Tiga

2755 Words
Setiap diri kita pasti memiliki masa lalu yang kelam dan masa sekarang yang tak terang. • • Bulan memasuki rumahnya yang modern dengan nuansa flora yang kuat. Ya, keluarga Bulan termasuk dirinya sendiri memang sangat mencintai segala  hal berbau tumbuhan. "Udah pulang?" cewek berambut biru itu melirik pada Bulan yang baru saja menutup pintu. "Seperti yang lo lihat, gue udah pulang," balas Bulan lalu duduk di samping cewek itu. "Lo nonton apa?" Alice menyodorkan  DVD film horor kepada Bulan. "Jangan kebayakan nonton horor lo, itu muka makin seram tahu," ujar Bulan bercanda. "Ok, gue ke atas dulu ya." Bulan  berjalan menuju tangga ke lantai atas. Sementara cewek bernama Alice itu masih dengan wajah seramnya mentap layar TV. Sekat dingin diantara keduanya memang masih jelas terasa. "Kalau aja gue bisa merubahnya, pasti bagus," gumam Bulan membuka pintu kamarnya. Ia menghempaskan tasnya ke meja belajar. Bulan melirik amplop di mejanya. Ia mengambilnya lalu melompat ke kasur queen size-nya. Beberapa foto polaroid jatuh dari amplop tersebut. Bulan mengambil salah satunya dan memandangnya dengan sesal. "Andai gue bisa merubahnya." Bulan menghempaskan foto itu asal. Ia menghela nafas pelan. "Sampai kapan pun gue gak bakalan bisa merubahnya." Bulan meraup kasar wajahnya. Ceklek "Ayo makan siang." Suara dingin Alice terdengar jelas seperti perintah tak terbantahkan. Bulan bangkit dari tidurnya sementara Alice langsung menghilang begitu saja. Dia seaakan perhatian tapi juga dingin pada waktu yang sama. Ya, tidak salah juga sih. Itu semua Bulan yang melahirkannya. "Bibi masak apa?" tanya Bulan pada Bi Siti yang tengah menata makanan di meja. "Pastinya masak makanan favoritnya non lah," balas Bi Siti dengan senyumnya. Wanita paruh baya itu memang paling baik. Bahkan Bulan akui dia adalah sosok ibu yang sempurna. Baik dan pandai  masak. Ramah juga humble. Bulan selalu nyaman bersama wanita itu. "Bi, tolong bawakan buah segar untuk saya." Suara dingin Alice terdengar jauh dari ruangan. "Lo gak mau makan?" tanya Bulan kala Alice malah memilih duduk di kursi perapian. Cewek berambut biru itu membuka surat kabar di tanganya. "Gak, lo aja." Lagi-lagi dingin yang Bulan dengar. Kenapa lo ajak gue makan siang, kalau nyatanya lo malah milih baca koran hah? Batin Bulan sedih. Bulan menggeser sebuah piring ke dekatnya lalu menyendok kan nasi ke dalamnya. "Bi, ayo makan," ajak Bulan seraya menyendok lauk pauk ke dalam piringnya. Bi Siti yang baru selesai meletakkan buah segar kepada Alice lantas tersenyum. "Saya udah makan duluan, non," balasnya ramah. "Lagian ini kan udah jam 4. Bukan makan siang lagi namanya atuh, non." Bulan terkekeh. "Ya, gimana lagi Bi. Saya kan pulangnya jam segini. Jadi baru sempat makan siang deh." "Bi, kembali ke belakang!" Alice memang tak suka ada orang lain di atara dirinya dan Bulan. Bi Siti mengangguk patuh, lalu kembali ke belakang. Bulan menghela nafasnya. Selalu saja begitu. Alice seakan-akan tak ingin Bulan berinteraksi dengan siapapun. "Gimana hari pertama?" Bulan menelan wortelnya lebih dulu. "Biasa-biasa aja." "Gak ada masalah?" Alice melempar koran di tanganya gusar. Bulan jadi penasaran dengan isinya. Bulan menggeleng. "Gak ada, Hiu. Gue baik-baik aja. Gue udah punya kawan juga kok. Kalau ada masalah, bisa lah minta bantuan mereka." Sebenarnya Bulan tak yakin bahwa Bumi dan kawan-kawan dapat membantunya sih. Alice tertawa hambar. "Jangan terlalu percaya sama teman, Biu."  Bulan tahu ada pilu di dalam kalimat itu. Tapi bersikap simpati pada Alice sama saja membunuh diri sendiri. Cewek itu tidak suka dikasihani. "Jangan pernah mengarapkan bantuan orang lain, Biu! Apalagi sampai mengemis. Itu pantang bagi kita." " Sesayang apapun atau sebaik apapun teman lo, gak semuanya bisa di harapkan. Entah itu karena takdir Tuhan atau kesengajaan, yang terpenting mereka gak selalu bisa diharapkan," lanjut Alice dengan manik berkilat marah. Apakah itu sindiran? Pikir Bulan sedih. Sorry gue ngecewain lo, batin Bulan. Alice menghela nafas kasar. Cewek itu cukup sadar bahwa salah satu kalimatnya telah meracuni seseorang. "Habisin makanan lo!" katanya lalu pergi meninggalkan rungan tersebut. Alice jelas anti buat mengakui kesalahannya. Lagian itu impas dengan semua perbuatan lo, batin Alice. Bulan menghembus nafas kasar. Rumah ini selalu saja membuatnya terintimidasi. Bulan membawa piringnya ke kursi perapian. Ia menyendokkan sesuap nasi ke dalam mulutnya, lalu tanganya bergerak memungut koran di meja. "Apa lagi yang buat dia marah?" gumam Bulan lalu membuka lembarannya. Di halaman utama dengan jelas Bulan dapat menjawab apa yang membuat si rambut biru itu marah. Bulan merasa ayam balado di mulutnya terasa hambar seketika. "Gue lagi sebabnya," gumam Bulan miris. Itulah Bulan dan rumahnya. Tak seceria dan sejutek di sekolah. Dia begitu kecil di dalam rumah mewah itu. Tidak dengan di sekolah, Bulan tak ingin terlihat kecil di sana juga. Bulan berhak bahagia tanpa di hantui masa lalunya. Bulan tersenyum. "It ain't my fault," Gumamnya lalu kembali melahap makanannya. Bumi Aldiatama menutup kembali pintu mobilnya. Riuh penonton memekakkan telinganya. "Woi! Kemana aja lo, b**o?" ujarnya menepuk bahu seorang cowok seumurannya. Cowok itu terkekeh. "Liburan di Hawai, dong. Enak, banyak cewek hot. Eh, si Jack mana?" cowok itu melirk kanan dan kiri, kali aja si penipu itu menyelip di antara penonton. "Lagi jemput si Jonah tuh," balas Bumi acuh. "Eh, Vil. Lama gak jumpa," sapanya pada cowok bernama Vila . "Lama dong, gue lagi hibernasi di rumah kemarin. Malas tahu ngelihat dunia lagi," balasnya lalu tertawa. "Eh, Pash gimana liburan lo di hawai?" Cowok bernama Pasha itu berbinar. "Wiss, keren bro. Banyak cewek b***l tahu. Bohainya nauzubilah, bego." "Ah, nyesel gue gak ikut sama lo," lirih Vila lalu mengeluarkan bungkus rokoknya. "Mau?" tawarnya pada keduanya. Bumi mengambil satu batang lalu menyelipkan di bibir merahnya. Pasha menyerahkan korek padanya. Lalu Bumi memantiknya ke ujung rokoknya. Asap dari benda nikotin ketiganya pun menari-nari di udara. "Gimana SMA?" tanya Vila di sela-sela hisapan rokoknya. "Biasa aja," balas Bumi santai. "Btw, kita sekelas semua tahu." "Lo, gue, Vila, Jack, Jonah, Corbyn, serius kita sekelas?" tanya Pasha memastikan. "Habis tuh kelas pasti kita bikin ribut mulu," kekehnya yang di balas tawa oleh Vila juga. "Si Corbyn sih enggak, dia masuk Bahasa," koreksi Bumi. "Gue jadi kangan muka itu bocah deh," kekeh Vila. "Sangking kangennya pengen gue hajar itu anak." "Jangan, bro," nasehat Pasha. "Nih ada bodyguardnya tahu." Cowok itu terkekeh mengejek pada Bumi. Bumi mengembuskan asap rokoknya ke udara. "Terserah apa kata lo," balasnya acuh. "Eh, di kelas ada cewek cantik gak?" tanya Vila si playboy cap kaki tiga. "Ada," sahut Jack tiba-tiba muncul dari belakangnya. "Kaget gue, b*****t!" gusar Vila lalu mengusap d**a bidangnya. Jack tergelak. "Harusnya lo sekalian serangan jantung aja sih." Pletak Vila menjitak kepala cowok itu kuat. "Sialan lo, bangke!" "Hi, Jonah sayang," goda Pasha menyikut lengan cowok datar itu. "Masih sakit gigi aja nih?" Jonah balas menyikut lengan Pasha. "Sialan lo!" desisnya lalu merebut bungkus rokok di tangan Vila. "Haram hukummya mengambil sesuatu tanpa meminta lebih dulu, b**o," ujar Vila tak ikhlas. "Habis dah itu rokok gue, Jo." Pletak "Tanpa mencuri pun rokok emang udah haram, b**o!" balas Bumi. Jack ikutan mengambil sebatang rokok milik Vila. "Mubah kali," koreksinya lalu melempar bungus rokok tadi pada Vila. "Sunah gak sih?" sanggah Vila. Jonah mengehembus asap rokoknya ke udara. "Bacot lo semua," katanya dingin. "Idih, pembahasan penting kayak gini lo bilang bacot. Kualat lo baru tahu?" cecar Bumi tak terima. "Entah, si kulkas ini suka gaje tahu," kata Vila setuju. "Dari dulu SMP sampai sekarang udah SMA, datar aja hidupnya. Nanjak dikit kek atau turun dikit kek. Ini datarrrrr aja. Dasar triplek!" Jonah menghembus nafasnya kasar. "Bukan urusan lo pada." "Eh, mau tahu gak si Jonah sekarang udah ada gebatan," kata Jack memulai gosip. Mata Vila dan Pasha berbinar. "Yang bener lo?" ujar keduanya kompak. Jonah memutar bola matanya malas. "Si mayat lo percaya," katanya malas. "Cantik gak?" sergah Vila. "Dasar playboy!" cibir Bumi menoyor kepala Vila. Cowok itu meringis. "Cantik." Jack mengacungkan dua jempolnya. "Tapi ganas." Jack tergelak dikuti oleh Bumi. "Iya, galaknya kayak ibu-ibu hamil b**o," tambah Bumi. Jack mengembuskan asap rokok dari hidungnya. " Galak-galak gitu kembaran lo, Parman." "Kembaran?" Dahi Pasha berkerut. "Really lo punya kembaran, bro?" Bumi berdecak. "Ck, bukan kembar lah. Kemiriapan tanpa sengaja ." Bumi tiba-tiba teringat sesuatu. "Eitss, tapi lo semua jangan bilang siapa-siapa dia  bukan kembaran gue ya. Kalau lo bocorin siap-siap lah gue hajar," ancam Bumi. "Lah kenapa?" Jonah penasaran. "Lo suka ya sama dia?" goda Vila dengan smirknya. Bumi menggeleng. "Itu anak baik. Gue takut cabe-cabe kelas 12 bakalan musuhin dia. Ya secara gue kan ganteng ." Bumi menyugar rambut hitamnya. "Pasti banyaklah fans fantiknya. Ya kan?" Jack memasukkan jari telunjuk ke tenggorokannya hingga seolah-oleh muntah. "Uweeek, najis sok kegantengan lo!" "Sok ganteng!" cibir Jonah. "Di tolak Rosa juga lo? Mana kegantenganya?" Pasha dan Vila berpandangan. "Rosa?" "Gebetan, Bumi," beritahu Jack. "Anjir, banyak ketinggalan kita, bro," ujar Vila pada Pasha. "Ck, dasar bocah!" cibir cowok berotot itu lalu menendang pintu mobilnya hingga tertutup sempurna. Dia berjalan dengan cool ke arah mereka berlima. "Lo mau tanding atau ngegosip heh?" "Bukan urusan lo!" balas Bumi tak suka. Cowok berotot itu tertawa mengejek. "Ya, ya , ya, terserah lo." "Nyanyi lagu ayu ting ting lo?" sahut  Vila tanpa di minta. Cowok berotot itu menatap tajam Bumi, selaku pemimpinnya. "Taruhan 5 juta, tiga putaran. Gimana?" tawar cowok itu dengan senyum devilnya. "Lo gak takut kan?" "Tentu enggak, Ferguso," balas Vila cepat. Bumi mengangguk setuju. "Ayo," ajaknya pada yang lainnya. Cowok berotot itu tersenyum sinis lalu kembali ke mobilnya. "Dasar bocah!" cibirnya lalu memasang sabuk pengamannya. "Kita berlima, 5 juta bagi lima. Satu orang satu juta," ujar Jack lalu mengeluarkan isi dompetnya. "Anjir, duit gue pas lagi," katanya lalu menyerahkan uang itu pada Jonah. Bumi, Vila, Pasha pun melakukan hal yang sama. "Pash, lo sama Vila. Gue sama Jonah." kata Vila mengatur. "Gak," Bumi menggeleng. "Pash, lo sama Jonah aja." "Ashiap," Pasha berjalan ke mobil sportnya yang sudah di modifikasi sebagai mobil balap. "Ayo, Jo." Jonah menyerahkan  uangnya kepada Jack. "Lah, gue?" "Lo gak usah main hari ini" teriak Bumi lalu lari ke dalam mobilnya. Vila duduk di sebelahnya. "Udah lo periksa kan?" Bumi mengangguk sambil memasang sabuk pengamannya. "Udah dong," balasnya penuh keyakinan. "Gue gak yakin kita menang," gumam Vila memasang sabuk pengamannya. Alis Bumi naik sebalah. "Lah kenapa? Biasanya lo yang paling optimis kan?" Mata Vila menyusuri langit mobil. "Lo gak kenal dia, Bum." "Cuma oom-oom sengak kan?" tebak Bumi. Vila menggeleng. "Bukan, Bum. Dia sang juara." "Eh," Bumi terkejut. "Bukannya Sang Juara Nhataniello ya?" Vila mengetuk pelana kepala Bumi. "Dasar kudet! Itu kemaren, b**o. Waktu kita sibuk-sibuk UN. Nhataniello bergeser. Hebat kan tuh orang. Skill Nhataniello aja udah tingakat dewa, apa lagi dia." "Berarti musuh gue jadi dua, ya? Ok, gue bakalan rebut semua tempat," ujar Bumi bagaikan sebuah sumpah. "Gue bakalan jadi sang juara" Bumi menyalakan mesin mobilnya, lalu menggiring dengan kecepatan sedang mobil itu ke garis start. Disana sudah ada mobil Pasha dan oom-oom yang tidak diktahui namanya itu. "Lama benar lo berdua?" geram Pasha. "Lumutan gue, bego." "Banyak bacot," ejek Vila acuh. "Siap kalah?" Bumi melirik benci mobil di sebelah kanannya. "Maaf ya , Om. Kita gak bakalan kalah. Gue rasa lo yang malahan kalah telak. Eh gue ingatin nih, kalau kalah jangan nangis ya. Bye!" Bumi menutup kaca mobilnya. Pria berotot di sebelahnya mengumpat kesal. Mulut Bumi memang suka menyulut emosi orang. Atau emang pria itu yang emosian ya? Deru mesin mobil saling sahut-sahutan. Seorang cewek sexy berjalan lenggak-lenggok ke tengah garis start dengan  bendera di tangannya. "Anjir, sexy b**o," puji Vila. "Otak lo cewek melulu. Kapan berkembangnya, b**o?" Vila menyandarkan kepalanya pada badan kursi mobil. "Kalau menang kita pesta di club, ya?" Bumi tak mengubris. Cewek itu mulai menghitung. 1 2 3  Prittttttttttttt Ketiga mobil sport itu melesat cepat di jalanan yang sepi. Penonton bersorak meneriakkan nama jagoan mereka. Bumi memacu mobilnya secepat mungkin begitupun dengan mobil Pasha. Peraturanya, antara Pasha dan Bumi harus bisa lebih dulu sampai ke garis finis daripada oom-oom itu. Satu lawan dua, gak fair sih. "Anijir, itu mobil apa roket," ujar Vila kala mobil oom-oom itu melesat jauh ke depannya.  "Eh, jalan pintas aja." "Gak perlu," Bumi menekan pedal rem saat hampir menabrak mobil oom-oom itu. "See, mobil gue gak kalah dengan dia." "Ok, juga sih. Tapi jangan lengah. Kejar terus, Bum. Pimpin jalan cepat!" Bumi menaikkan kecepatan mobilnya hingga melesat jauh. Pria berotot itu tersenyum devil lalu menaikkan kecepatan mobilnya. Uh, ditengah kegelapan malam mereka menembus jalanan dengan kelajuan tinggi. Tanpa sadar bahaya dan maut sudah bersiap menelan mereka. Dreetttttt Bumi yang merasa risih dengan getaran di sakunya lantas menarik ponselnya keluar. "Jawab, Vil!" Vila mengambil alih ponselnya. "Halo" "Mapel gue sama lo, Suparman. Fotoin ya? Kalau gak gue hajar lo besok. Cepetan, Bum. Gue mau belajar nih!" "Gue lagi gak di rumah," teriak Bumi kala mendengar teriakan Bulan di sebrang sana. "Balik serkarang!" "Ck, gue ada misi penting," alibi Bumi. Bulan tak perlu tahu kalau dia seorang pembalap. "Misi apaan heh? Aelah gue tahu, itu pasti cuma akal-akalan lo aja kan? Bumi, gue mau mapel besok!!!!" Bulan kembali berteriak di sebrang sana. "Gak bisa, Jaenab," geram Bumi lalu menaiikan kecepatannya untuk menyalip mobil oom-oom itu. "Sial, laju bener itu mobil." "Lo ngomong apaan sih? Laju? Apaaan?" kepo Bulan. "Jaenab, gue lagi balapan," jujur Bumi pada akhirnya. "OMG, LO BALAPAN? BALAPAN? SERIUS, PARAMAN?" "Ahk, kuping gue," gusar Bumi mendorong hp yang di pegang Vila sedikit jauh. "Besok gue kasih hadiah buat lo, Jaenab. Tapi sebagai gantinya tutup telponnya sekarang. Gue harus fokus, fokus! Lo paham kan?" teriak Bumi lalu berhasil menyalib mobil oom-oom itu. "Yesssssss" "Ok deh. Btw sayang nyawa, Parman. Itu nyawa gak ada sembilan, b**o. Gue mau novel yang banyak, sangat buannyyakkkkkkkk. Jangan lupa ya." Bulan berteriak girang di sebrang. Bumi jadi bingung, anak itu memang bener gila agaknya. "Ok, bye Jaenab goblok." "Tungggu," Bulan berteriak. Hampir saja Vila mematikan sambunganya. " Apa lagi?" Mobil merah oom-oom itu melesat jauh ke depan. "Sial!" geram Bumi. "Hampir aja gue menang. Udah Jaenab, besok kita ngomong lagi. Matiin hp nya, Vil!" "Ck" Bulan berdecak sebal. "Dasar gak tanggung jawab! Mapel di ambil, gue telpon di omel. Nasib-asib." Bulan mengoceh kesal. Bumi tak peduli, ia terus memacu kecepatan mobilnya ke depan. Pasha tertinggal di belakang. "g****k, si Pasha lambat bener dah," gusar Bumi . "Bum, lo balapan resmi apa liar?" "Liar," balas Bumi emosi. "Sumpah, lo ganggu gue banget  Jaenab." Bulan menatap ke angkasa tinggi. "Hati-hati sama balapan begituan, Bum. Polisi dan maut mengincar lo." Bumi menghela nafas pelan. Entah kenapa dia tak ingin emosi kepada cewek itu. "Iya, gue tahu Jaenab. Lo tidur deh," "Belum bisa. Eh, gue gak bakalan ganggu lo lagi, tapi ada syaratnya." Bulan berjalan meninggalkan balkon kamarnya. Lalu, duduk di pinggir ranjangnya. "Apaan?" Bumi menyalip mobil oom-oom itu. Ia memacu kecepatan full untuk mencapai garis finish. "Nyanyi! Btw, kalau mau menang baca doa Parman." "Gak sempat," balas Bumi semakin memacu laju mobilnya. "Oom-oom itu ketinggalan jauh," sorak Vila. "Musuh gak ngejar berarti depan ada bahaya, Bum," beritahu Bulan lalu membaringkan badanya di kasurnya. Bumi menoleh ke kaca spionnya. "Kenapa lambat tuh, bangke?" "Betul juga kata cewek lo, mungkin ada bahaya di depan," balas Vila lalu membuka ponselnya untuk menghubungi seseorang. "Pash, lo ambil jalan pintas!" titah Vila. "Kenapa?" "Udah ikutin aja. Pokoknya gas full lewat jalan pintas. Sekarang!" Vila mematikan ponselnya. "Terus melaju, Bum. Jangan sampai dia curiga." Bumi terus melajukan mobilnya terus ke depan. "Bum, nyanyi!" titah Bulan di sebarang sana. "Ini lagi keadaan genting, bangke!" desis Bumi geram. "Sialan, lo ngatain gue bangke ? Itu mulut pernah di sekolahin gak sih?" geram Bulan berapi-api. "Diam Jaenab!" teriak Bumi gusar lalu tetap fokus pada jalanan di hadapanya yang sepi dan gelap. "Diam? Ada hak apa lo nyuruh gue diam hah?" balas Bulan berteriak. "Dasar Suparman, g****k!" "Jangan cari masalah, anjing!" Ups, emosi Bumi meluap. Bulan di sebarang sana tertawa miris. "Kalau gue anjjing, lo babinya. Kita kan mirip. Kata orang sih, ogah gue mirip sama babi kayak lo," "Diam lo, jalang!" geram Bumi lantaran fokusnya hilang. Ia memelankan laju mobilnya. "Pusing gue sama jalannya, tadi padahal kita udah lewat sini." "Lurus aja, Bum!" Bumi melaju lurus ke depan. Sesekali matanya awas melirik oom-oom itu di kaca spion. Bumi langsung tancap gas kala melihat pegerakan mobil lawannya semakin laju. "Heh, babi lo denger gue gak sih?" geram Bulan di sebrang sana. "Berisik, setan!" desis Bumi. "Vil, matiin hp nya sekarang!" "Kalau lo matiin siap-siap besok gue bunuh si Rose," ancam Bulan. "Jangan bawa-bawa cewek gue, anjing," teriak Bumi marah. "Bodo, pokoknya kalau lo matiin hp nya gue bakalan ganggu cewek lo?" Bumi yang sudah panas lantas merebut ponselnya di tangan Vila. "DIAM l***e!!!" Bulan memegangi dadanya. Sedang Bumi diam, mentatap mobil oom-oom itu membelok tajam ke kiri. Kedua bola mata laki-laki ganteng itu melotot tak percaya. Citttttttttt Bumi menekan rem sekuat yang dia mampu. Untung saja kecepatanya tadi melambat lantaran emosi dengan si Bulan, jadinya mobil itu berhenti tepat di ujung terakhir aspal. "Hampir aja jatuh." Bumi mengelus dadanya. "Lo terlalu laju," ujar Vila mengelus dadanya. Nafas Bumi memburu. Tadi kematian sudah sangat dekat denganya. Jika saja Bulan tidak memancing emosinya, maka mobilnya sudah pasti  melaju jauh hingga masuk ke jurang. Bumi belum hafal jalanan itu, lagipula penerangan kurang. Ditambah lagi fokusnya kacau. Tiba-tiba rasa bersalah manghampiri relung hatinya. Bumi menatap ponselnya yang tejatuh di dashboard. Ia memungutnya. "Kalau aja itu cewek gak ngacau lo. Udah pasti nih mobil melaju terus ke jurang kan?" Ujar Vila melirik sahabatnya itu. Bumi mengangguk. Ia menekan nomor tak bernama selaku milik Bulan, yang tadi belum sempat dia save. Panggilang tersambung. Bumi girang. "Maaf nomor yang anda tuju di luar jangkauan, silahkan coba tahun depan." Bulan mematikan sambunganya. Bumi menghela nafas kasar. Sorry, batinya menatap  gelapnya malam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD