"Mama lagi ngapain?" Tanya Taris kepada Angel yang masih bergelut di dapur meski jam sudah semakin larut.
"Hei sayang udah pulang? Mama lagi buat waffle. El mana?"
"Kak El langsung pulang ma, bunda Thalia telepon tadi." Balas Tarisa.
"Oh gitu," Angel kembali mengaduk adonan yang Taris sendiri tidak tahu terbuat dari apa saja. "Kamu kenapa keringetan gitu sayang? Rambutnya di kuncir gih." Tambah Angel.
"Oh ini.. eum, abis makan pedes tadi sama kak El." Jawab Taris bohong.
Taris berkeringat bukan karena makan pedas, tapi karena balap mobil yang El lakukan. Ia sangat ketakutan hingga membuat tubuhnya berkeringat seperti itu.
Di balap mobil tadi sudah pasti El yang menang. Pria itu seperti sedang kesetanan saat membawa mobil, dan lagi mobil yang ia bawa bukan mobil sport biasa, jadi tidak heran jika El menang. Sempat ada keributan saat Devan pria yang kalah taruhan tidak terima dan menantang El untuk berkelahi. El yang tidak bisa menahan amarahnya sontak menerina tantangan Devan musuhnya. Tapi karena Dion melerai mereka perkelahian tidak jadi terjadi.
Dan saat ini Tarisa tidak bisa menghilangkan ingatannya tentang balapan tadi. Benar ia selamat, tapi El sama sekali tidak peduli dengan ketakutan yang ia alami. Saat mencapai garis finish tadi El bukannya bertanya Tarisa tidak apa-apa melainkan turun meladeni Devan yang menggedor kaca mobilnya. Taris sama sekali tidak mengerti kenapa El malah seperti tidak peduli ia ketakutan seperti tadi. Mungkin menurut El hal itu biasa, tapi tidak untuk Taris.
"Sayang kenapa bengong sih?" Tanya Angel.
"Nggak apa-apa ma." Balas Taris. "Oh iya ma, Grandma di singapore apa kabar?" Tanya Taris.
"Baik-baik aja sayang, kamu kenapa nggak telepon langsung?"
"Setiap Taris telepon nggak grandma angkat. Selalu pas lagi sibuk."
"Iya mungkin dia lagi sibuk ngurusin tanamannya sayang. Kamu tahu grandma suka banget berkebun disana."
Taris berpikir cukup lama, ia memperhatikan Angel yang tengah mengaduk adonan wafflenya. Hingga pertanyaan yang ingin ia sampaikan terlontar begitu saja. Entah ini waktu yang tepat atau tidak, tapi ia sudah tidak sabar untuk bertanya."Mama, kalau Taris sekolah di Singapore bareng grandma gak apa-apa?"
"Kenapa tiba-tiba?"
"Taris pengen nemenin grandma. Kasian di Singapore sendiri. Boleh ya ma?"
"Kita bicarain sama papa dulu ya?"
"Taris pokoknya mau pindah akhir semester ini ma. Taris bakal bilang ke papa. Tapi mama janji jangan bilang ke siapa-siapa rencana Taris ini. Ke kak El, ke bunda Thalia, om kris, semuanya termasuk Tasya. Pokoknya cuma mama, papa, sama Taris yang tahu. Kalau mereka tanya alamat rumah grandma jangan mama kasih tahu. Kalau mama tetep kasih tahu nanti Taris bakal pindah dari rumah grandma pokoknya." Oceh Taris panjang lebar. Ia bahkan menahan napasnya, sama sekali tidak bernapas mengucapkan serentetan kalimat itu.
Angel tak buru-buru menjawab, ia terlalu fokus kepada ekspresi Taris yang terlihat ketakutan. Angel ibu Taris, sehingga tidak heran ia bisa merasakan apa yang Taris rasakan saat ini. Biasanya Taris terlihat datar, ia biasa terlihat baik-baik saja. Tapi sekarang? Angel merasakan ketakutan yang putrinya rasakan.
"Taris, ada yang ganggu Taris?" Tanya Angel pelan. Ia menghentikan kegiatannya.
Taris sontak menutup mulutnya rapat-rapat. Apa kali ini terlihat sangat jelas? Pikirnya. Tidak biasanya Taris lepas kendali mengontrol ekspresinya di depan Angel. Ia tidak mau Angel khawatir.
"Nggak ada ma." Balas Taris.
"Jangan bohongin mama sayang. Taris kenapa? Cerita sama mama." Ujar Angel.
Taris menunduk, menggigit bibir bawahnya. Ia menghembuskan napasnya sambil berucap maaf berkali-kali di dalam hatinya. "Taris gak suka di sekolah. Temen Taris cuma Tasya, Taris tuh pengen punya banyak temen ma. Taris di bully." Ucap Taris. Ia terpaksa berbohong. Hanya itu yang bisa masuk di akal menjelaskan kepada mamanya tentang ekspresi ketakutan Taris. Meski semuanya tak sepenuhnya salah. Taris memang merasa terbully, oleh pria yang selama ini Angel percaya untuk menjaga dirinya. Pria yang ingin memiliki Taris begitu gilanya.
"Sayang.." ucap Angel. "Siapa yang bully Taris? Apa alasan dia bully Taris sampai Taris ketakutan gini? Sejak kapan?" Tanya Angel.
Taris menahan gugupnya, tangannya terpaut saling berbelit satu sama lain. Wajahnya terlihat ketakutan. Berkali-kali ia menelan ludahnya takut-takut salah berbicara. "Gara-gara Taris ditembak kakak kelas ma. Kakak kelasnya ganteng, banyak yang suka." Balas Taris tak berkedip menatap kedua mata Angel, meyakinkan mamanya agar percaya dengan bualan yang Taris ucapkan.
"Kita harus lapor kepala sekolah sayang, ini gak boleh di biarin."
Kaki Taris serasa lemas, ia tidak boleh membiarkan mamanya melakukan hal itu. "Jangan ma, jangan, mama please kali ini aja mama turutin omongan Taris. Taris cuma minta pindah ke rumah grandma. Taris mau sekolah disana."
"Tapi sampai kapan sayang?"
"Sampai tamat junior college ma."
"Jadi kamu putusin buat secondary school di singapore? Disana beda sama disini loh sayang. Disana siapa yang suruh kamu belajar? Mama aja gak berhasil, cuma Elmarc yang berhasil bujuk kamu belajar. Jangan bikin mama khawatir sayang. Mama setuju kamu pindah sekolah, tapi bukan di singapore juga."
"Bisa ma, Taris janji bakal belajar buat bisa lulus O level, Taris juga bakal mati-matian buat bisa masuk Junior College bergengsi disana. Taris janji ma. Kasih Taris kesempatan. Please ma."
"Kita bicarain ini sama papa ya.. mama nggak bisa ambil keputusan sendiri buat.."
"Lagi bicarain apa ini? Kok serius banget?" Tanya Leo yang tiba-tiba menghampiri keduanya.
Melihat kehadiran Leo membuat Tarisa memeluk manja papanya itu. "Papa.." rengek Taris mulai merajuk.
"Ada apa sayang?" Tanya Leo mengecup puncak kepala putrinya.
"Taris mau sekolah di Singapore ya pa. Taris mau nemenin grandma." Ujar Taris dengan nada manja. Matanya penuh harap kepada Leo.
Tanpa berpikir Leo menjawab. "Bagus dong, yaudah papa izinin."
Mendengar jawaban suaminya, Angel mendelik terkejut. "Kamu kok izinin?" Tanya Angel.
"Ya nggak apa-apa. Tandanya anak kita itu mau maju, lagian juga mama di sana nggak ada temen kan? Biar Tarisa temenin mama."
"Tapi Leo..."
"Jangan pernah batasi apa yang anak kita mau Angel."
"Tapi di sana siapa yang bakal ngingetin Taris belajar? Dia susah banget disuruh belajar."
Taris kembali bersuara, meyakinkan mamanya. "Kan Taris janji bakal belajar biar lulus O level ma. Taris nggak akan kecewain mama papa, lagian grandma juga bakal suruh Taris belajar kok. Iya kan pa?"
Leo mengangguk setuju, dari dulu Leo selalu khawatir dengan ibunya yang ada di Singapore sendiri. Kebetulan putrinya Taris ingin belajar di sana, setidaknya Taris menemani grandmanya dan mengurangi beban pikiran Leo.
Angel menghembuskan napasnya, menyerah karena tidak mungkin melawan anak dan suaminya. Ia kalah poling. Angel kembali sibuk dengan apa yang ia kerjakan. Melihat mamanya tidak merespon membuat Tarisa tidak lega.
"Jadi gimana ma? Mama setuju Taris pindah sekolah ke Singapore?" Tanya Taris lagi.
"Kalau itu yang kamu mau, mama bisa apa Tar? Yang penting kamu nggak ngecewain mama sama papa di sana." Ujar Angel.
Taris senang bukan main, ia sampai lompat kegirangan mendengar persetujuan dari Angel. Kebebasannya ada di depan mata. Batinnya tak berhenti bersorak.
"Yaudah sana sayang kamu ke kamar, besok papa akan urus semuanya." Ujar Leo.
"Serius pa?!" Taris semakin girang.
"Iya.."
"Ih papa baik banget!!! Yaudah Taris ke kamar ya pa."
"Iya nak.." balas Leo.
Taris kegirangan menuju kamarnya. Bibirnya tak berhenti tersungging saking senangnya. Entahlah, kenapa hanya membayangkan bebas dari El saja sudah berhasil membuat Taris tak berhenti tersenyum.
Ia tak akan mendengar suara El, tak melihat wajah El, tak tertekan dengan semua yang El perintahkan padanya. Ia akan terbebas dari pria bernama Elmarc.
Sedang Angel belum puas mendengar alasan Leo, ia kembali menanyai suaminya setelah putrinya memasuki kamar.
"Alasan kamu cuma khawatir sama mama di singapore? Beneran cuma karena itu?" Tanya Angel menyelidik.
Leo menggeleng. "Aku udah nggak percaya sama Elmarc lagi."
"Maksudnya apa Leo? Apa karena masalah kemarin?"
"Itu salah satunya. Apa kamu nggak pernah peka dengan sikap Tarisa? Dia tidak nyaman dengan El." Ujar Leo.
Angel semakin tidak mengerti. "Nggak ada yang aneh dari mereka." Balas Angel.
"El itu sama kayak Kris. Dan aku lihat El udah klaim Taris milik dia, sama seperti Kris dulu saat klaim Thalia. Kalau El sama Taris saling suka nggak apa-apa, tapi yang aku lihat putri kita tertekan Ngel. Dan aku baru sadar setelah kejadian kemarin." Jelas Leo.
"Tapi..."
"Kamu seorang ibu, seharusnya kamu yang lebih paham akan Tarisa. Kenapa malah aku?"
Angel tak bisa menjawab apa-apa lagi, ia menunduk karena merasa malu Leo mengatakan hal itu. "Aku nurut kamu Leo." Ucapnya.
Leo menghampiri Angel, memeluk istrinya erat. "Aku lakuin ini demi putri kita."
"Tapi Elmarc anak yang baik Leo. Aku nggak mau kamu berburuk sangka sama anak sahabat kita."
Leo tak menjawab, ia hanya diam, mungkin lelah berdebat dengan Angel. Tapi yang jelas ia tak akan mengubah keputusannya. Ia tak akan menyesal telah mengikuti kata hatinya. Sebagai seorang ayah kepada putrinya. Taris tak pernah meminta banyak hal pada Leo, jadi sekarang ia akan kabulkan permintaan putrinya, permintaan yang terdengar seperti jeritan minta tolong.
- To be continue -