“Ethan!” teriak seorang wanita berambut coklat gelap seraya berkacak pinggang. Yang tak lain adalah adiknya, Rachel.
“Ethan!!!” teriaknya kembali namun tidak menghasilkan jawaban dari pria yang ia panggil sedari tadi.
Pria itu masih dalam keadaan tertidur dengan seorang wanita berambut merah membara yang memeluk pinggang Ethan dengan posesif. Mereka berdua masih memejamkan matanya seakan itu bisa mengusir Rachel, yang sedang berteriak di depan mereka.
“Demi tuhan, Ethan. Aku akan menghubungi Momma agar ke sini jika kau masih tidur seperti orang mati dengan jalang api ini!”
Mendengar kata Momma menuju tempat tinggalnya membuat ia dengan cepat duduk sambil mengumpat segala cacian yang ia punya. Terakhir kali Ibunya datang, wanita tua itu membawa gunting kebun hampir memotong k*********a. Dia melirik adiknya, Rachel yang masih berdiri dengan kesal.
“Akhirnya kau bangun juga. Ingat pagi ini kita mempunyai acara keluarga.” Rachel menoleh ke arah si wanita yang masih tertidur telungkup membuat ia berang. “Hei, jalang api cepat bangun! Pungut bajumu dan keluar sekarang!” teriaknya kembali seraya menjambak si rambut merah hingga si empunya merintih kesakitan yang di mana bila di dengar oleh Rachel sendiri sangatlah menjijikan.
“Aku memiliki nama!” rengeknya masih di jambak Rachel.
“Rachel.” Ethan memperingatinya membuat Rachel menghentikan aksinya dengan setengah hati. Ethan tersenyum. Untunglah adik tercintanya masih memiliki rasa hormat untuknya.
“Ethan... Rachel sangat kasar,” rengek wanita itu seolah mengadukan perbuatan Rachel yang melukai harga dirinya. Sedangkan Rachel membesarkan pupilnya, bagaimana dia tahu namanya?! Lalu melirik tajam Ethan.
Ethan mengusap kepala wanita itu dengan dan tersenyum. “Pulanglah. Lain kali kita akan bermain lagi.”
Wanita itu berhenti merengek. “Bolehkah aku mengajak temanku?”
“Semua temanmu.” Ethan mengedipkan sebelah matanya membuat wanita itu dengan cepat berpakaian lalu mencium pipi Ethan. Dan pergi dari sana.
Ethan menoleh ke belakang melihat Rachel bersandar di kusen pintu dengan tangan disilangkan di dadanya.
“Jangan membuatku lebih sibuk dengan skandal-skandalmu, kak. Asalkan kau tahu, aku sangat membenci pekerjaanku sebagai manajermu. Tapi jika aku berhenti dan mencarikanmu manajer baru bukankah kau mempunyai peluang yang sangat besar untuk menidurinya sampai ada gosip?”
Ethan tersenyum manis. “Kau terlalu berlebihan, Monkey.”
***
Diana memasuki salah satu ruang guru yang berisikan 10 meja dengan 10 pengajar termasuk dirinya. Ia meletakkan semua barang bawaan yang ia pegang lalu mendaratkan bokongnya di kursi.
“Morning, Diana,” sapa seorang wanita di sebelahnya yang berambut pirang sebahu, fokus dengan buku-buku anak didiknya yang ingin di nilai.
“Pagi juga, Lucy.”
Ya seperti itulah Lucy. Orang pertama, setiap paginya yang selalu menyapa Diana. Namun tidak menatap Diana saat ia menyapa. Jika berada di lingkungan TK, wanita itu selalu menyibukkan dirinya dengan mengoreksi tugas anak didiknya. Entah apa yang ia lakukan di rumah. Kerja sambilan? Mungkin. Atau menjadi pengajar anak kecil merupakan kerja sambilannya? Entahlah.
“Membawa makanan seperti biasa?” tanya Daisy, wanita paruh baya yang tengah berdiri di depan meja Diana seraya membuka kotak kue yang tadi pagi Diana beli.
“Yup. Aku ingin berbagi dengan muridku-”
Tapi belum sempat Diana menyimpan kuenya, Daisy sudah memotong-motong kue tersebut menjadi potongan kecil dan membagikannya ke semua orang yang berada di ruangan tersebut termasuk Lucy. Diana hanya menghela nafas saat mengetahui kue tersebut hanya sisa 1/4 saja dalam waktu kurang lebih 5 menit.
5 menit lagi bel berbunyi. Para pengajar mulai meninggalkan meja mereka satu persatu begitu juga Diana. Baru saja ia ingin berdiri, ponselnya bergetar menandakan pesan masuk. Ia merogoh saku roknya dan membaca pesan dari Jeremy, kekasihnya yang bekerja sebagai Banker.
Jeremy: Pulang nanti aku jemput, see you darling.
Diana membalas 'Oke, darling' lalu menyimpan kembali ponselnya. Menurut Diana, Jeremy merupakan pria terbaik dari yang terbaik yang pernah ia temui. Sopan, perhatian, pengertian, dan ramah. 2 minggu lagi mereka akan genap berpacaran 2 tahun.
Selama mereka pacaran, Jeremy tidak pernah meminta lebih selain hanya berciuman. Ya harus Diana akui, terkadang Jeremy pernah kelewatan batas, maksudnya lebih dari hanya melakukan ciuman namun Diana dengan cepat bertindak menegur Jeremy. Jeremy sadar, meminta maaf, dan Diana akan memaafkannya. Begitulah siklus hubungan intim mereka.
Dan lusa adalah ulang tahun Jeremy membuat Diana tidak henti-hentinya tersenyum memikirkan kejutan yang akan membuat Jeremy terharu. Setelah puas memikirkan hubungannya, ia berjalan meninggalkan Lucy yang masih berkutat dengan tugas anak didiknya.
***
Setelah jam mengajar selesai, Diana berjalan dengan membawa banyak buku bergambar untuk ia nilai di rumah menuju mobil Jeremy yang tengah berbicara dengan orang lewat ponsel. Seperti kata pria itu, ia akan menjemput Diana. Jeremy yang melihat Diana dari dekat hanya melambaikan tangannya seraya masih asyik dengan telponnya.
“I will call you again,” ucap Jeremy saat Diana memasuki mobil.
Diana mengecup pipi Jeremy sebelum Jeremy membawa kendaraannya melintasi jalan raya.
“Diana?” panggil Jeremy.
“Hm?”
“Kau ingin kado apa untuk hari jadi kita yang ke-2 tahun?”
Diana mengangkat alisnya. “Bukankah itu masih lama? Bagaimana jika kita membahas ulang tahunmu?”
Jeremy menoleh sekilas agak terkejut sebelum fokus ke jalan. “Damn, aku hampir melupakan hari lahirku,” desis Jeremy menggelengkan kepalanya membuat Diana terkikik.
Diana mendaratkan jemarinya menyisir rambut Jeremy. “Jadi bagaimana?”
“Bagaimana apanya?”
“Your birthday, Jeremy.”
Diana dapat melihat raut wajah menyesal di wajah Jeremy. “Look, I'm so sorry, Darling. Besok aku harus pergi ke Toronto dengan beberapa karyawan untuk urusan kerja.”
Siapapun yang mendengarkan hal itu bila posisinya menjadi seorang kekasih pasti akan sedih, begitulah Diana. “...Toronto? Maksudmu Toronto di Kanada?”
Masih dengan raut wajah menyesal, Jeremy mengangguk.
Diana menyandarkan kepalanya ke belakang tampak berfikir keras. “Well, itu cukup jauh...” Tapi sedetik kemudian ia memasang senyum, meskipun itu sedikit di paksakan. “Okay. How long? 3 hari? 4 hari?”
Sekali lagi Jeremy memasang wajah menyesal, “1 minggu.”
“What?! Oh my God... Kenapa kau baru bilang sekarang?!” pekik Diana tiba-tiba.
“I'm sorry, sweetheart. Sebenarnya aku ingin memberi kejutan untukmu." Jeremy berujar.