Pak Darto membantu Bi Mirah mengangkat Gladys ke dalam kamar, lalu meletakkan tubuhnya yang tak sadarkan diri di atas ranjang.
"Kok Non Gladys bisa pingsan sih, Buk?" tanya Pak Darto pada Bi Mirah yang sedang sibuk mengoleskan minyak kayu putih ke telapak kaki Gladys.
"Udah kamu jangan banyak tanya, tolong buatin teh anget buat Non. Biar saya yang tungguin di sini," suruh Bi Mirah yang langsung diangguki Pak Darto. Pria itupun bergegas pergi.
Tak berapa lama pria itu kembali, namun ia tak sendiri, ada seseorang bersamanya. Wanita cantik berusia sekitar empat puluhan, bernama Dokter Ima. Wanita itu segera menghampiri Gladys yang baru saja siuman. Mengecek suhu dan keadaannya.
"Apa yang sudah terjadi sama Gladys, Bi?"
"S-saya ndak tahu, Bu Dokter. T-tadi tuh waktu Non Gladys buka pintu, tiba-tiba langsung ambruk aja gitu ... " jelas wanita itu terbata.
"Biar saya periksa dulu, ya. Pak Darto tolong keluar dulu ya, jangan lupa tutup pintunya," titah Dokter Ima.
"Kalau saya, Bu?" celetuk Bi Mirah tiba-tiba.
"Bibi kan perempuan, kalau mau disini boleh. Enggak pun juga boleh," tukasnya ramah. Kepribadian Dokter Ima berbanding terbalik dengan sifat kakak perempuan-Widi.
"Gladys, apa yang kamu rasakan sekarang?" tanya Dokter Ima sembari mengeluarkan alat pengukur tekanan darah dari dalam tas yang ia bawa.
"Pusing banget, Te," jawabnya singkat dengan suara lemah.
"Bi ... " panggil Gladys pada Mirah.
"Ya, Non?"
"Bibi keluar aja dulu ya, Gladys mau bicara sesuatu sama Tante Ima."
"Baiklah, Non. Kalau gitu ... " Bi Mirah pun menyusul Pak Darto.
Kini hanya ada dirinya dan Dokter Ima di dalam kamar. Gladys tahu cepat atau lambat pasti semua akan tahu tentang kehamilannya, terutama setelah kejadian ini. Jadi ia sudah memutuskan untuk berkata sejujurnya pada Dokter berwajah kalem tersebut.
"Tekanan darah kamu sangat rendah. Selain pusing apalagi yang kamu rasain?" tanya Dokter Ima setelah selesai mengecek tekanan darah Gladys.
"Pusing, sama mual, Te."
"Oh ya, apa selama ini ada keluhan pada lambung?" Gladys menggeleng.
"Karena setahu Tante, kamu gak pernah loh punya keluhan sama lambung. Oh ya ... udah lama banget ya, Tante gak lihat kamu pulang ke rumah." Dokter Ima tersenyum.
"Iya, Te. Gladys baru aja pulang kemarin malam."
"Sebenarnya Gladys mau bilang sesuatu sama Tante, t-tapi ... " Gladys sejenak terdiam. Ia bingung antara harus mengatakan ataukah menyimpannya saja dulu. Hingga ia siap, tapi entah kapan sedangkan semakin hari perutnya akan semakin besar, dan hal itu tak mungkin ditutupi terus menerus.
"Kalau ada keluhan lain, sebaiknya kamu bilang aja sama Tante. Kalau memang diperlukan pengecekan lebih lanjut di laboratorium—"
"Gladys h—hamil, Te." Sontak Dokter Ima terperanjat hingga tak sanggup lagi meneruskan kata-katanya.
"Apa Papa dan Mama kamu sudah tahu soal ini?" suara Dokter Ima tetap terdengar tenang meski ekspresi wajah tunjukkan hal sebaliknya.
Gladys menunduk, lalu menatap Dokter Ima dengan wajah sendu, "B-belum, Te. Gladys belum bilang sama Mama-Papa."
Tak menunggu detik berubah, perempuan muda itu memeluk wanita yang duduk di hadapannya. "Gladys gak tahu harus gimana lagi, Te ... " ujarnya dengan suara serak.
Gladys memang akrab dengan Dokter Ima, selain karena wanita itu adalah tantenya. Hal yang menjadi alasan kenapa mereka dekat adalah pembawaan Dokter Ima yang tenang dan keibuan, sangat berbeda dengan sang mama. Hanya saja sayangnya orang sebaik Tante Ima justru harus mendapatkan banyak ujian dalam hidup. Lima belas tahun usia pernikahannya, namun belum juga dikaruniai anak.
"Udah, kamu jangan nangis. Jalan satu-satunya adalah meminta pertanggung-jawaban kepada laki-laki itu ... " ucap Dokter Ima sembari mengusap lelehan air mata di pipi Gladys.
"Masalahnya Gladys gak tahu siapa ayah dari janin ini, Te."
"Apa?!" Kali ini Dokter Ima tak bisa menutupi kepanikannya.
"M-maksud kamu?"
"Ayahnya yang pasti adalah salah satu temen one night stand-nya Gladys, Te."
"Ya Tuhan, Gladys ... " Dokter Ima menepuk dadanya yang tiba-tiba di terasa sesak.
"Lalu?" Dokter Ima menatap Gladys lekat-lekat seolah sedang mencari jawaban yang mungkin saja dimiliki keponakannya.
Gladys menggeleng lagi, "i have no idea, Te."
"Sepertinya Tante harus segera membicarkan hal ini sama Mbak Widi dan Papa kamu. Ini gak bisa ditunda-tunda lagi, cepat atau lambat mereka akan tahu. Semakin lambat mereka tahu maka akan semakin besar pula resiko yang harus kamu tanggung."
"Tapi, Te ... " Gladys meraih lengan Dokter Ima dan coba mencegahnya.
"Udah kamu tenang saja, Tante yang akan jamin keselamatan kamu. Tante janji ... Okay?" Dokter Ima mengelus rambut Gladys lembut. Menatap wajah ayunya yang terlihat layu dan pucat.
****
Malam harinya saat kedua orang tua Gladys berada di rumah Dokter Ima datang lagi, ia berencna untuk memberitahukan perihal kehamilan Gladys pada mereka.
Akan tetapi baru saja ia duduk santai di ruang tamu sembari menyusun kata-kata agar kedua orang tersebut tak terlalu syok, tiba-tiba saja suara lantang terdengar dari ruang meja makan.
"Papa pikir Mama gak tahu, kalau Papa kemarin makan siangnya bukan sama klien?Mama tahu, Papa pergi sama perempuan b*nal itu 'kan?"
"Jaga ya mulut, Mama!" teriak Harbianto tak kalah lantang bahkan dengan nada yang lebih tinggi dari Widi.
"Dia itu partner usaha Papa, gak ada hubungan spesial antara kami berdua. Harusnya Mama mengerti dan baik sama dia, jika bukan karena dia mungkin saja kita sekarang udah hidup menggembel di bawah kolong jembatan."
"Halah, itu bisa-bisanya Papa aja ..."
"Kamu bilang bisa-bisanya saya saja?Apa kamu lupa berapa puluh juta uang yang harus saya kucurkan tiap minggu buat membiayai hobi mahal kamu??" Harbianto berteriak hingga seluruh isi rumah dapat mendengar.
Sedangkan Widi berdiri nyalang di depan sang suami tanpa menunjukkan rasa sedih atau takut.
"Oh, jadi Papa merasa rugi nih ngasih uang belanja Mama puluhan juta seminggunya?"
"STOPP!"
PRANG!!
Gladys membanting gelas untuk hentikan pertengkaran kedua orang tuanya.
"Kalau Glady gak makan semeja, Mama- Papa pasti bilang Gladys anak yang gak tahu hormat. Tapi lihat apa yang Mama-Papa suguhin ke Gladys tiap kali makan malam bersama? Drama!" teriakan Gladys sontak membuat dua orang itu menutup mulut.
Dokter Ima dapat mendengar hentakan suara kaki Gladys yang berlari menuju lantai dua.
"Maaf, Bu, Pak ... Dokter Ima sudah menungggu di ruang tamu dari tadi," tukas Bi Mirah pada kedua majikannya.
"Kenapa Ima kesini?" tanya Harbianto pada sang istri.
"Dia bilang ada hal penting yang perlu dibicarakan dengan kita!"
"Hal penting apa?!"
Widi melirik sinis ke arah sang suami sambil mengangkat bahunya.
"Kenapa kamu gak bilang sama saya kalau ada Ima disini?"
"Kenapa?? Malu ya? Udah teriak-teriak gitu sama saya? Atau kuatir kalau predikatnya sebagai suami sempurna tercoreng?!" Widi mencebik lalu mendahului langkah sang suami menuju ruang tamu untuk menemui sang adik.