"Apa?! Kamu jangan mengada-ada ya, Ima!" seru Harbianto tak terima.
"Maaf, Mas Harbi-"
"Maaf, maaf! Kalau sampai saya tanya sama Gladys dan ternyata apa yang kamu katakan itu tidak benar, saya tidak akan segan-segan menuntut kamu atas pencemaran nama baik. Saya gak peduli sekalipun kamu adik dari Widi!"
Sedangkan Widi sudah tak dapat menahan tangisnya saat mendengar penuturan dari Ima-sang adik.
Tidak, dia tidak sedang menangisi nasib sang anak gadis, akan tetapi ia menangisi posisinya yang mungkin saja akan turun tahta dari geng sosialita jika benar apa yang Ima katakan.
"Kamu malah nangis! Cepet panggilin Gladys, suruh dia turun sekarang!"
"Kenapa gak Papa aja yang ke kamar Gladys?!" balik Widi tak kalah galak.
"Mbak-Mas, tolong tenang dulu, kita cari solusi terbaik untuk masalah ini. Jangan gegabah, untuk sementara kehadiran Gladys tidak diperlukan. Yang harus diluruskan adalah satu hal ..."
"Heh ... Ima kamu ngerti apa soal menyelesaikan masalah anak? Sedangkan kamu sendiri gak punya anak!" Harbianto yang merasa marah, kewalahan, sekaligus kehilangan muka mulai menyerang personal Ima agar wanita itu segera menyingkir.
"Papa jaga ya omongan Papa! Mau bagaimanapun Ima itu adik saya ... " sahut Widi lantang dengan suara tersengal menahan segala kemarahan dan emosi.
"Mas-Mbak, sekarang bukan saatnya untuk bertengkar. Mas Harbi dan Mbak Widi harus bisa menerima kenyataan ini-"
"Apa kamu bilang? Kenyataan?! Sesuatu yang belum di cek dan ricek kebenarannya, kamu bilang kenyataan?!" pekik pria berkacamata itu hingga sebagian urat-urat di dahi dan pelipisnya tampak menonjol.
"Ini semua salah kamu Pa, kamu sebagai orang tua terlalu memanjakan anakmu itu. Lihat apa jadinya dia sekarang, udah bagus gak jadi sampah masyarakat!" Widi menghujamkan tatapan marah kepada suaminya, sontak Harbianto pun tak rela jika Widi membebankan kesalahan itu padanya.
"Kamu bisa-bisanya ya nyalahin saya, apa kamu gak punya kaca hah? Apa yang sudah kamu lakukan di masa lalu, karmanya berbalik ke Gladys!"
"SUDAH CUKUP!!" Gladys tiba-tiba saja muncul dari ruang belakang, matanya telah basah oleh air mata, sejatinya ia telah beberapa saat berada di balik dinding ruang tamu. Telinganya dapat dengarkan semua percakapan itu.
Inderanya dapat rasakan betapa kedua orangtuanya terlalu takut untuk mengakui kesalahan, dan lebih suka saling hantamkan api satu sama lain.
"GLADYS!!" Sang mama langsung bangkit dan melayangkan tamparannya ke pipinya.
"Kamu sudah bikin malu Mama dan Papa ya? Sekarang kamu jawab jujur, apa benar yang Tante ima katakan?"
Gladys memadang dua orang itu bergantian, ia mengusap lelehen air mata yang membasah di kedua pipi.
Dengan tegas, ia berkata, " ya Ma, Pa, Gladys hamil."
PLAK!!
"WIDI! Cukup!" lantang Harbianto coba hentikan tindakan sang istri.
"Mbak Widi jangan selesaikan masalah dengan cara seperti ini," ujar Tante Ima sembari menarik tubuh kakak perempuannya menjauh dari Gladys.
Gladys berjalan gontai, ia melihat kepada Papanya lalu berucap, " Papa gak pengen nambahin cap tangan di pipi Gladys?"
Harbianto membelalak lebar, urat lehernya membesar, tangannya mengepal namun bibirnya terkunci tak sanggup lagi melisankan apapun.
"Tutup mulut kamu!" hardiknya, yang kemudian hanya ditanggapi senyum tipis oleh Gladys. Sebelum akhirnya ia berjalan dengan gontai menuju ruang belakang. Meninggalkan kekisruhan yang telah terjadi karenanya.
****
Setelah ke-chaos-an semalam, Gladys lagi-lagi mengurung diri. Ia enggan membuka pintu, meski suara papanya yang penuh emosi berteriak-teriak memanggilnya. Berbagai cara telah kedua orang tuanya lakukan agar Gladys mau keluar dari kamar untuk mendiskusikan tentang semua ini.
Hingga akhirnya mereka menggunakan cara terakhir yaitu, membuka paksa pintu dari luar dengan cara mendobraknya.
Dengan cepat Widi menarik paksa Gladys keluar dari kamar, "ayo keluar! Papa Mama perlu bicara sama kamu!" sergahnya kasar. Gladys seakan sudah siap dengan hal itu, ia sama sekali tak melawan. Meski dengan langkah tertatih ia mengikuti perintah sang mama.
Kedua orang tuanya menyeret dan memaksanya masuk ke dalam ruang kerja papanya. Mendudukkannya di sana seolah pesakitan yang harus menjalani hukuman mati.
"Siapa ayah dari bayi itu?" cecar Harbianto, sembari mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Gladys.
Gladys yang pada mulanya menunduk, akhirnya mengangkat wajah. Ia menatap kepada Papanya tanpa gentar.
Meski matanya mulai merah karena tak terima dengan cara kedua orang tua memperlakukan dirinya.
"Jawab!!"
BRAK!!
Harbianto menggebrak meja, membuat Widi reflek menutup kedua telinganya.
"Papa bilang Jawab!!" ulangnya dengan mata melotot. Namun hal itu sama sekali tak membuat Gladys menampakan raut takut. Ia justru tersenyum santai.
"Gladys gak tahu siapa ayah dari bayi ini, Pa. Puas?!" Perempuan itu kemudahan berdiri, "Papa gak usah khawatir, Gladys mampu kok merawat anak ini sendiri."
"Pengangguran kayak kamu mana mungkin bisa mencukupi kebutuhan bayi itu? Kamu pikir s**u, popok itu gratis?" sahut sang mama cepat, dengan nada mengejek.
"Kamu aja masih jadi beban orang tua, udah berani sok-sokan merawat anak. Lagian kalau sampai rekan bisnis Papa tahu soal kelakuan bej*t kamu, yang hamil diluar nikah. Mau ditaruh mana muka Papa? Kamu itu sadar gak sih, kalau udah mencoreng kehormatan keluarga Argana?!" geram sang papa meledak-ledak. Nafasnya tersengal seolah tak mampu membendung luapan kemarahan yang membuncah.
"Papa bilang kehormatan?"
"Sejak kapan keluarga ini punya kehormatan? Apa Papa pikir, orang-orang itu gak tahu, kalau Mama dan Papa itu hobinya saling tikam dari belakang? Jadi jangan kaget kalau Gladys bej*t, Gladys 'kan cuma nerusin tradisi keluarga ini," serangnya sambil melangkahkan kaki keluar dari ruang kerja.
"Papa belum selesai bicara!" tahan Harbianto.
"Mama mau kamu gugurin kandungan itu! Mama gak mau tahu caranya, yang jelas Mama gak mau akuin dia sebagai cucu!" sahut Widi dengan nada kesal.
Gladys menoleh, lalu melihat kedua orang tuanya dengan tatapan sinis.
"Selama ini bukannya Mama memang gak pernah nganggep Gladys anak? Jadi bukan hal yang mengangetkan kalau Mama gak mau akuin anak Gladys sebagai cucu, it's fine, Ma."
BRAK!!!
"GLADYS!!" teriakan Widi hilang bersama tertutupnya pintu.
Gladys membanting pintu ruang kerja dengan satu hentakkan keras, untuk luapkan ledakan kekesalan dalam batinnya. Ia harus tegar menghadapi ini. Saat memutuskan untuk mempertahankan benih di dalam rahimnya, Gladys sudah siap untuk memerangi dunia yang mungkin akan mencaci dan memaki, serta tak henti menghakimi.
Entah nanti ia akan sayang kepada bayi ini atau tidak, yang jelas pantang baginya untuk menjilat ludah sendiri. Setelah berganti pakaian, Gladys bergegas pergi untuk mencari udara segar. Pertengkaran dan perdebatan tak akan ada gunanya karena kedua orang tuanya sudah sangat jelas menginginkan hal yang berlawanan dengan keinginannya.
Sekali lagi ia bernafas dalam-dalam dan menyakinkan diri kalau dia tidak akan pernah menggugurkan janinnya. Betapapun besar dan berat resiko yang harus ditanggung.