Bukan jaman Siti

1087 Words
"Papa mau kamu menikah!" Suara itu lolos dari bibir Harbianto Argana sesaat setelah Gladys menghempaskan bok*ngnya di kursi makan. Perempuan itu melotot, karena hampir saja kata-kata itu membuatnya tersedak tahu isi yang baru saja dicomotnya. "Maksud Papa?!" "Setidaknya dengan hal itu kamu bisa menutupi kehamilan, serta tidak terlalu mempermalukan Papa- Mama." "Mama udah setuju dengan keputusan Papa," sahut Widi cepat sambil menikmati menu dietnya yang berupa nasi merah dan ayam kukus. "Enggak! Gladys gak mau nikah!" Gladys hendak tinggalkan meja makan, akan tetapi tangan sang Papa dengan cekatan mencegahnya. "Kamu mau kemana?!" "Kamar!" "Gladys! Kamu gak bisa ya bersikap sopan dikit sama Papa-Mama?!" "Males!" gerutunya. "Anak dari temen Papa yang akan menikahi kamu, kemarin kebetulan Papa bertemu dengan mereka. Setelah membicarakan tentang banyak hal, akhirnya kami memutuskan untuk menikahkan kamu dengan dia." "Pa, Ma, Gladys gak butuh suami buat besarin anak ini. Lagian apa mungkin mereka ijinin anaknya nikahin perempuan yang hamil diluar nikah sama orang lain?" Gladys tahu ini pasti akal bulus papanya, sehingga tega mengorbankan anak dari temannya demi menutupi aib yang dibuat Gladys. "Selama kamu bisa jaga rahasia, mereka nggak akan tahu kalau kamu udah hamil. Dan Papa harap kamu bisa bekerja sama, ini semua kami lakukan untuk kamu, bagaimanapun juga kamu anak kami. Sudah sepatutnya kami bertanggung jawab atas apa yang telah kamu perbuat," urai Harbianto panjang lebar. Suaranya terdengar serius, terlihat sekali kalau ia sudah mempertimbangkan segala kemungkinan dan membuat keputusan ini dengan matang. Sejenak Gladys membisu, ia melihat kepada orang tuanya bergantian. Ia menanti ucapan apa yang akan terlontar dari mereka selanjutnya. "Mama sama Papa gak mau tahu, pokoknya kamu harus nikah sama anak temen Papa. Mama jamin kamu gak akan nyesel, dia bukan cowok cupu berkacamata—" ujar Widi sambil melirik ke Harbianto, sang suami. "Mama udah lihat fotonya, dia itu cowok ganteng yang gak malu-maluin kalau diajak ke kondangan." Lanjutnya sinis. "Oh jadi gitu ya?" sahut Harbianto cepat. "Emang iya, Mama cuma ngomong sesuatu berdasarkan fakta!" "Oh .... jadi itu alasan Mama selingkuh sama pria muda yang pelatih yoga itu?" Lagi-lagi keduanya bertengkar, seakan tak pernah lelah terus menerus membahas hal yang sama setiap kali berbincang. Gladys tak mengerti dengan sikap dua manusia dewasa di hadapannya. "Ma, Pa, udah donk bertengkarnya .... " jerit Gladys yang hampir kehilangan kesabaran. "DIAM KAMU!" sentak keduanya bersamaan. **** "APA!" teriak Albern yang kini tengah menikmati pole dancing di sebuah kelab malam. Ia segera menyingkir dari tempat itu dan menjauh dari kebisingan. "Lu jangan bohong ya sama gue?" Albern memaki seseorang yang berada di seberang. "Enggak. Ngapain juga gue bohong sama elu, justru gue bilang ke elu, karena gue pengen nyelametin elu ... " tukas suara perempuan itu, dia adalah Salsa—adik angkat Albern. Perempuan cantik yang aslinya berkulit putih, akan tetapi lebih suka punya kulit tan gelap agar bisa berburu suami bule. Pembawaannya tomboy namun tetap memesona. Karena memang dari asalnya ia sudah cantik. "Lu denger soal ini dari siapa?!" "Wani piro? Informasi penting ini gak akan gratis, setidaknya ada harga yang harus dibayar. Karena demi mendapatkan informasi ini, saya—Salsabilla Callington, sudah melakukan segala daya dan upaya dengan seluruh jiwa raga—" "Dua ratus dollar, entar gue transfer ke rekening lu. Cepetan gak usah muter-muter!" sergah Albern tak sabar. Tak segera menjawab, Salsa justru terbahak-bahak. "Kalau lu gak cepet, gue matiin teleponnya," ancam Albern. "Eits ... jangan marah donk." "Jadi gini, setelah lu menolak perjodohan yang Oma tawarkan tempo hari, bahkan hingga membuat Oma syok. Kemarin siang Papa bilang ke Mama kalau akan ngejodohin Brother sama anak temennya ... hahahahaha .... " urai Salsa yang kemudian ditutup tawa mengejek. "Are you sure about that, my beautiful sistaa?" Albern menahan geregetan. "Sangat, sangat, sangat ... yakin. Seribu persen! Brother mau percaya atau enggak terserah sih, Salsa—" TING! Sebuah pesan pemberitahuan dari e-banking masuk ke ponsel Salsa. "Thank you, Brother." KLEK! Salsa menutup panggilannya begitu saja sesaat setelah menerima transferan dari Albern. Perempuan muda itu memang sangat suka menjahili Albern. Meski bukan saudara kandung, akan tetapi kedua orang tersebut sangat akrab dan saling menyayangi. Setelah mendapatkan informasi dari Salsa mengenai perjodohan yang diatur orang tuanya, Albern seketika kehilangan selera untuk menonton pole dancer. Malam di kota antah berantah yang terletak di benua Amerika itu semakin merambat. Albern bergegas pergi dari kelab dengan menghentikan taksi yang ia temui. Pulang ke apartemen dan tidur. Otaknya sedang berputar, mencari akal agar dapat menghindari segala bentuk percobaan perjodohan ala jaman Siti Nurbaya tersebut. Ini mengkhawatirkan, karena tak biasanya sang Papa turun tangan untuk hal-hal receh seperti ini. Namun kali ini, Dwayne Callington yang perawakannya jauh dari Dwayne Johnson itu mulai mengusik ketentraman hidup bebas Albern. "H—halo, Ma ... " Albern pada akhirnya memutuskan untuk menelpon sang Mama. "Sayang, bukannya ini udah larut disana? Kok belum tidur?" balas sang Mama. Dalam kegalauan hati seperti ini, suara itu selalu memberinya ketenangan tersendiri. "Alb baru aja pulang." "Pulang darimana? Kelabing lagi?" tanya sang Mama dengan nada khawatir. Albern paling tidak bisa berbohong dengan mamanya, "i—iya, Ma." Detik berikutnya bisa ditebak, apa dan bagaimana respon yang diberikan sang mama padanya. "Mau sampai kapan kamu hidup begitu, Alb. Mama tuh tiap hari gak henti-hentinya mikirin kamu dan masa depan kamu ... " Suara sang mama mulai serak. Albern menatap ke arah luar jendela taksi dengan tatapan nanar. Tangisan sang mama selalu sukses membuat hati dan egonya tercabik. Ia menghela nafas panjang. "Masa depan Alb ada di sini, Ma," sahutnya lirih antara yakin dan tidak. Suara sesenggukan sang mama terdengar lagi. "Mama kangen kamu, Alb. Mama ingin kamu pulang," tukasnya. "Kenapa gak Mama aja yang kesini?" balik Albern tenang, meski hatinya tidak. Hatinya penuh dengan kekhawatiran sekarang, akan tetapi ia gamang untuk menanyakan hal tersebut kepada sang mama. "Mama dan Papa sudah menemukan wanita yang tepat untuk kamu ... " Sebuah kata-kata yang keluar setelah keheningan beberapa detik terjadi. Albern terperanjat, "Oh sh*t! Here we go ... " batinnya. "M—maksud Mama?" terbata ia menanyakan hal yang sebenarnya sudah ia ketahui delapan puluh persen. "Mama sama Papa sudah memutuskan untuk menikahkan kamu dengan anak teman Papa. Kamu jangan khawatir soal penampilan, karena dia perempuan yang cantik dan modis. Berasal dari keluarga baik-baik dan terpandang. Jadi Mama mohon dengan sangat, kamu jangan buat kekacauan lagi ya Alb. Anggap aja ini permintaan terakhir Oma, setelah kejadian tempo hari Oma masih syok, jantungnya sering kambuh. Jadi Mama mohon kamu .... " KLEK! Sambungan telepon diputus sepihak oleh Albern. Pria itu memandang kota ini dengan tatapan sendu. Menyedihkan jika benar perjodohan kali ini tidak bisa dibatalkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD