Rujak Cingur

1037 Words
Setelah beberapa jam perjalanan yang melelahkan sampailah ia di depan gerbang sebuah rumah bercat putih dengan eksterior yang terlihat paling menyolok dibandingkan rumah-rumah lain di sekitarnya. Rumah bergaya Mediterania palace. Gladys tak segera memasukkan mobilnya ke dalam, meskipun Pak Darto sudah membukakan gerbang itu untuknya. Ada perasaan gamang bercampur sesak. Entah benar atau tidak, akan tetapi firasatnya tak mengatakan hal baik. Mungkin juga karena dirinya masih menyimpan banyak trauma di rumah ini. Rumah besar dan mewah, yang membuat banyak orang berpikir kalau para penghuninya adalah orang-orang yang bahagia secara lahir batin. Ya, mungkin secara lahiriah ia tercukupi oleh semua fasilitas dan kemewahan. Akan tetapi tidak dengan batinnya. Gladys menghela nafas panjang sebelum akhirnya menginjak pedal gas dan memarkir mobilnya di dalam garasi. "Pak, tolong bantu keluar-keluarin barang-barang ini, ya?" pinta Gladys pada Pak Darto yang berdiri memaku di depan pintu garasi sembari memperhatikannya. "Pak!" Merasa tak digubris, Gladys memekik keras agar pria yang terlihat melamun itu tersadar dari khayalannya. "Eh, i-iya ... N-non." Pak Darto terbata-bata. "Kok ngelamun sih?" protes Gladys. "M-maaf, Non." Pak Darto menggaruk tengkuknya. "Liatin apaan sih, Pak?" sungut Gladys sambil membuka bagasi mobilnya. "N-non, tapi Non Gladys jangan marah lo ya?" Gladys mengangguk, "apaan lihat-lihat? Ada yang aneh?" Dasar si Gladys, sebenarnya dia takut untuk mendengar apa yang akan diutarakan pria di depannya. Akan tetapi dalam waktu yang bersamaan ia juga merasa penasaran. "Janji dulu, Non ... "Pak Darto menyodorkan jari kelingkingnya. "Hah?" Gladys mengerutkan keningnya, heran dengan cara Pak Darto untuk meminta janji. "Anak Pak Darto selalu gini kalau minta janji buat beli mainan," kekeh pria itu. "Iya ... siniin kelingkingnya!" seru Gladys lalu menautkan kelingking dengan si supir. "Ada-ada aja," sungutnya yang hanya ditanggapi tawa oleh pria berperawakan tak terlalu tinggi tersebut. "N-non Gladys jadi kelihatan lebih gemuk dan berisi, terutama disini," kata Pak Darto sembari menunjukkan lipatan lemak di perutnya. Laki-laki tersebut tak berani mengangkat wajah karena takut disemprot oleh sang majikan. "APA!" Benar saja, Gladys langsung berteriak histeris ketika mendengar penuturan Pak Darto. Kalau dulu menjadi gemuk adalah momok yang sangat menakutkan baginya, tapi bukan itu yang jadi kekhawatirannya sekarang. Yang jadi ketakutannya adalah takut orang-orang di sekitarnya sadar kalau ia sedang berbadan dua. Ia segera berlari ke dalam rumah dan bergegas naik ke lantai atas menuju kamarnya. Setelah memastikan pintu kamar terkunci, ia segera membuka lemari dan mematut diri di depan kaca yang berada di balik pintu lemari. Dibukanya kaus yang ia pakai sambil berdiri menyamping dari kaca. "Oh my Gosh!!" pekiknya saat sadar kalau perutnya sudah maju beberapa milimeter. Kedua mata indahnya membelalak lebar, mulutnya terbuka. Dia merasa tak sanggup menutupi kepanikan dan ketidak-siapannya menghadapi perubahan besar yang akan segera terjadi. "G*la cepet banget sih gedenya, kayaknya baru berapa hari juga," keluhnya lalu membanting diri di ranjang. "Ya Tuhan, gimana ini? Kapan ya ngomong sama papa-mama? Kalau sekarang gak siap, kalau nanti-nanti ntar keburu ketahuan," rengeknya pada diri sendiri. Ternyata memang tak semudah bayangan, ia pikir tak akan sulit membicarakan hal ini dengan kedua orang tuanya yang tak konservatif itu. Tapi ternyata, dibutuhkan lebih dari sekedar nyali untuk mengumumkan kehamilannya, karena ini menyangkut nama baik keluarga besar yang selalu digaung-gaungkan almarhum Opanya. Tok ... Tok ... Tok ... "Gladys!" teriak suara tak asing yang sudah beberapa tahun ini sukses ia hindari. Nyonya Widi- Mama Gladys, wanita yang usianya hampir menginjak setengah abad itu masih terlihat cantik, awet muda, dan seksi. "Gladys, keluar gak? Dateng-dateng main selonong aja, kamu pikir ini rumah siapa?" teriak sang Mama yang mengatakan hal tidak masuk akal. Tentu saja ini rumahnya, dan ia berhak keluar masuk tanpa harus meminta ijin dari siapapun. Dengan malas dan perasaan dongkol ia bangkit dari ranjang. "Gladys!" ulang Widi, akan tetapi bukan Gladys namanya jika tidak menguji kesabaran yang tidak dimiliki sang Mama. "Buka-" KLEK Daun pintu perlahan terbuka, sehingga Widi hentikan ocehannya. Dua perempuan alpha yang penuh d******i itu saling memandang. Tak ada kata keluar selain desisan dan senyum yang terangkat di salah satu sudut bibir Widi. "Pulang juga akhirnya, udah gak betah nih tinggal sendirian di kos? Atau kamu udah bosen jadi pengangguran?" kata-kata yang tentu membuat telinga Gladys panas. "Ck." Gladys membuang pandangan, "emang kenapa, Ma? Mama gak suka?" "Kalau iya kenapa? Mama gak suka sama anak yang tidak tahu sopan santun seperti kamu!" seru Widi dengan mata melotot. "Gak tahu sopan santun, ya Ma? Kalau Gladys kayak gini, jadi anak yang gak sopan itu salah siapa coba?" "Yang gak becus didik anak itu berarti siapa?" Gladys tinggikan suaranya. "Kamu ya?!" pekik Widi emosi. Wanita itu sudah menaikkan telapak tangannya, seolah hendak melayangkan tangannya ke pipi atau wajah sang putri, pada akhirnya mengurungkan niat. "Maa ... kenapa stop? Nih .. nih pipi Gladys udah kangen sama tangan Mama!" tantangnya sambil menyodorkan pipi. Sang Mama mendengus kesal lalu menyingkir dan akhiri perdebatan yang ia awali. Belum ada satu jam ia menginjakkan kaki di rumah, sudah disambut oleh celotehan sang Mama yang selalu memojokkannya. Sepeninggal sang Mama, Gladys tersenyum miring. Sudah tak heran dengan sikap permusuhan yang ditunjukkan wanita yang telah melahirkannya. Kejadian itu sudah lama berlalu, akan tetapi tak akan pernah luntur dari ingatan Gladys. Seharusnya sang Mama-lah yang meminta maaf, tapi kenapa justru ia yang diharuskan meminta maaf? Sejak hari itu sang Mama begitu menjaga jarak dengannya, wanita itu bahkan memusuhi dirinya seolah ia adalah anak tiri yang tak keluar dari rahimnya. Sikap yang ditunjukkan sang Mama-lah yang telah membuat Gladys tumbuh menjadi anak badung yang jauh dan tidak menghormati orang tua. "Non ... " panggil sebuah suara lembut yang selama ini kerap menjadi penenang hatinya. Bibi Mirah, wanita berusia enam puluhan itu langsung menghamburkan pelukannya. "Bibi kangen sekali lo, Non." "Gladys juga," ujarnya sambil mengeratkan pelukan. Bibi Mirah meraba pipi Gladys, kemudian mundur beberapa langkah dan menatapnya lekat-lekat. "Kenapa, Bi?" "Non Gladys gemukan dikit ya?" Perempuan itu terkesiap, seolah diingatkan kembali dengan kenyataan dan tanggung jawab yang segera datang menghantaminya. "Udah gak apa-apa, gemuk itu seksi kok Non," kekeh Bibi Mirah. Dan hanya ditanggapi Gladys dengan sebuah senyum tipis yang terlihat sekali dipaksakan. "Non, mau makan apa?" celetuknya sebelum pergi. Gladys pun menoleh, sesaat ia terdiam membayangkan makanan yang mungkin akan menggugah selera makannya. Apalagi jika mengingat hari kemarin tak ada satupun jenis makanan berhasil masuk ke perutnya. "Bi, bisa buatin rujak cingur gak?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD