13 - Admit

1682 Words
Taris tak bisa melakukan apapun selain menurut kepada El. Saat ini ia tak punya siapa-siapa selain pria itu di markas yang lebih menyeramkan daripada gedung tua tak berpenghuni. Setelah mendapat tatapan tajam El, yang bisa Taris lakukan hanya menunduk, semakin meremas kaos yang El kenakan. Nyatanya Taris tak bisa pulang sendiri, lokasi tempat yang El sebut sebagai markas itu ada di pinggiran kota. Mana bisa ia pergi? Taksi, ojek online, bahkan tak terlihat. Sudah jelas markas seperti itu ada di pinggiran kota, menghindari polisi pastinya. Hati Taris berkomat-kamit, semoga polisi menemukan tempat tersembunyi ini, agar tidak meresahkan warga dan menyusahkan dirinya tentunya. El kembali berbincang dengan pria dewasa bernama Dion tersebut, menanyakan taruhan hari ini. Dan nominalnya cukup besar, senilai uang jajan El selama dua minggu lamanya. 25 juta. El berani menyerahkan uang jajannya selama sebulan, 50 juta. Jika Kris tahu uang jajannya selama sebulan itu ia gunakan taruhan, mungkin ia akan di bakar hidup-hidup, tapi selama Kris tidak tahu hidupnya masih aman. "Banyak banget lo taruhannya El? Ini mah dua kali lipatnya." "Gue kalah, selama sebulan gue gak jajan bang." Balas El. "Uang jajan lo segini gedenya?!" Seru Dion tak percaya. Dion tahu Elmarc anak orang kaya, tapi ia tidak tahu jika Elmarc sekaya itu. Uang jajan anak SMA 50 juta per/bulan. Dion hanya bisa menelan salivanya susah. Jumlah 25 juta saja menurutnya sudah fantastic. Ini dua kali lipatnya. Dion tidak tahu sebanyak apa uang 50 juta itu. Dan El dengan mudahnya menyia-nyiakan uang itu hanya untuk taruhan. "Bang, bisa kasih bocoran nggak siapa yang masang taruhan 25 juta?" Tanya El kepada Dion. "Devan, lo tahu dia kan?" "Oh Devan, pentolan sekolah lain yang kebetulan musuh gue tuh bang." "Musuh lo?" "Iya, dulu pernah berantem sama gue." "Siapa yang menang?" "Ya gue lah! Jelas!" Ujar El dengan sombongnya. "Eh tapi dia jago balap. Lo gak takut kalah?" "Kalah ya biarin, uang jajan sebulan gue buat dia." "El El, 50 juta itu duit loh!" "Yang bilang daun siapa bang?" "Serah lu deh, terus cewe yang di bawa buat balapan mana?" "Cewek gue lah bang." "Lo serius?! Jangan deh El, bahaya." "Gak apa-apa. Lagian selama ini ada enggak yang bisa ngalahin gueb kan bang?" "Ya tapi Devan tuh juga gak pernah ada yang ngalahin. Gue takut cewek lo ini celaka." "Dia aman sama gue, gak bakal gue biarin orang lain nyakitin dia bang." "Tapi apa nggak lebih baik lo sewa cewe lain kayak biasa? Dia juga udah ketakutan gitu, gak tega gue lihatnya." "Keputusan gue bulat, nanti kalo gue biarin dia sendiri malah bahaya. Serahin ke Ido Odi mereka mana bisa berantem? Yang ada malah bahaya. Udah gak apa-apa. Kasih tahu gue ya bang kalo udah mau mulai. Gue mau ke depan dulu, nongkrong sama Odi Ido." "Yoi. Ini taruhannya gue terima ya." "Siap bang." El menarik tangan Taris untuk pergi dari ruangan itu. Ia mengarah kepada Odi Ido yang kini merokok dengan santainya. El bahkan tidak merasa bahwa tangan Taris sudah dingin karena keringat dingin yang mengucur dengan derasnya. "Kak.." panggil Taris. "Apa sih?" "Taris mau pulang." Rengek Taris dengan air mata yang sudah mengambang di pelupuk matanya. Ia sudah seperti anak kucing yang ingin sekali diadopsi. Terlihat menyedihkan. "Lo gak denger? Gue mau balap mobil." "Tapi Taris takut kak." "Denger! Lo kesini bareng siapa?" "Bareng kakak." "Ya pulangnya harus bareng gue lah." "Tapi Taris nggak mau ikut balap motor. Kakak tahu Taris takut." "Makanya gue ajak lo, biar lo lawan rasa takut lo itu. Biar lo gak lembek-lembek banget jadi cewe. Biar gak cengeng lagi, dikit-dikit nangis, dikit-dikit ngambek, lo itu masuk daftar terakhir idaman cowok kalo lo gini terus. Menang cantik doang." Oceh El yang lagi-lagi perkataannga menohok hati Taris. "Gimana Taris gak cengeng? Gimana Taris gak lembek? Kak El atur-atur hidup Taris. Kak El ngelarang Taris bergaul sama banyak orang. Terus kak El mau Taris bergantung sama kak El terus. Sekarang kakak malah ngehina Taris lembek. Salahin kak El yang udah bikin Taris gini." Lawan Taris. Ia sudah kesal hingga tak bisa menahan kesabarannya lagi. El tak segera menjawab, ia melayangkan tatapan mengintimidasi. Membuat Taris menunduk melepas tangan El yang menggenggam tangannya erat. Taris bahkan menggigit bibir bawahnya menahan gugup dengan tatapan yang El layangkan itu. El mewurungkan niatnya untuk duduk bergabung dengan Ido Odi yang posisinya sudah dekat dengannya. El memilih untuk mengajak Taris duduk di pojok ruangan. "Duduk di pangkuan gue." Suruhnya dengan nada sarkastis. Taris menggeleng lemah. "Duduk atau gue tinggal lo disini?!" "Tapi Taris malu kak." "Apaan sih! Lo kan cewek gue! Udah sini!" "Kak..." "Satu..." , "Dua..." Mendengar El menghitung itu tandanya El tidak main-main, Taris segera menuruti perintah El. Duduk di pangkuan pria itu dengan posisi saling berhadapan. Taris sungguh malu sehingga ia menyembunyikan wajahnya di d**a bidang El. Bisa Taris rasakan debaran jantung yang tidak berdetak normal. Sama sepertinya. Namun hanya beberapa detik El mendorong pundak Taris. Menarik dagu gadis itu untuk menatap dirinya dalam. El tersenyum miring memperhatikan raut wajah gadisnya. "Kalau lo ngelawan gue gini, ngebantah omongan gue kayak tadi. Gue semakin takut kehilangan lo Tar." Ujar El dengan nada lembut. Kini matanya tak lagi menatap tajam Taris melainkan tatapan ketakutan yang baru kali ini Taris lihat. Begitu terobsesinya kah El kepadanya? Tanya Taris dalam hati. "Taris takut..." Balas Taris tak kalah lembutnya. "Lo bisa kan? Percaya sama gue? Kuncinya cuma percaya, kalo lo percaya gue, gak akan terjadi apa-apa." Ucap El. "Lagian kakak kenapa harus balapan?" "Ini hobby gue, gue ajak lo kesini biar lo tahu. Kehidupan gue kayak gini." Taris tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Yang ia lakukan hanya menunduk, memainkan kerah kaos yang El gunakan. Percuma saja melawan, El tidak akan mendengarkan apa yang ia ucapkan. Sedang El tidak bisa mengalihkan pandangannya dari bibir Taris yang semakin hari semakin ranum. Jempolnya mengusap bibir bawah itu pelan, membuat Taris kembali mendongak menatap El. El menarik dagu Taris hingga wajah mereka semakin dekat, dekat, hingga akhirnya El memiringkan wajahnya dan langsung melahap bibir yang sedari tadi ia perhatikan itu. Taris terkejut, ia bahkan tak bisa berkutik. Taris memejamkan matanya rapat-rapat, merasakan bibir El yang melumat bibirnya tanpa ada balasan atau penolakan. Tangan Taris meremas kaos El, jantungnya semakin berdetak sangat cepat merasakan bibir tebal El melahap bibirnya. Sepertinya El enggan melepaskan bibir Taris, cukup lama El menciumnya tapi tidak ada tanda tanda El melepasnya. Yang ada El mengerang keras. Tidak tahu kapan pria itu mau berhenti. Taris kira saat El melepaskan ciumannya, semua berakhir. Tapi ternyata El tidak mudah untuk berhenti. Pria itu menunduk, menyingkirkan rambut Taris dan menciumi leher Taris membuat gadis itu geli. Ia tidak tahu kenapa El melakukannya, hal itu adalah pertama kalinya bagi Taris. "Kak.. udah.." ucap Taris tercekat. Ia meremas rambut El berniat untuk membuat pria itu berhenti. Namun Taris tidak tahu kalau kelakuannya malah membuat El semakin bernapsu. Kissmark yang berwarna merah keungu-unguan itu tercetak jelas di leher Taris. Puas akan karyanya, El menjauhkan wajahnya dari leher gadisnya, memperhatikan kissmark itu sambil tersenyum. El menatap wajah Taris yang sudah memerah, bibirnya juga terlihat lebih basah. Jika mencium Taris saja sudah membuat gadis itu terlihat lebih menggoda, bagaimana jika menidurinya? El segera menepis pikiran kotor itu dari otaknya. Ia harus ingat bahwa Taris masih SMP, ia belum siap untuk ia masuki. "Cepet dewasa, gue gak sabar." Bisik El. "Maksud kak El?" "Kalau lo udah dewasa, lo bakal tahu. Jadi cepet dewasa ya." Ujar El dengan senyumnya. "Nanti di rumah rambutnya jangan di kuncir. Ini ada bekas ciuman gue. Lo gak mau kan kalau om Leo sama tante Angel tahu kita ciuman?" "Bekas apa kak?" "Ini bekas kissmark." "Kakak ngapain kasih Taris bekas ini?" "Pengen aja." "Kalau ketahuan gimana kak?" "Makanya jangan di kuncir. Lagian gue bikinnya rada ke dalem kok, jadi aman selama rambut lo gak dikuncir." Ujar El. "Lihat muka bego lo jadi pengen bikin lagi gue." Tambahnya saat melihat wajah polos Taris. El menarik baju Taris ke bawah, menampilkan dadanya. Sadar akan itu Taris segera menahan tangan El. Menutup kembali bagian Dadanya yang terekspos. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri takut ada yang melihat. "Jangan kak." Keluh Taris. "Bentar doang. Kasih waktu lima menit deh." "Tapi kalau di lihat orang gimana? Taris malu. Jangan!" "Gue nih di pojok, lagian yang bisa lihat gue doang. Ya kali gue mau bagi apa yang jadi milik gue. Udah deh nurut aja." "Tapi Taris gak mau." "Kalau lo ngelawan malah jadi perhatian orang loh. Mau?" "Tapi..." "Udah diem." El kembali menarik baju bagian depan Taris kebawah setelah membuka beberapa kancingnya. d**a gadis itu semakin berkembang, tidak sabar menunggu bagaimana jika sudah matang nantinya? El semakin gila jika membayangkannya. Taris sudah sangat malu, tangan dan pelipisnya mengeluarkan banyak keringat karena takut. Gadis polos itu tidak tahu bahwa sekarang ia sedang di lecehkan. Ia hanya pasrah seperti orang i***t. El melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan saat berada di leher Taris. Kali ini sensasinya semakin membuat Taris serasa ingin kencing. Taris tidak tahu apa yang ia rasakan saat ini. Perasaannya menjadi campur aduk, dan ia merasa gugup berlebihan. "Kak.. apa yang kakak lakuin?" "Buat kissmark." "Kenapa disitu?" Hanya senyuman yang El berikan, ia kembali melanjutkan aktivitasnya untuk mengukir d**a Taris. Sebagai penutup El mengecup bibir Taris sekilas. Ia menutup kancing yang ia buka tadi. "Udah banyak gue ngukirnya di d**a lo. Jangan pake tank top. Denger?" Taris mengangguk meski sebenarnya ia ingin segera pulang. Ia merasa El semakin berkuasa atas dirinya karena berani membuka bajunya dan melihat jelas d**a Taris. Ia malu, tapi ia ingin tahu tanda yang El maksudkan. "Lo milik gue Tar. Inget baik-baik." Ucap El penuh penekanan. Taris tak mengangguk atau menggeleng. Ia hanya membalas tatapan Elmarc. "Hidup lo itu hidup gue." Tambahnya. El selalu mengatakan hal itu, dan hal itulah yang membuat Taris semakin membenci Elmarc. Kepemilikan yang mengekang hak asasinya sebagai manusia. "Kalau hidup Taris punya kakak? Lalu hidup kakak sendiri?" "Punya lo. Gue punya lo." Balas El tanpa ragu. "Jadi jangan ada niat lo pergi dari gue. Karena pada akhirnya lo bakal jadi milik gue. Seutuhnya." Tambah El. Bukannya senang dengan ucapan yang El lontarkan, Taris malah merasa takut. Ucapan itu sangat menyeramkan. - To be continue -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD