Depressed

1030 Words
"Loh, Ma ... bukannya Gladys udah pulang ya?" tanya Harbianto pada sang istri yang terlihat sedang sibuk menikmati salad sayur sembari memainkan ponselnya tanpa henti. Akan tetapi wanita cantik di depannya itu seolah tuli, dan tak menanggapi tanya Harbianto dengan semestinya. "Mama!" pekik Harbianto lantang. "Apaan sih, Pa. Mama lagi sibuk nih," tanggap Widi tanpa menoleh sedikitpun kepada sang suami. "Papa tanya, kemana si Gladys, kok dia gak gabung ke meja makan?" "Kok malah tanya Mama sih? Papa cek aja sendiri sana, lagian anak udah segede itu kalau laper pasti turun dan ambil makanan sendiri. Kagak perlu lah buat diingetin jam makan," sungut Widi. Kali ini ia sibuk ber-selfie ria sembari memamerkan cincin berlian baru miliknya. Melihat tingkah sang istri yang mendekati tidak waras, Harbianto hanya bisa geleng-geleng. Pria itu kemudian memilih untuk menutup percakapan yang tak penting, dan mungkin saja bisa menimbulkan perdebatan tersebut. "Bi Mirah ... Bi ... " panggilnya pada sang asisten rumah tangga yang sudah mengabdi hampir dua puluh tahun lamanya. Tak berapa lama muncullah Bibi Mirah dengan langkah tergesa menghampiri meja makan. "Iya, Pak Arga? Ada apa njih?" Tak lupa dengan logat khas jawa-nya. "Gladys mana?" "Non Gladys ada di kamarnya, Pak." "Kok gak disuruh turun ke bawah? Memangnya dia gak laper?" Harbianto mengernyitkan kening. "Non Gladys udah makan, Pak." "Makan? Kapan?" "Tadi sebelum bapak sama ibu makan," jelas Bi Mirah. "Kenapa kok dia makan duluan? Memang gak pengen makan bareng papa-mamanya?" "Kamu sih, Pa. Dibilangin gak percaya, anak macem dia gak bakalan hormat dan sayang sama orang tua-" "Widi! Gladys itu anak kamu lo, kenapa kamu ngomongnya malah gitu?" geram Harbianto tak terima. "Anu, maaf sebelumnya, Pak, Bu. Non Gladys udah makan tadi sore soalnya Non minta dibuatin rujak cingur," urai Bi Mirah coba dinginkan suasana meja makan yang mulai panas. "Hah?! Sejak kapan dia suka sama makanan model gitu?" tanya Widi heran. Karena sepanjang pengetahuannya, sang putri paling anti dengan makanan yang dicampur dengan cingur atau mulut sapi. "Saya gak tahu, Bu. Tadi Non minta dibuatin, ya Bibi buatin ... " Widi dan Harbianto saling melempar pandang penuh tanya. **** Sudah beberapa saat Gladys berada di kamar mandi, bukan untuk membersihkan diri, melainkan untuk menikmati pembakaran dari tembakau gulung yang ia gapit diantara jemarinya. Pikirannya melayang tak tentu arah. Kini berada di rumah ini pun tak membuatnya merasa lebih baik. Mungkin justru sebaliknya, karena pertemuan dengan sang mama setelah sekian lama ternyata membuatnya masih teringat trauma masa lalu yang menggelitiki kewarasannya. Akan tetapi dalam keadaan seperti ini tak ada yang bisa ia lakukan selain bersembunyi, hingga ia sanggup menghadapi caci maki dunia akan perbuatan dan akibat yang ia terima. Ranbut panjang yang biasanya selalu harum dan rapi, ia biarkan terurai tak beraturan begitu saja. Ia bahkan tak mandi seharian, sehingga bau asam jawa menyeruak dari balik baju piyama yang ia pakai. Gadis itu benar-benar berantakan saat ini, antara hidup segan mati pun ogah. Saat seperti ini harusnya ia tak sendiri, harusnya ada sahabat dan keluarga yang akan membantunya dalam menyelesaikan ataupun meringankan beban di pundaknya. Tapi nyatanya tidak, ia sendirian. Dan itu adalah kenyataan pahit yang harus ia terima dengan hati lapang. Tak ada sahabat, mereka semua hanya datang di saat ia mengadakan pesta dan bahagia. Pun keluarga, bahkan setelah kepulangannya, papa ataupun mamanya tak ada bertanya tentang bagaimana keadaannya. Hal inilah yang membuat seorang Gladys ingin sekali pergi dari orang-orang yang membuatnya merasa semakin tidak berarti. Tiba-tiba ponsel yang ia taruh di atas wastafel berbunyi, memutar-mutar di sana dengan layar yang berkedip-kedip. Gladys berdiri hanya untuk melihat dari mana panggilan itu berasal. X memanggil ... Seorang pria yang telah menjadi mantan itu meneleponnya. Jangan tanyakan yang mana atau siapa, karena Gladys pun tak ingat ini mantan yang mana. Semua nomor mantan ia simpan dengan nama 'X' diikuti angka di belakangnya. Jika dihitung mungkin ada sekitar dua puluh delapan nomor. Gladys enggan mengangkat panggilan itu, jadi ia biarkan saja hingga si penelepon kelelahan dan berhenti berusaha. Bersamaan dengan itu, beberapa notifikasi masuk ke dalam ponselnya. Yang terakhir adalah sebuah pesan yang masuk ke dalam aplikasi perpesanan berwarna hijau di ponselnya. Seseorang mengiriminya video, dari nomor tak dikenal. Antara ragu dan penasaran. Ia tak tahu haruskah membuka atau membiarkan pesan itu teronggok di dalam inbox. Setelah membuang puntung ke dalam toilet, serta memencet tombol 'flush', Gladys segera menghambur keluar dan membanting diri ke atas ranjang empuk berseprai krem tersebut. Ia pandangi sejenak layar ponselnya, dengan tatapan kosong. Otaknya benar-benar blank saat ini. Beberapa detik kemudian pesan lain masuk. "Dys, lo hamil?" Ivanka. "Seriusan lo hamil? Wah kita harus nyari ratu clubbing donk, buat gantiin elo." Resma. "Are you okay?" Jake. Beberapa pesan masuk secara bersamaan dan hampir semuanya menanyakan hal sama. Tentang kehamilannya. Kepala Gladys seketika terasa berdenyut-denyut saat membaca satu persatu pesan tersebut. Ia tak membalas, dan memilih untuk menghapusnya. Hal terakhir yang tersisa adalah video yang dikirimkan nomor tak dikenal tersebut. Jantungnya berdetak cepat seolah habis berlari marathon sejauh lima kilometer. Dan ... klik, ia pun mengunduh dan menonton video berdurasi dua puluh tiga detik itu. Di dalam video itu dia melihat Shermaine dan geng Alicia sedang bersenda gurau di salah satu sudut meja VIP kelab terkenal yang biasa Gladys kunjungi. Mereka berlima sedang bergosip tentang kehamilan Gladys, sembari menertawakannya. Yang paling menyakitkan adalah Shermaine ikut menertawakan dirinya, bahkan bisa dibilang dialah yang paling lantang di antara para anggota geng yang lain. Tanpa terasa ada lelehan panas yang keluar dari sudut matanya. Bersamaan dengan suaranya yang tersengal terisak. Tak dapat menahan lagi, Gladys melemparkan ponsel ke lantai. Ini adalah hal yang sangat menyakitkan. Ketika seorang sahabat berbalik menyerangnya. Bahkan meninggalkan dirinya di saat ia sedang sangat membutuhkan dukungan. Ponsel yang layarnya sudah pecah itu berbunyi lagi. Pesan masuk bertubi-tubi. Namun tak sedikitpun ada keinginannya untuk melihat dan mengeceknya. Justru sebaliknya, ia mengambil dan melemparkan ponsel itu ke dinding sekali lagi. Bruak!! Ponsel yang tadi berkedip seketika mati, layar dan back casingnya pecah berkeping-keping. Seperti hatinya kini. Bukan hanya cinta yang membuat patah hati, persahabatan hancur pun dapat membawa damage yang tak terkira bagi jiwa seseorang. Kini yang dapat Gladys lakukan hanya terduduk di pojok kamar sambil menangis dan memeluk kedua kakinya erat. Karena tak ada lagi yang bisa dipeluk selain dirinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD