Desisan halus nan menggelitik telinga mulai terdengar di berbagai penjuru kos. Gladys sadar, dialah yang sekarang jadi bahan pergunjingan.
Suara muntah-muntah yang sepanjang hari ia perdengarkan ke tetangga kamar kos, membuat orang-orang mengambil kesimpulan yang mengerucut pada tanda kehamilan.
Pada mulanya, ia lebih banyak diam dan berusaha menutup telinga. Hingga tanpa sengaja suara sumbang itu ia dengar dari Shermaine, sahabatnya sendiri.
"Lu itu gimana sih? Kok lalai gitu? Udah tahu gak pake pengaman, kenapa lu ijinin dia nembak di dalem? Keburu nafsu lu ye sama bule?" Rangkaian kata yang membuat otak Gladys mendidih.
"Bisa-bisanya ya lu punya pikiran gitu sama gue? Gue juga gak tahu ini bayi siapa? Gue juga gak yakin pengaman siapa yang bocor? Karena seinget gue, cowo Itali itu gak nembak di dalem," berang Gladys marah.
"Tapi kalau udah kayak gini, lu mau gimana? Lu tahu gak sih, lu ini udah jadi bahan gosip di kos, belum lagi geng si Alicia."
"Gue gak peduli! Kalaupun bayi ini lahir, gue juga gak akan minta uang s**u dari mereka!" pekiknya lantang.
"Okay, kalau gitu pemikiran lu. Gue tadi sebenernya cuma pengen bantuin lu, buat bisa lepas dari tanggung jawab yang gak perlu lu tanggung. Mumpung kehamilan lu belum gede, lu masih bisa gugurin janin itu."
"Enggak! Gue udah bilang enggak, ya enggak!" Gladys melotot ke arah Shermaine, ia membuka pintu, " sekarang lu keluar dari kamar gue! Please!" lugasnya sambil membuka pintu lebar-lebar.
Shermaine bangkit dan pergi dengan wajah memerah menahan marah. Keduanya tak bertegur sapa lagi setelah itu.
Kini mereka memperlakukan satu sama lain seperti orang asing, yang tak pernah saling mengenal.
Gladys menghapus nomor Shermaine dari ponselnya. Ia juga meng-unfollow semua akun sosial media Shermaine.
Namun, ia sempat melihat beberapa postingan mantan sahabatnya itu sedang berswafoto dengan Alicia and the gank.
****
Gladys mulai mengemas barang-barangnya. Berbagai hiasan yang ditempelkannya di dinding dan meja, mulai ia lepas satu per satu. Ternyata perlu tenaga ekstra untuk membersihkan kamar kos yang lebih mirip kandang itu
Plastik bekas snack menggunung di tempat sampah samping ranjang. Belum lagi 'harta karun' berupa makanan basi di dalam lemari es kecil yang ia taruh di pojok.
Cucian piring, gelas, dan mangkuk masih menumpuk di wastafel.
Gladys memutuskan untuk pulang ke rumah, setelah sekian lama tak menginjakkan kaki di sana. ia sudah tak dapat bertahan lagi di tempat ini sejak sahabat yang dulu selalu bersamanya berbalik memusuhinya. Bahkan menjadi sahabat dari musuh bebuyutannya, Alicia.
Gladys yang biasanya cuek dan acuh akan hal-hal berbau dramatis, tiba-tiba berubah menjadi Gladys yang kerap menangis meratapi kesendirian. Perubahan hormonal biangnya. Semua menjadi terasa seperti sinetron baginya, orang mungkin saja menatapnya tanpa prasangka, akan tetapi ia tetap saja melihatnya sebagai tatapan penuh prasangka.
"Jadi kamu mau pulang ke rumah mama? Apa mama gak salah denger nih?" sarkas Widi Dewi Argana-mama Gladys.
"Oh jadi Mama gak suka kalau Gladys pulang?"
"Udah nak kamu pulang aja, jangan dengerin apa kata mamamu," sahut papanya- Harbianto Argana.
Percakapan itu terjadi kemarin sore saat Gladys melakukan panggilan video kepada sang mama.
Seandainya sang papa tidak cepat menengahi, mungkin perdebatan dan pertengkaran akan terjadi di antara mereka. Keduanya seperti air dan minyak, sulit disatukan, dan jika dipaksakan akan menyebabkan letusan.
Usai mencuci semua piring kotor di wastafel, ia segera melanjutkan untuk membersihkan sampah yang masih terserak. Hingga sampailah ke sebuah kardus yang sudah disimpannya sejak tujuh tahun yang lalu.
'Kardus kenangan', begitulah dia menyebutnya. Berbagai potret wajahnya di kala SMA tersimpan di sana. Tak ada yang istimewa dalam foto-foto tersebut, karena sebagian besar diambil secara candid.
Bukan, bukan tentang fotonya. Ini tentang siapa yang mengambil foto-foto itu. seorang laki-laki yang membuat Gladys tergila-gila. Cinta pertama yang membuat hatinya hancur menjadi kepingan-kepingan kecil hingga terlalu sulit untuk disatukan kembali.
Pada mulanya ia sangat membenci dia. Namun, saat rasa cinta mulai tumbuh, sepertinya itu sudah terlalu lambat. Gladys hanya punya waktu kurang dari tujuh hari untuk mengenal, mencintai, dan melepas dia selama-lamanya di alam keabadian.
Tok ... tok ... tok ...
Suara ketukan keras di pintu kos menghenyak kesadarannya. Gladys terkejut, dan cepat-cepat menggeser kardus itu ke bawah ranjang lagi.
"Siapa?" tanyanya sebelum membukakan pintu.
"Pak Darto, Non. Nyonya yang nyuruh saya kesini."
Pak Darto, supir keluarga Gladys telah sampai. Itu artinya dia harus segera menyelesaikan semua dan memindahkan barang-barangnya ke dalam mobil.
"Iya, bentar," sahutnya lalu segera membuka pintu.
Dia segera mengkoordinir barang-barang mana saja yang perlu dimasukkan Pak Darto ke dalam mobil pick-up, dan mana saja yang akan ia bawa sendiri.
Setelah selesai yang perlu ia lakukan sekarang adalah menunggu sang pemilik kos datang untuk serah balik kunci. Pak Darto sudah jalan duluan, dan ia akan menyusul setelahnya. Tak berselang lama pemilik kos ternyata menyuruh anak perempuannya datang. Setelah mengecek tidak ada kerusakan, ia pamit dan pergi.
Beberapa penghuni kos terlihat mengintip dari balik jendela saat ia mulai melangkahkan kaki susuri lorong panjang menuju parkiran di basemen.
Gladys tahu, tapi ia tak peduli. Ia bahkan sudah berjanji jika ada satu suara sumbang yang keluar dari mulut mereka, maka ia akan tetap diam.
"Teh Gladys," panggil salah seorang dari mereka. Tiara-gadis yang masih duduk di bangku kuliah semester pertama itu tiba-tiba datang dan memeluk erat dirinya.
"Kenapa mau pergi teh, nggak bilang-bilang dulu?"
"Maaf ya, Ara. Ini mendadak banget, jadi gak sempet ngomong dulu sama kamu."
Gadis yang hanya setinggi bahunya itu menatap Gladys penuh harap."Kita masih bisa tetep kontak-kontakan 'kan, Teh?"
Gladys berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Tiara. Ia tak yakin apakah akan tetap menggunakan nomor ponsel yang sama. Sedangkan dirinya kini sedang dalam pelarian. Melarikan diri dari orang-orang yang menolak keputusan dan menghakiminya.
"Iya, semoga saja," jawabnya pendek. Tiara tampak tak puas dengan jawabannya Gladys.
"Udah ya, Ara. Teteh harus jalan sekarang, keburu malem." Tiara mengangguk-angguk, meski merasa berat melepas kakak kos favoritnya.
Dia sangat menyukai Gladys, selain cantik, dan agak 'bocor', dia memang dikenal sebagai sosok dermawan yang tak pernah berhenti peduli dan membantu orang-orang di sekitarnya. Meski seringkali, ia dikhianati dan ditinggalkan oleh banyak orang.