Bab 2

946 Words
Pagi itu suasana kamar masih temaram ketika Arthur sudah rapi dengan kemeja kerja dan jam tangan di pergelangan. Sementara Evelyn baru saja terbangun, rambutnya sedikit acak. “Mas…” suara Evelyn masih serak karena baru bangun. “Kamu bisa nganterin aku ke rumah sakit dulu nggak? Mama sudah buatin janji ketemu dokter kandungan.” Arthur sambil merapikan manset kemejanya, bahkan tak benar-benar menoleh. “Mas ada meeting penting, Eve. Lagi pula kamu kan sudah sering ke dokter. Berangkat sendiri aja.” Evelyn langsung duduk di ranjang. “Mas, dokter kandungannya itu kakak tiriku, Mas Arya. Mama mau kita diperiksa berdua. Siapa tahu… kita bisa cepat punya anak.” Arthur berhenti sebentar, lalu menghela napas pendek. “Mas sehat, Evelyn. Kamu aja yang periksa. Mas harus berangkat sekarang.” Ia langsung melangkah keluar kamar. Evelyn berdiri dari ranjang dengan wajah kesal. “Gimana mau punya anak kalau kamu selalu kayak gini!” teriaknya dari dalam kamar. “Perusahaan yang kamu kelola juga perusahaan keluarga aku, Mas! Apa salahnya sebentar aja ke rumah sakit? Kamu juga nggak mungkin dipecat!” Tidak ada jawaban. Arthur sudah benar-benar pergi. Evelyn menarik napas kesal, lalu masuk ke kamar mandi. Air shower mengalir, tapi pikirannya penuh. Selesai mandi, ia berganti pakaian dengan gerakan kasar, lalu turun ke dapur. “Bik Siti,” panggil Evelyn sambil duduk di meja makan. “Tolong suruh Pak Maman panasin mobil. Saya mau ke rumah sakit.” “Baik, Non,” jawab Siti, lalu bergegas ke depan. Evelyn menyuap sarapannya tanpa selera. Tak lama, Laura turun ke dapur. “Arthur sudah berangkat?” tanyanya. “Sudah, Mah. Katanya ada meeting penting,” jawab Evelyn datar. Laura mendengus. “Setiap periksa kesehatan selalu aja alasannya sibuk. Jangan-jangan dia yang bermasalah.” Evelyn langsung menatap ibunya. “Mama jangan ngomong gitu. Mas Arthur sehat. Dia pernah periksa sendiri. Kita aja yang belum dikasih.” “Kamu itu selalu saja membela suami kamu,” sahut Laura kesal. “Mama ngomong juga kamu nggak pernah mau dengar.” “Mas Arthur itu suami aku, Mah. Aku percaya sama dia.” Laura mengibaskan tangan. “Iya, iya… terserah kamu.” Evelyn berdiri dari kursinya. “Aku berangkat dulu, Mah.” “Iya. Hati-hati di jalan.” Evelyn melangkah keluar rumah. Mobil sudah menyala di halaman. Ia masuk ke kursi belakang, menatap keluar jendela dengan perasaan campur aduk. “Aku ke rumah sakit sendirian lagi…” batinnya lirih. Mobil berhenti tepat di depan lobi rumah sakit. Evelyn turun perlahan, menarik napas panjang sebelum melangkah masuk. Setelah mengambil nomor antrean, ia berdiri di depan meja pendaftaran. “Ingin konsultasi dengan dokter siapa, Bu?” tanya petugas ramah. “Dokter Arya,” jawab Evelyn pelan. “Saya Evelyn Anggelista. Sudah dibuatkan janji oleh ibu saya.” Petugas mengecek data di komputer. “Baik, Bu Evelyn. Silakan naik ke lantai dua. Dokter Arya sudah siap.” “Terima kasih.” Evelyn masuk ke lift. Tangannya sedikit gemetar saat angka-angka lantai bergerak naik. “Tenang, Evelyn… ini cuma periksa biasa,” gumamnya pada diri sendiri. Di lantai dua, seorang suster menyambut. “Ibu Evelyn, silakan ke sini dulu.” Suster memeriksa tekanan darah. “Baik, hasilnya normal ya, 120 per 70.” Evelyn tersenyum kecil. “Syukurlah.” “Sekarang silakan masuk ke ruang dokter.” Evelyn berdiri di depan pintu bertuliskan Dr. Arya Saputra, Sp.OG. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk. “Silakan masuk.” Evelyn membuka pintu pelan. Arya berdiri dari kursinya. Tatapan mereka bertemu untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun. “Evelyn…” suara Arya terdengar tertahan. “Silakan duduk. Apa kabar? Lama nggak ketemu.” “Baik, Mas,” jawab Evelyn sambil duduk gugup. “Mas sendiri gimana?” Arya tersenyum tipis, tapi ada sesuatu yang berat di matanya. “Mas… jujur aja, sejak dengar kabar kamu menikah, mas nggak benar-benar baik.” Evelyn menunduk. “Mas, itu kan masa lalu. Cuma cinta monyet. Lebih baik dilupakan.” Arya menatapnya cukup lama. “Kalau suami kamu tahu dulu kamu pernah kirim surat cinta ke mas, reaksinya kira-kira gimana?” Evelyn terkejut. “Mas… kenapa jadi bahas itu?” Arya berdeham, lalu bersandar ke meja. “Maaf. Mas cuma… refleks.” Ia lalu kembali bersikap profesional. “Oke, sekarang kita fokus ke pemeriksaan. Silakan berbaring di tempat yang disediakan.” “I-iya, Mas.” Evelyn berdiri lalu berbaring dengan canggung. “Kamu sudah tiga tahun menikah, ya?” tanya Arya sambil menulis di berkas. “Iya, Mas. Tapi belum juga hamil.” “Kamu masih bekerja?” “Tidak, Mas. Sudah setahun ini aku berhenti kerja supaya lebih fokus program kehamilan.” Arya mengangguk pelan.“Selama ini pemeriksaan apa saja yang sudah kamu lakukan?” “USG biasa, cek darah, hormon juga. Tapi hasilnya katanya normal.” Arya menghela napas. “Salah satu pemeriksaan yang lebih detail adalah USG transvaginal.” Evelyn langsung menegakkan tubuh sedikit. “Maksud Mas apa?” “Pemeriksaan dari dalam untuk melihat kondisi rahimmu lebih jelas,” jelas Arya profesional. Evelyn tampak ragu. “Jangan, Mas… pemeriksaan biasa aja.” “Kamu takut?” “Bukan takut… cuma nggak nyaman.” Arya menatapnya serius. “Mas dokter di sini, Evelyn. Profesional. Kamu jangan melihat Mas sebagai keluarga, atau masa lalu, atau apa pun. Di ruangan ini, kamu pasien, Mas dokter kamu.” Evelyn menunduk, jemarinya saling menggenggam. “Kalau hasilnya nanti kenapa-kenapa gimana, Mas?” “Itulah gunanya kita periksa. Supaya tahu masalahnya di mana. Semakin cepat diketahui, semakin cepat ditangani.” Evelyn terdiam lama, lalu mengangguk pelan. “Mas… aku cuma pengen punya anak. Itu aja.” Arya menatapnya lembut tapi tangannya meremas bajunya. “Dan Mas di sini untuk membantu kamu mewujudkannya. Dengan cara yang benar.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD