Gelandangan ini pamanku (2)

678 Words
suara langkah kaki menyeret itu terdengar juga... "Auh..." Steve meringis, sejenak menjauhkan ponsel dari telinganya. Itu sangat menyiksa ketika suara dua logam berat itu beradu berbarengan dengan sesuatu yang berdesing dari tapak sepatu si penyeret kaki. "Kau menghubungi seseorang?" tanya suara berat dari seberang telepon. "Beraninya kau!" Dug! Bersamaan suara benda tumpul dipukulkan ke sesuatu, tidak, bukan sesuatu, itu jelas dipukulkan ke kepala... Terdengar suara desing dua logam tadi beradu, masih dengan suara gesekannya yang santai. Di saat bersamaan, dalam jarak yang dekat. Steve menyimpulkan: Ada dua orang di sana selain korban. Tut! Panggilan berakhir. Steve membuka mata. Dia berpikir keras. Jantung berdebar cepat, keringat mengalir deras, bulu kuduknya merinding. Dia segera memasang kembali earplug. Bergumam sendiri. "Suara orang di seberang seperti tertutup sesuatu, dan dari gerakan giginya terdengar seperti mengunyah sesuatu. Permen karet! Benar. Orang itu mengunyah permen karet. Dan kakinya... Aku harus segera ke kantor polisi!" Steve mengambil jaket, segera keluar kamar, menuju ke kantor polisi.   ***   "Aku mendengarnya, Bang! Lilo dalam bahaya! Ada dua logam beradu. Aku nggak tahu itu buat apaan, tapi suaranya..." Steve tidak bisa menjelaskan lebih lanjut ketika dia menyadari bahwa ketika suara orang yang menyeret langkah itu dan suara dua logam beradu ada di waktu yang bersamaan. Pelakunya dua orang! "Steve, itu nggak mungkin," bantah Smith. Dia memegang kedua bahu adiknya, menatap iris sewarna samudera di depannya dengan tenang meski pelipisnya berkeringat. "Lila akan baik-baik saja. Polisi sudah menyisir beberapa daerah sekitar dan memeriksa CCTV beberapa toko." Steve menepis tangan Smith kasar. "Ini Indonesia, Smith, bukan New York! Kamu pikir berapa toko yang punya CCTV? Itu bisa di hitung jari meskipun di kota besar!" Smith menghela napas, lelah. "Sekarang kamu pulang." Napas Steve tidak beraturan, matanya pun tak fokus, tapi bibirnya lancar menjelaskan ulang yang dia dengar. "Enggak, Bang. Dengar. Benda berputar itu terdengar sangat jauh tapi aku yakin itu mesin pembuat permen kapas. Lilo suka sesuatu yang manis, terutama permen kapas. Tiap dua hari sekali, kami pasti cari penjual permen kapas, dan aku sangat hapal bunyi mesinnya. Ada juga suara mengasah benda tajam, mungkin itu alat untuk membunuh, Bang. Juga ada suara beberapa orang berbincang meminta pesanan, mungkin dekat restoran. Ada juga suara kayak pisau, enggak, itu kayaknya alat pemotong daging. Tuk tuk tuk. Suaranya beraturan menyentuh sesuatu seperti papan. Orang itu pasti lagi mencincang daging. Tempat itu, cari tempat penjual daging, yang ada penjual permen kapas juga, Bang!" "Steve..." "Ah iya, ada suara jarum. Banyak jarum berjatuhan, lalu suara kaki pria di seberang telepon, salah satunya pincang. Suara pria itu berat, sepertinya dia sakit paru-paru atau ashma, atau sedang batuk, atau mungkin efek dia memakai masker, aku nggak tahu." "Steve..." "Usianya mungkin di atas tiga puluhan tahun, tapi bisa juga di bawah dua puluhan. Dari cara dia mengayunkan benda besar tumpul itu, itu sangat mengerikan! Nggak ada keraguan dalam tindakannya! Bang, kamu harus cepat cari Lilo." "Steve!" Bugh Smith meninju wajah adiknya. "Sadarkan dirimu! Kamu berhalusinasi lagi!" "Aku nggak berhalusinasi!" Mata Steve memerah, mulai berair. "Kamu selalu kayak begitu! Nggak bisa membedakan kenyataan dan ilusi! Sejak kecelakaan yang menyebabkan Mom meninggal, kamu jadi aneh! Kamu harusnya periksakan dirimu ke psikiater! Kamu belum sembuh dari trauma kecelakaan lima tahun lalu!" "Aku nggak gila! Abang sendiri percaya kalau Mom nggak kecelakaan, tapi dibunuh! Karena itulah, lima tahun lalu Abang memilih berhenti kuliah dan masuk akademi polisi, kan? Abang mau cari pembunuh Mom!" Smith menggigit geraham belakangnya, tangannya sudah terangkat, tapi itu berhenti di udara. Dia menenangkan diri, lalu mengembuskan napas. "Seseorang melihat plat kendaraan itu, kami sedang mencari Lila. Kamu pulang sekarang! Diam di sana, tunggu kabar dariku!" Smith pergi setelah memberi titah. "Arghhh! s**t!" Steve meninju pohon di dekatnya. "Tanyakan sama pria tua itu! Ini mungkin salah satu saingan bisnisnya, sama kayak dua tahun lalu!" Smith menatap tajam adiknya dengan iris biru terangnya. "Pria tua itu Daddy kita! Darahnya juga mengalir di tubuhmu!" "Arghhh!" Steve kembali meninju pohon di dekatnya setelah Smith masuk ke kantor polisi. Buku jari Steve berdarah, tapi pemiliknya tak peduli. Steve tidak lanjut melampiaskan kesal saat melihat kehadiran sosok bermasker yang menatapnya dengan iris sekelam malam. Jika memandangnya dengan lama, Steve yakin iris hitam itu bisa menyesatkan pikiran setiap orang yang memandangnya. Ares menatap datar Steve, abai. Dia lanjut jalan, saat tiba-tiba Steve menahan lengannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD