2. Gelandangan ini pamanku (1)

1064 Words
Steve mendatangi kantor polisi, melakukan pengaduan terkait penculikan Lila. Pihak kepolisian mulai menyisir daerah sekitar, mencari mobil Sedan hitam. "Pria badan besar, pakaian serba hitam dan pakai masker, juga sarung tangan. Suara langkahnya agak berat, badannya agak atletis seperti bodyguard, usianya mungkin di atas dua puluhan tahun. Dari jenis mobil mewah yang dia pakai, ada kemungkinan orang-orang ini terkait bisnis ayah saya. Coba periksa dari klien-klien ayah saya. Dulu pernah juga musuh ayah saya menculik Lila untuk kepentingan bisnis mereka." Dua polisi saling pandang ketika mendengar cerita Steve, gaya pemuda di depan mereka sudah seperti seorang profiler. "Saudara tidak melihat nomor kendaraan pemilik mobil?" tanya salah seorang polisi. Steve menggeleng, tangannya meremas lutut, terlihat jelas tatapan khawatirnya. Setelah menenggak segelas air yang disodorkan polisi, Steve dikejutkan dengan gebrakan di pintu. Terlihat seorang polisi muda usia sekitar 25-an tahun masuk tergesa ke ruangan itu. "Steve?" "Bang Smith..." Steve langsung berdiri, memeluk pria yang barusan masuk. "Aku nggak bisa jagain Lilo, Bang," keluhnya. Polisi dengan nama Smith Wirya Wellington itu menepuk-nepuk punggung adiknya. "Tenang, serahkan semua sama polisi. Sudah memberi laporan sedetailnya?" Steve mengangguk. Dia lantas melepas pelukan dengan Smith. "Sekarang pulang, mandi, dan makan. Tunggu kabar dariku." Steve kembali mengangguk. Wajah tampannya tidak cocok dengan ekspresi cemberut, tapi dia bukan ahlinya menyembunyikan duka. Setelah perjalanan yang dirasa panjang menuju rumah, Steve pun tiba di kediamannya yang bagai istana. Bangunan dua lantai bernuansa perak-putih itu tampak serasi dengan warna biru tua pagarnya. Steve menapaki pavin block sepanjang menuju pintu rumah berplitur cokelat. Wangi bunga-bunga di taman sepanjang jalan tak bisa menenangkan kegelisahan di dalam dadanya. "Steve pulang," ujarnya dengan lesu ketika membuka pintu rumah yang tak terkunci. "Steve!" Seorang wanita usia 30-an tahun muncul dari lantai atas rumah, langsung memegang kedua bahu Steve. "Apa benar Lila diculik?" Steve mengangguk lesu. Wanita bernama lengkap Shahira Wellington ini akan mengajukan pertanyaan lagi, tapi seorang pria menepuk bahunya pelan dari belakang. Tampak bekas terbakar di pergelangan kirinya. "Sayang, biarkan adikmu menenangkan diri dulu. Tadi Smith sudah bilang, kan secara rinci?" Shahira hanya melepas bahu adiknya, lalu membiarkan pemuda yang lesu itu berjalan ke kamar di dekat tangga. "Sayang, bukannya kamu mau ke rumah sakit?" tanya Luthfi, suami Shahira. Shahira mengangguk, menghela napas ketika memutus kontak mata dengan kamar Steve. "Ada pasien darurat yang harus segera kutangani." Luthfi tersenyum simpul, merapikan kerah kemeja istrinya, lalu mengusap rambut panjang itu dengan penuh sayang. "Jangan terlalu lelah, ya?" Dia mengecup kening Shahira, tersenyum sangat manis. Katanya, senuyum itu bahkan bisa membuat gletser mencair. Shahira balas tersenyum. "Jaga Naura di rumah, ya, Sayang." "Jangan cemas." Shahira sudah membuka pintu, tapi dia menoleh lagi ke Luthfi. "Apakah besok kamu akan mendatangi kantor cabang di luar kota?" Luthfi mengangguk. "Begitulah. Aku akan memimpin cabang pusat, makanya harus mendapat kepercayan dari ayahmu." Shahira tertawa pelan. "Apakah ayah membuatmu sulit?" "Tidak sama sekali. Cepatlah. Pasienmu menunggu." Sharia mengangguk. "Perhatikan Steve juga." Luthfi mengangguk. Setelah istrinya meninggalkan rumah, tatapannya menjadi dingin dan senyumnya menghilang. Dia kemudian menatap kamar Steve sangat lama, sorot matanya sarat kebencian.   ***   Setelah keluar kamar mandi, Steve bergerak ke laci nakas di dekat ranjang, dan membukanya. Terdapat lima kotak besar isi *earplug dari berbagai merk, dan warna, dengan masing-masing kotak berisi sekitar 100-200 pasang earplug jenis foam, dan dengan **NRR mencapai 40 dB. *Earplug adalah penyumbat telinga. **Noise Reducing Rating adalah satuan untuk mengukur tingkat kebisingan yang dapat direduksi atau diredam oleh earplug. ***Kenyaringan diukur dalam satuan tekanan suara desibel (dB) Sebelum mengambil sepasang earplug dari kotak besar yang telah terbuka, Steve menatap 3 *earmuff yang tergantung dengan rapi di dinding atas nakas. *Earmuff adalah pelindung telinga, bentuknya mirip headphone. Bedanya dengan earplug, earplug hanya bisa sekali pakai. Karena itu, Steve punya banyak stok earplug di laci nakas. Lelaki netra biru itu lantas mengambil earplug warna kuning, dan memasang di telinga, kemudian dia rebahan di kasur king size sambil menatap langit-langit kamar bernuansa biru gelap. Meski sudah memakai earplug, jika seseorang bicara di dekatnya, suara itu akan tetap mampu didengar oleh Steve. Dia memiliki pendengaran yang lebih baik dibandingkan manusia pada umumnya. Iris biru Steve kini menatap ke depan tempat televisi berada, lalu menatap dinding di atas televisi, memerhatikan banyak poster dan tulisan besar yang semuanya berkaitan dengan kedokteran forensik. Terlihat jelas kalau pemilik kamar berambisi untuk menjadi dokter forensik. Tatapannya lalu jatuh pada foto dirinya dan Lila yang terbingkai cukup besar, terletak di sudut ruangan bagian kiri, tepatnya di meja belajar. Mengalihkan pandangan, dia menatap lemari bukunya yang banyak buku sejarah dan ensiklopedia. Di sebelah lemari buku adalah kulkas mini. Di sebelah televisi adalah lemari pakaiannya yang super besar dan mewah berwarna keemasan. Ada gambar kartun Lilo and Stitch yang dilukis Lila pada lemari tersebut. Steve menghela napas saat melihat lukisan Lilo and Stitch, lalu tatapannya berlabuh pada foto keluarganya di dinding dekat poster kampus kedokteran. Dia menatap lama pada foto pria berwajah datar yang iris birunya konon mampu membuat pembantu rumah yang mencuri cincin terkencing di celana. Dialah kepala keluarga Wellington, yang bahkan tak menitikkan air mata ketika istrinya wafat lima tahun lalu. "Ini semua pasti berkaitan dengan saingan bisnis pak tua itu!" geram Steve, dia mengepalkan tangan, meninju kasur. "Kalau sampai Lilo terluka lagi seperti dua tahun lalu karena bisnis sialannya itu, aku bakal hancurin perusahaannya dengan tanganku sendiri!" Dengan tekad itu, Steve hendak ke kantor polisi untuk mengetahui perkembangan kasus Lila, tapi tiba-tiba ponselnya bergetar di sebelahnya. Panggilan dengan nama 'Lilo'. Steve langsung melepas kedua earplug, sedikit terkejut dengan banyak suara yang tiba-tiba masuk ke pendengaran, lalu perlahan dia mengatur pernapasan. "Halo, Lilo?" sapanya. Terdengar suara berisik tidak jelas dari seberang telepon, seketika Steve terdiam menutup mulut seolah menahan napas. Dia memejamkan mata, fokus mendengarkan suara dari seberang telepon. Orang normal tidak akan mendengar apapun selain suara berisik tidak jelas, tapi Steve berbeda. Steve mendengar samar suara benda berputar di kejauhan, terdengar suara 'srek srek srek' seperti mengasah benda tajam, lalu ada desahan pelan napas seseorang, bahkan dia mendengar sesuatu yang kecil, tajam dan berjumlah banyak terjatuh ke lantai, suara percakapan beberapa orang yang sangat jauh, dan terakhir, dia mendengar samar-samar pula suara benda tajam membentur sesuatu seperti kayu secara berkala. Beberapa detik kemudian, terdengar ... Tap, sreet, tap, sreet, tinggggg Langkah kaki berat, lalu menyeret lantai, ada sesuatu mendesing di sepatu si pemilik langkah yang membuat kepala Steve sakit setiap kali orang itu menyeret kaki, tapi Steve memaksa mendengar dalam diam sampai akhir. Ada suara musik klasik... Suara piano seperti dari ponsel atau pemutar musik... Suara desing dua logam berat beradu... tidak, itu sengaja diadu dengan lambat-lambat, seolah pemegang benda itu sangat tenang dan santai... Di saat bersamaan dengan suara logam beradu, suara langkah kaki menyeret itu terdengar juga...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD