Bukan mama impian

1073 Words
bab 7 Gladys belum keluar kamar sama sekali sejak kemarin. Ia terus mengurung diri hingga membuat wanita paruh baya itu kuatir akan keadaannya. Bi Mirah sudah mencoba untuk mengetuk pintu kamarnya berkali-kali namun tak ada sahutan. Ia terus berjalan mondar-mandir sembari menggumam tak jelas. Dia juga sudah mengatakan hal tersebut kepada Bu Widi-Mama Gladys, akan tetapi wanita itu tak menunjukkan rasa peduli. Ia justru sibuk menyuruh Bi Mirah memasak makanan serta menyajikan kue-kue mahal yang khusus ia pesan untuk menyambut para tamu kehormatan. Para anggota arisan berlian khusus kaum sosialita. Jadwal pertemuan yang digelar sebulan sekali itu, tak ubahnya seperti ajang pamer dan saling terkam. Apalagi sejak bergabungnya sang adik ipar Widi, yang bernama Astrid. Suasana pertemuan menjadi lebih panas, karena Astrid terus saja berusaha menjatuhkan Widi dengan cara membandingkan Chika-putrinya yang sedang menjalani program studi S1 di Amerika, dengan Gladys yang hanya lulusan universitas swasta dengan IPK pas-pasan. Pertemuan tersebut selalu digelar di spot favorit sang mama yang kebetulan terletak di bawah kamar tidur Gladys. Sebuah ruang terbuka kecil yang menghadap langsung ke kolam renang. "Bi cepet buatin minuman!" perintahnya pada Bi Mirah yang dari tadi wajahnya tunjukkan kegelisahan. "B-baik, Bu." Angguk wanita itu dan bergegas pergi ke dapur untuk mengambil cemilan dan minuman untuk para tamu kehormatan. "Mobil Gladys kok di rumah, Jeng?" celetuk salah seorang wanita bertubuh ramping dengan bentuk alis yang mirip tanjakan di perbukitan. "Oh iya, Jeng. Dia memang lagi di rumah," jawab Widi singkat sembari mengulas senyum paksa. Ia paling tak suka jika diajak membahas soal Gladys. "Mana nih si anak cantik?" sahut yang lainnya. "Kayaknya masih tidur, gak tahulah. Anak muda jaman sekarang kan suka begadang, jadi bangunnya siang-siang." "Kalau Chika sih gak pernah bangun siang, dia itu selalu hidup sehat, Jeng. Setiap hari bangun jam lima pagi buat jogging, habis itu sarapan, terus ngampus. Dia anaknya juga gak pernah kelayapan, apalagi sampe kelabing kayak anak Jeng Widi," lontar Astrid yang selalu merasa superior dibandingkan yang lain. Sontak membuat wajah Widi berubah hitam merah. Ingin sekali ia mencolekkan sambal ayam geprek ke mulut perempuan itu jika saja ia tak ingat kalau perempuan bermulut pedas tadi adalah iparnya sendiri. "Oh, Chika kan emang badannya gemuk ya Jeng, makanya kalau gak usaha keras kayak gitu gak bakal bisa punya badan sebagus anak saya, " balasnya sembari mengumpat senang dalam hati. Astrid sontak melotot lebar, mulutnya mengerucut mendengar balasan dari Widi. "Eh udah-udah donk Jeng, kok jadi ngomongin si Gladys versus Chika. Anak Jeng-jeng sekalian cantik-cantik kok kayak Mamanya. Kita ngadain pertemuan ini kan buat bahas acara gowes buat minggu depan, hayuklah dimulai soalnya sebentar lagi saya harus nemenin Davinka pemotretan, ya maklumlah anak saya kan model yang lagi naik daun. Jadi job-nya lagi banyak banget, jadwal padet banget. Kemarin aja sampe jadi rebutan agensi model terke-" "STOOOOPPP!!" teriak yang paling waras di antara mereka lantang. Sontak membuat wanita yang meracau tentang anaknya menutup mulut. Gladys dapat mendengar semua percakapan itu. Padahal dia sudah menutupi kedua telinganya dengan bantal. Hal ini selalu membuatnya muak, ingin sekali ia mengatakan pada mereka kalau dia paling tidak suka jika harus dibandingkan dengan siapapun. Berulang kali Gladys meminta sang mama agar tak perlu menanggapi suara sumbang yang mereka lontarkan. Akan tetapi wanita itu tak pernah mau mendengarnya. Yang paling menyebalkan adalah ketika mamanya gagal menyaingi pencapaian anak dari teman-teman se-gank-nya, maka Gladys-lah yang akan jadi tempat pelampiasan atas kekalahannya. Dia akan memaki hingga tak segan melayangkan tamparan pada Gladys hanya karena hal tersebut. "Kalau kamu sedikit saja bisa menyamai prestasi Chika, pasti mama gak akan semalu ini!" seruan yang terjadi bertahun-tahun lalu masih mengiang di telinganya. "Kamu itu kenapa bodoh gitu sih? Mama papa kurang apa coba? Semua bimbel dan les mahal udah kamu ikutin, tapi hasilnya apa? Nembus universitas negeri terbaik aja gak becus!" Dan masih banyak lagi hal yang membuat dirinya rasakan trauma. Sang papa yang selalu sibuk bekerja dan mengejar uang. Sang mama yang gila martabat dan harta. Tak ada yang dapat Gladys pilih diantara keduanya. Tiba-tiba kepalanya terasa berdenyut, perutnya sakit dan ia merasa lemas. Gladys sudah memakan beberapa biji biskuit yang kebetulan ia bawa dari kos kemarin, tapi bahkan tak ada yang bertahan lama di dalam perutnya. Ia lagi-lagi harus berjalan tersuruk menuju kamar mandi untuk memuntahkan semua tanpa sisa. Sekarang bahkan ia tak lagi punya tenaga untuk sekedar beranjak dari tempatnya. "Non ... udah bangun belum? Ini udah siang loh." Suara Bi Mirah hentakkan kesadarannya. "Masuk aja, Bi ... " sahutnya dengan suara lemas. "Tapi pintunya dikunci, Non." Gladys lupa kalau semalam ia sengaja mengunci pintu kamar agar tak seorang pun masuk ke dalam, termasuk papanya. Ia tahu kalau sang papa sebenarnya sudah mondar-mandir beberapa kali di depan kamarnya, kemungkinan besar berniat untuk masuk akan tetapi mengurungkan niat karena Gladys menguncinya. Tertatih ia bangkit, dan dengan semua tenaga yang masih tersisa ia berusaha meraih anak kunci dan berusaha membuka pintu kamarnya. Beberapa detik penuh perjuangan, akhirnya daun pintu mengayun terbuka. Mata nanar berwajah pucat itu memandang Bi Mirah sesaat lalu limbung dan ... BRUAGHH!! Gladys terjatuh tepat di depan pintu, kalau saja Bi Mirah tak segera menangkap tubuhnya, mungkin saja kepalanya dapat terantuk lantai hingga berdarah. "TOLONG ......... " Hanya kata itu yang dapat disuarakan Bi Mirah, bibirnya bergetar. "Tolong! Non Gladys pingsan!" imbuh Bi Mirah tak dapat tutupi rasa panik. Tangan lemah itu coba mengangkat tubuh lemas Gladys, namun tak berhasil. Tubuhnya yang kecil, renta dan lemah tentu tak bisa jika harus menopang tubuh wanita muda berperawakan tinggi tersebut. Tak berapa lama Widi- mama Gladys, terdengar berlari ke lantai atas. Suara ketukan Stiletto yang ia pakai menggema di lantai berbahan kayu tersebut. "Kenapa lagi tuh anak?!" Suaranya jauh dari kata panik, wanita itu bahkan tak mendekat atau sekedar mengecek nafas sang putri. Untuk memastikan kalau Gladys masih bernyawa. "Saya juga ndak tahu, Bu." Bi Mirah memeluk tubuh lemas Gladys. Wanita tua itu mungkin terlihat cengeng karena tak dapat menahan lelehan air yang menggenangi matanya. Tapi memang sebesar itulah rasa sayangnya pada perempuan yang telah ia rawat sejak bayi. "Merepotkan saja, ya sudah Bi Mirah jagain si Gladys disini dulu. Bentar saya telponin dokternya," sewot sang mama sembari melirik sinis ke arah Gladys yang kini bahkan sedang tidak sadarkan diri. Wanita itu kemudian mengambil ponsel di salah satu saku celana jeans-nya. Menekan dan menggeser layarnya beberapa kali. "Dokternya dalam perjalanan," pungkasnya dengan alis mengerut. "Darto .... cepetan kesini, bantuin Bi Mirah buat ngangkat Gladys!" teriaknya sebelum akhirnya pergi tanpa mengatakan apapun selain menghujamkan tatapan benci kepada Gladys.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD