling liftnya, hal yang sebelumnya tidak pernah dia lakukan. Bahkan Andrea bingung melihat tingkah bosnya yang lain daripada biasanya.
“Kalau kamu tidak keberatan ... saya—“
“Saya akan ada acara reuni dan saya jadi panitianya,” potong Andrea.
Calvin membelakan matanya karena respons Andrea. Dia tahu Andrea berbohong, hanya saja entah kenapa dia tidak berani untuk memaksa. Sebuah rasa tidak percaya diri timbul dalam diri Calvin, ini tidak benar.
“Kalau begitu, malam ini tidur di tempat saya,” ujar Calvin lebih seperti memerintah.
Andrea menghirup nafas panjang.
“Maaf tapi saya tidak bisa,” jawab Andrea.
Calvin akhirnya meraih tangan Andrea, mencengkeramnya kuat hingga Andrea meringis kesakitan.
“Sudah kubilang aku tidak suka dibantah, Rea!” Calvin memandang langsung ke mata Andrea.
“Buat apa?” tanya Andrea.
Kali ini Calvin yang bingung.
“Buat apa bagaimana?” tanya Calvin.
“Buat apa saya harus pulang ke tempat Bapak?” tanya Andrea.
“Apa maksudmu? Kamu sudah tahu kenapa?” jawab Calvin sengit.
“Untuk dijadikan teman tidur? Untuk dijadikan pemuas hasrat?” ujar Andrea tidak kalah sengit.
Rahang Calvin menegang menahan amarahnya.
“Saya rasa Bapak bisa mencari wanita seperti itu di luar sana. Pasti banyak wanita lain yang bisa Bapak pakai untuk menuntaskan hasrat lelaki Bapak. Kenapa harus saya?” sambung Andrea lagi.
“Kamu jangan membuat saya marah, Andrea.” Nada suara Calvin merendah tapi terdengar kemarahan dengan jelas di dalamnya.
“Saya lelah, Pak. Saya lelah menjalani hubungan seperti ini,” ujar Andrea.
“Hubungan?” Calvin tersenyum miring.
“Sejak kapan kita punya hubungan, Andrea?” tanya Calvin lagi.
Andrea tersenyum pedih, hati Andrea sakit mendengar kalimat Calvin barusan. Dia menyerahkan semuanya untuk Calvin, tapi nyatanya pria yang terlanjur ia cintai ini malah hanya menganggapnya setara dengan gadis malam yang bisa dipakai dan dibayar.
Air mata Andrea perlahan tergenang di pelupuk matanya, hanya dengan satu kedipan dan air matanya tumpah membasahi pipinya. Calvin tersentak melihat Andrea yang menangis, perlahan pegangan tangannya di lengan Andrea mengendur.
“Kalau begitu pergi dari hidupku!” Andrea menutup wajahnya.
“Menjauh dariku, pergi sana cari wanita yang pantas untuk kamu seperti mau kamu dan Ibumu. Jangan libatkan aku!”
Calvin terdiam, dia tidak tahu harus berkata atau melakukan apa. Pintu lift tiba-tiba terbuka, Calvin dapat melihat para pengawalnya sudah berbaris untuk menyambut Calvin. Pria itu dengan cepat menutup kembali pintu lift karena Andrea yang masih menangis. Tentu hal itu akan menimbulkan pertanyaan.
“Pergi dari hidupku, dasar lelaki tidak tahu diri!” maki Andrea.
Semua kenangan pahitnya kembali berputar, tatapan sinis dari orang-orang karena melihat dia yang terus berada di sisi Calvin, cemooh orang-orang, sampai hinaan yang dia dengar sendiri dari Calvin dan Ibunya.
“Berhenti menangis,” ujar Calvin pelan.
“Tidak. Kamu tidak perlu pergi, toh tempat kamu di sini. Aku yang akan pergi.” Andrea menghapus air matanya dengan segera kemudian menekan tombol lift sehingga pintu lift kembali terbuka.
Andrea kemudian membungkuk memberi hormat membuat Calvin tidak dapat lagi mendekatinya karena sudah terlihat oleh para pengawalnya. Dia tidak memberikan pilihan untuk Calvin selain pergi dari situ.
Calvin menuju mobilnya sambil tetap menatap Andrea yang menghilang bersama pintu lift yang tertutup. Andrea tersenyum miring, hatinya kembali merasakan perih karena cintanya yang bodoh untuk bosnya.
“Pergi seperti itu, Cal. Agar aku tidak menyesali keputusanku yang meninggalkanmu," ujar Andrea pelan.
***
Rambut Calvin berantakan, entah sudah berapa kali dia mengacak-acak rambutnya karena frustrasi sendiri. Dia tidak bisa tidur, selain karena memang insomnia yang dia derita, pikirannya melayang pada Andrea yang akhir-akhir ini membuat kepalanya pusing.
Awalnya Calvin sangat yakin bahwa wanita itu tidak akan meninggalkannya apa pun yang terjadi karena dia tahu Andrea mencintainya. Tapi entah mengapa dia mulai kehilangan kepercayaan dirinya sendiri. Bayangan Andrea yang akan berkencan dengan pria masa lalunya sangatlah mengganggu.
Calvin yakin tidak ada pria yang akan menolak Andrea apalagi dengan penampilannya yang sekarang. Penampilannya yang cantik dan seksi serta pembawaannya yang cerdas dan kepribadiannya yang polos tentu akan menjadi daya tarik yang tidak bisa diabaikan.
Bayangan Andrea yang sedang tertawa manja dengan lelaki lain, bahkan bayangan Andrea akan dicium dan dibawa ke ranjang lelaki lain memenuhi pikiran Calvin. Dia bersumpah akan membuat perhitungan dengan lelaki yang berani menyentuh Andreanya.
“Andrea-ku?” tanya Calvin pada dirinya sendiri.
Calvin terkekeh sebentar lalu menggeleng. Seperti katanya pada Andrea tadi, mereka tidak mempunyai ikatan hubungan apa pun. Mereka hanya saling membutuhkan, Andrea membutuhkan kasih sayang dan uang yang dapat diberikan Calvin dan Calvin membutuh Andrea untuk menuntaskan hasratnya di tempat tidur.
Sama seperti saat ini, dia membutuhkan Andrea sekarang. Sangat membutuhkan malah. Hanya aneh saja karena dia hanya ingin tidur dengan keadaan Andrea di sampingnya, bukan untuk melakukan adegan dewasa dengan sekretarisnya itu.
Calvin menemukan ketenangan sendiri ketika tidur dengan memandangi wajah Andrea atau menghirup aroma menenangkan dari wanita tersebut. Dia ingin selalu berada di sisi Andrea walau tanpa adanya hubungan lebih. Heran juga, tapi itulah yang dirasakan Calvin.
Karena itu juga akhirnya Calvin memutuskan untuk berkendara sendiri menuju ke tempat tinggal Andrea. Walau agak jauh dari apartemen Calvin, dia tetap pergi ke sana.
Sebelah alis Calvin terangkat saat melihat sebuah mobil di depan tempat Andrea. Setahu Calvin, tidak ada yang mempunyai mobil di tempat Andrea itu. Tangannya yang sedang memegang pintu mobil berhenti saat dia melihat Andrea tengah berjalan keluar bersama dengan seorang pria dari tempat tinggalnya.
Calvin tidak berkedip saat melihat lelaki tersebut mencoba menyentuh jemari Andrea dan membuat wanita itu tersenyum malu-malu. Hatinya menjadi lebih panas lagi ketika lelaki itu mencoba mengelus pipi Andrea. Sebagai lelaki Calvin tahu itu hanyalah langkah awal dari seorang lelaki untuk mencium wanita mereka.
Dengan cepat Calvin menghidupkan kembali mobilnya dan menyalakan lampu mobilnya sehingga membuat Andrea dan pria itu kaget lalu menghalau wajah mereka dengan tangan.
Calvin dapat melihat perubahan wajah Andrea yang sepertinya mengenali mobil milik Calvin. Dia dengan cepat membuat lelaki itu masuk ke mobilnya dan melambaikan tangan pada lelaki itu sampai mobil itu pergi dan menghilang dari pandangannya.
Andrea lalu bergerak cepat untuk segera masuk ke tempatnya namun kalah cepat dengan Calvin yang saat ini sedang menahan tangannya.
“Aw! Sakit!” adu Andrea.
Calvin melepaskan cengkeramannya dari lengan Andrea.
“Siapa dia? Buat apa dia di tempatmu sampai larut malam begini?” cerocos Calvin.
Andrea meliriknya tajam lalu berlalu begitu saja seolah mengabaikan Calvin. Calvin marah, dia lalu masuk ke tempat Andrea dan menemukan tempat itu cukup rapi, dia menuju kamar tidur Andrea dan sama saja tetap rapi.
“Apa kamu tidur dengan dia, Rea? Jawab Aku.” Calvin menahan bahu Andrea.
Andrea menghela nafas panjang, dia lelah sekali menghadapi sikap Calvin yang seperti ini. Posesif.
“Aku dan Rangga hanya pergi kencan sebentar di luar. Aku mengajak dia minum kopi sebagai tanda terima kasih karena dia udah traktir makan malam kami,” jelas Andrea.
“Kencan? Kalian berkencan? Kamu berkencan? Dengan lelaki lain?” Nada suara Calvin semakin naik di setiap pertanyaannya.
“Tentu saja. Kenapa memangnya? Tidak boleh?” balas Andrea tidak mau kalah.
Calvin terengah-engah karena emosi yang terus ditahannya dari tadi.
“Aku wanita lajang, aku juga butuh pria yang nanti akan menjadi suamiku, menjadi masa depanku. Pria yang mencintaiku,” ujar Andrea.
Calvin tertawa.
“Jangan bodoh Andrea, tidak ada yang namanya cinta di dunia ini,” ujar Calvin.
“Ada. Semua orang punya cinta. Kamu saja yang tidak punya,” ujar Andrea.
Calvin terdiam.
“Oh tidak, kamu punya. Tapi cinta pada dirimu sendiri,” lanjut Andrea.
“Pokoknya aku tidak suka kamu mendekati atau didekati pria lain. Kamu akan menyesal karena hal itu,” jelas Calvin.
“Kenapa? Kamu cemburu? Kamu cemburu karena aku berkencan dengan lelaki lain selain kamu? Kamu cemburu kalau mereka sampai menyentuhku, menciumku atau tidur denganku?” Andrea mengonfrontasi Calvin.
“Cemburu hanya untuk orang yang sedang jatuh cinta. Kalau tidak namanya pengekangan,” lanjut Andrea.
Calvin mendekat ke arah Andrea, dia menarik tubuh Andrea dan memeluknya erat.
“Apa pun yang terjadi, jangan tinggalkan aku, Rea. Aku akan gila jika tidak bersamamu.”