Nope

1120 Words
Sejak pagi yang Gladys lakukan hanya keluar masuk kamar mandi. Makanan apapun yang ia masukkan ke mulut, akan keluar dengan segera tanpa menunggu menit berganti. Sampai-sampai ia jengkel dengan dirinya sendiri, dia sudah mencoba makanan dari yang netral hingga yang terpedas semacam ayam geprek level. Tak ada satupun yang sanggup bertahan di dalam perut, semua dimuntahkannya tanpa terkecuali. Tubuhnya benar-benar lemas sekarang. Gladys sudah berpesan pada Shermaine agar membelikannya bubur ayam. Karena-entah kenapa, dan sangat tiba-tiba, ia ingin sekali makan bubur ayam di sore hari. Semoga saja Shermaine dapat menemukan bubur ayam tersebut. Ponsel di atas nakas berbunyi. SHERR "Halo, Sher." "Gue udah muter-muter sampe capek, tapi gak nemuin kang bubur sore-sore. Makanan lain aja dong, Dys. Gue dah capek banget nih, nih si Armand dah ngomel-ngomel sama gue." "Gue gak mau tahu, Sher. Yang gue mau bubur ayam! Titik! Se-ka-rang!" seru Gladys galak. Namun tanpa alasan jelas tiba-tiba perasaannya menjadi mellow, seketika ia ingin menangis karena tak mendapatkan apa yang ia mau. "Elu itu kenapa sih susah banget diajak ngomong? Ini itu udah sore, Dys. Gak ada kang bubur yang open. adanya besok!" Shermaine meninggikan nada suara. "Okay, kalau lu gak mau beliin, bilang aja! Gue bisa kok beli sendiri!" "Bukannya gitu, Dys. Hei ... hei ... " KLEK Tut ... Tut ... Tut. Gladys menutup panggilannya dengan kasar. Ia segera bangkit dan berencana ingin menelusuri sudut kota untuk mencari hidden gems, alias kang bubur sore. Baru sampai beberapa langkah di pintu kamar kos, tubuhnya limbung dan jatuh terkapar. Ia jatuh pingsan. Kos dalam keadaan sepi, tak ada yang melihat ataupun menolongnya. Hingga akhirnya ia siuman dan bangun dengan sendirinya. Di saat hampir bersamaan, Shermaine dari ujung lorong berlari menghampiri Gladys. "Elu kenapa, Dys? Kok tidur di teras kos sih?" "Tidur?" "Kalau gak tidur, ngapain lu rebahan di sini?" Shermaine mengernyitkan dahi. "Bukannya gue pingsan ya tadi?" Gladys memijat-mijat dahinya. "Hah? Pingsan?" "Gak biasanya lu gini? Lu sakit ya?" Sontak Shermaine menyentuhkan punggung tangan ke dahi Gladys. " Gak panas, sih." "Udah, udah , cepet bantuin gue bangun. Pusing banget kepala gue," sungut Gladys dengan mulut mengerucut. Shermaine dengan sigap membantu Gladys untuk berdiri. "Aneh banget tuh anak," gumam Shermaine sembari ikuti langkah sang sahabat menuju kamar. "Lu yakin gak apa-apa?" Wajah Shermaine tampak khawatir, ia ikut merebahkan diri di samping Gladys. "Iya gue gak apa-apa, dah lu kalau mau pergi sama si Armand, pergi aja. Gue mau rebahan dulu," usir Gladys. Dia khawatir Shermaine curiga dengan keadaannya. Sebelum Shermaine terlalu banyak bertanya, lebih baik Gladys pura- pura tidur. "Yah, gue dateng elu malah tidur sih!" protes Shermaine, kemudian membuka satu per satu laci nakas untuk mencari sesuatu. Setelah menemukan apa yang dicari, ia segera membuka jendela dan menyulut gulungan tembakau tersebut. Perempuan berusia setahun lebih muda dari Gladys itu memang sudah lama menjadi sahabat dekat bagi Gladys. Keduanya bertemu di salah satu kelab malam, kebetulan saat itu Gladys hampir saja dilecehkan oleh beberapa laki-laki. Beruntung Shermaine melihat hal tersebut dan segera menolongnya. Perempuan berpenampilan tomboy, tapi jarang potong rambut itu memang pemegang sabuk hitam dari sebuah perguruan silat. Jadi wajar kalau kegaharannya mengalahkan preman pasar. Setelah insiden itu, mereka pun berteman, dan memutuskan untuk tinggal dalam satu lingkungan kos. Gladys menempati kamar yang berada di tengah-tengah, sedangkan Sher menempati kamar paling ujung yang dikenal sedikit horor. **** Entah berapa jam Gladys tertidur, yang jelas saat ia bangun sudah ada sebungkus bubur ayam di atas meja. "Pasti Sher," batinnya. Ia segera membuka dan melahap bubur itu dalam satu suapan besar. Namun, belum sampai ia menelan bubur tersebut, tiba-tiba rasa mual menyerangnya. Ia berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan semua isi perutnya, hingga hanya ada rasa pahit yang tertinggal di dalam mulut. "Oh God please, jangan lakukan ini sama aku," erangnya frustasi. Ia tidak dapat memakan apapun dua hari ini. Hampir semua makanan yang ia masukkan keluar begitu saja tanpa permisi. Tak ada gunanya mengunjungi dokter, yang ada hanya akan membuat si dokter tahu kalau ia sedang berbadan dua. Sependek pengetahuannya, berdasar pengalaman yang ia lihat dari beberapa sepupu yang telah menikah dan hamil, morning sickness hanya akan dialami pada trimester awal. "Okay, gue harus ngelakuin sesuatu," katanya sambil menatap pantulan wajahnya sendiri di kaca. "Tapi apa?" Gladys meringis saat tahu kalau melakukan pengguguran terhadap makhluk di dalam perutnya ini tidak akan pernah berani ia lakukan. Bayangan kematian Vita pasca melakukan prosedur aborsi, membuat seluruh bulu kuduknya merinding menahan ngeri. Vita adalah salah satu teman kelabingnya yang juga pernah mengalami hal serupa. Hamil tanpa tahu siapa ayah dari anaknya. Tapi Vita melakukan tindakan nekat, yang akhirnya tidak hanya menghilangkan nyawa si janin saja. Masih ia ingat senyum tipis Vita sebelum memasuki ruang di klinik aborsi ilegal itu. Vita yang saat itu ditemani Gladys dan seorang laki-laki sebagai makelar penghubung antara pasien dan klinik ilegal, sempat merasa ketakutan. Akan tetapi sang makelar, meyakinkannya kalau semua akan berjalan lancar dan baik-baik saja. Hingga sebuah jeritan dari Vita menjadi suara terakhir, yang Gladys dengar. Tiba-tiba semuanya berubah senyap. Saat seorang pria dengan pakaian hijau dan wajah tertutup masker keluar dari ruang tempat Vita ditangani. Perasaan Gladys mulai tak enak. Pria itu memanggil si makelar, keduanya bercakap-cakap dengan suara lirih nyaris tak terdengar. Dari jarak beberapa meter Gladys dapat melihat, si makelar dan laki-laki di depannya seperti sedang bersitegang. Pria makelar mengacak-acak rambutnya beberapa kali. Perlahan Gladys pun bangkit berencana untuk menghampiri lelaki tersebut. Akan tetapi sebelum sempat ia melangkah, sebuah brankar dengan roda berdencit menggaruk-garuk lantai keluar dari ruangan Vita. Seluruh tubuh yamg memutih pucat itu ditutupi kain putih. Ada bercak darah di bagian bawah. Darah segar yang tak berhenti mengalir. Tatapan nanar si makelar membuat Gladys luruh, ia jatuh membentur lantai keramik putih yang telah berubah menguning itu. Dengan langkah gontai si pria menghampiri Gladys, dan berkata, "temen kamu mati. Pendarahannya gak bisa dihentikan. Kamu hubungi keluarganya sekarang." Sontak Gladys menoleh dan menatap si pria dengan pandangan melotot, telinganya tak percaya dengan apa yang didengar.Bahkan otaknya seperti lamban mencerna informasi itu. Semuanya terjadi begitu cepat, seperti mimpi. Mimpi buruk. Vita hidup seorang di kota ini, ayah dan ibunya sudah lama meninggal. Gladys bahkan tak mengenal satu orang pun saudara dari Vita, karena selama ini ia sangat tertutup soal keluarganya. "D-dia gak punya siapa-siapa, Pak." "Lalu?" Gladys menggeleng pelan. Akhirnya Vita dikebumikan dengan tanpa dihadiri seorang pun keluarganya. Semua biaya pemakaman ditanggung oleh Gladys. Hal paling membuat syok selanjutnya adalah, saat seorang laki-laki sepuh datang ke kos dan mengaku sebagai kakek dari VIta. Dengan berat hati, Gladys mengantar pria berbaju koko tersebut ke makam Vita. Air matanya pun jatuh saat menyaksikan si kakek meraung-raung di depan makam sang cucu. Sejak hari itu ia berjanji, jika suatu hari ia hamil karena gaya hidup bebasnya, ia akan merawat dan mempertahankan bayi tersebut, meski tanpa ayah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD