SEPAKBOLA

596 Words
*** Duk! Duk! Duk! Bum! “GOLLLL!!!” teriak para bocil pinggir lapangan sambil memegangi spanduk bergambar teh pucuk wangi, ketika Loki mencetak goal dengan tendangan yang sangat keras. “Gollll!” Loki berlari dengan gaya ala-ala SIU, tapi naas, kakinya tidak mendarat dengan sempurna, mengakibatkan keseleo yang fatal. “Asuuuu!” “Hahahahaha!” terdengar tawa para bocil menertawakan Loki yang tersungkur dengan wajah meringis. Berbeda dengan para pemain di dalam lapangan, baik kawan maupun lawan, mereka kompak menghampiri Loki, memapahnya keluar dari garis putih. Sungguh solidaritas yang patut diacungi kon—jempol. Sambil mengerang kesakitan, Loki berkata kepada orang yang memapahnya, “Tolong buatkan patungku di sini, bro.” “Piye maksud sampean, Mas?” tanya Bram—si pemapah yang memiliki postur seperti atlit renang—. “Ya buatkan patungku yang kayak Aguero itu, lo.” “Sampean belum seumur j****t di sini, Mas, masa sudah minta dibuatkan patung? Patung lilin mau?” Bram bercanda, namun wajahnya serius. “Apa aja boleh. Yang penting nanti di bawahnya ditulisin, ‘Son of Odin pernah mencetak gol di sini’. Gitu, ya?” petuah Loki, bak orang yang mau mati. “Aku pengennya sekalian tak buatkan patung, terus sampean tak kubur di sini, Mas.” Loki meringis ngeri. “Anak-anak sini memang nggak ada yang sopan.” Bram mendesah kecil. “Gimana mau sopan coba kalau sampean datang sambil ngandeng Mbak Ara, bunga desanya kampung sini? Ya jelas ngamuk lah ak—kita.” “Oh? Ada yang cemburu, yeeee?” Loki melirik seorang gadis cantik yang duduk di pinggir lapangan, yang juga menatapnya … datar. “Sini, Mbak!” Ara—gadis SMA kelas 3 yang paling pintar, cantik, dan berprestasi—hanya menggeleng sambil mengulas senyum manis. Melihat respon yang diberikan Ara yang menolak secara halus, Loki hanya mengangkat bahu. Kemudian, duduk di hamparan rumput setinggi 5 centi. Cuaca yang teduh, dengan angin yang berhembus ringan, membuat suasana pedesaan semakin nyata adanya. Benar-benar kampung idaman. Cocok buat meninggal. “Kamu suka sama Mbak itu, ya, Bram?” Loki menggoda, mencolek lengan Bram yang ada di samping kanannya. “Ngawur sampean, Mas. Pertanyaanmu nggak bernutrisi.” Bram membuang muka, wajahnya bersemu merah. “Ngomongmu mbulet koyok silit bedes.” Loki memiting kepala Bram, mengacak-acak rambut pemuda itu. “Kalau kamu emang suka, ya ungkapkan saja. Daripada nanti tak rebut, kamu malah main santet nanti.” “Ngeri, oi!” “Apanya yang ngeri?” Bram membeliakkan sebelah matanya. “Masa iya aku nembak pacar orang?” “Oh? Itu doang?” Loki tersenyum licik. “Itu doang, tapi kalau sampean berani macam-macam sama cowoknya bisa jadi perkedil sampean Mas.” Loki tertarik, semangatnya kian terpacu mendengar ada seseorang yang menyebut seseorang lainnya dengan suara ketakutan, seakan seseorang itu tidak ada tandingannya. Padahal, dalam kamus Loki halaman 2 dijelaskan, bahwasanya di atas langit masih ada Loki si pendekar pencari wangsit. Jangan dianggap remeh. Begini-begini, Loki tidak pernah mengalah jika sudah berurusan dengan hati. Apalagi urusan hati sampai berakhir di ranjang, Loki juaranya. BUGHHHHH!!! Tiba-tiba, ada bola melayang tepat mengenai kening Loki yang sedang melamun sampai ke dasar lautan. Kaget. Bukannya bereaksi, Loki justru berdiri, dan menarik bahu Bram untuk mengikutinya berdiri. “Sampean nggak pa-pa, Mas?” Bram khawatir, bukan ke Loki-nya, tapi ke bolanya yang langsung kempis. Loki menampol belakang kepala Bram. “Jangan keluar topik mulu kamu. Ayo ikut aku. Aku punya ide bagus.” “Woi! Mau ke mana?!” teriak salah seorang pemain dengan nama punggung Tibo. “Mau mancing, Cak!” “Mancing apa?” “Mancing buaya!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD