Pulang

1270 Words
Sesuai janjinya, Rey mengajak Lupita ke tempat yang mungkin akan membuatnya senang. Dan sesuai janjinya pula, Rey membiarkan Lupita memilih apapun yang ia inginkan termasuk barang kesukaannya, tas cantik juga sepatu hak tinggi yang tak kalah cantik. "Apa kamu tidak mau memanjakan dirimu juga? Misalnya salon, atau ..." "Nggak ... ini udah cukup. Aku takut kalau uangmu habis," candanya membuat Rey semakin gemas. "Jangan khawatir, uangku masih cukup kalau untukmu." Lupita terkekeh. Sudah lama sejak Lupita menderita penyakit yang ia idap selama akhir-akhir ini, baru kali ini juga ia merasakan kembali bagaimana rasanya memanjakan diri. Apalagi jika ditambah dengan yang direkomendasikan Rey? Salon? Ahh ... itu sangat menyenangkan. Akan tetapi, Lupita merasa tidak enak. Apa harus Rey yang mengeluarkan uang untuk kepentingannya selama ini? Lalu, bagaimana dengan Fardi? Lupita murung, ia teringat kembali saat bagaimana Fardi membujuknya untuk berobat di sana. Namun, sekarang bahkan sejak ia sadar dari kritis, Fardi bahkan tak pernah lagi melihatnya. Bahkan, menghubunginya pun sangat susah. "Loh, kenapa wajahmu berubah seperti itu?" tanya Rey. "Aku ingat sama Mas Fardi. Kenapa bukan dia yang membawaku kemari, menemaniku, atau hanya sekadar menyiapkan uang untukku. Kenapa selalu kamu?" Lupita terisak. "Hei ... ayolah. Aku tidak masalah dengan semua yang sudah aku berikan untukmu. Bukankah kita adalah teman? Dan Fardi juga adalah sahabatku. Aku sudah menganggap kalian seperti keluarga. Kamu tanggung jawabku dan aku akan selalu ada untukmu, untuk Fardi juga," jelas Rey. 'Teman? Keluarga? Kau bahkan lebih dari semua itu.' batin Lupita. Apa yang sekarang Lupita Rasakan, sama seperti ia merasakan saat pertama kali mengenal Fardi. Tidak. Itu tidak seharusnya terjadi kepada Rey. Rey itu hanya sekadar teman dan hanya sebatas itu, tidak lebih. Beberapa kali Lupita menggelengkan kepalanya. "Kenapa lagi?" Rey rupanya sangat memperhatikan wanita itu. "Tidak. Sebaiknya kita ke tempat tujuan kita, aku sudah tidak sabar untuk pulang," pinta Lupita berdiri dari hadapan Rey. "Baiklah kalau itu mau mu." Lupita berjalan terlebih dahulu, sementara Rey masih memandang punggung Lupita hingga hilang dari penglihatannya. 'Kenapa aku selalu menginginkanmu, Lupita? Tolong ... mungkin setelah kamu kembali sama Fardi, perasaan ini akan hilang dengan sendirinya.' Rey berjalan mengikuti Lupita setelah lama ia memikirkan persoalan hati dan pikirannya. Sungguh, seharusnya ia tidak menaruh hati terhadap wanita yang sudah mempunyai suami. Benar-benar gila. *** Tring, Leni membuka isi pesan dalam ponselnya. Rupanya itu pesan dari perempuan tak penting baginya. "Kenapa musti pulang segala sih? Kenapa gak di sana selamanya atau ... mati aja sekalian," gerutunya. Leni menggeser layar ponsel itu berakhir di kotak bergambarkan tong sampah. Pesan itu benar-benar tak penting baginya. "Mama ..." panggil Alex yang tiba-tiba merajuk. "Ada apa? Nggak ibu nggak anak sama aja," ketusnya. "Ibu?" "Iya ... ibumu sama mengesalkan nya dengan dirimu, bocah." "Mam, Ayex lapay," ucap Alex. Alex memang belum sempurna saat berbicara. Namun, Leni mengerti dengan arah perkataannya. "Makan saja sendiri. Kamu itu harus belajar mandiri agar tidak menyusahkan aku." Alex pergi tanpa berbicara apapun lagi. Baginya, kemarahan Leni sudah biasa. Tak lama setelah itu, Leni mendengar suara hentakan kaki dari arah luar. Ia tahu jika itu langkah kaki siapa dan ia juga tahu akan sikapnya harus seperti apa. Dengan cepat, Leni menyusul Alex dan menggendongnya sayang. "Alex mau makan ya? Sini, mama ambilin. Maafin mamah tadi marah sama Alex." Leni tersenyum manis. "Eh, baru pulang, Mas?" sambung Leni ketika melihat Fardi sudah masuk ke dalam rumahnya. Fardi melepas sepatu juga jas dan melemparnya ke sembarang arah. Ia tidak menjawab pertanyaan Leni. Itu sudah biasa untuk Leni, dia juga memakluminya. "Mas mau makan juga? Biar aku siapin juga buat mas." "Aku sudah makan," jawab Fardi ketus. Bagi Leni, sikap Fardi yang acuh itu sudah biasa. Walaupun cuek, tapi dia menyukainya. "Mas, kapan kita pergi konsultasi lagi?" "Konsultasi? Untuk apa?" "Ya biar aku hamil, Mas. Alex juga pasti mau adik biar ada teman main juga kan?" "Tidak. Sebaiknya kita tak perlu konsultasi itu lagi. Biarpun Alex tidak punya adik, itu tak masalah baginya. Mas lebih suka kamu seperti ini. Cukup Alex dan tidak ada anak lain selain dia," jelas Fardi ngeloyor pergi. Leni menghentakkan kakinya karena kesal. "Sebenarnya dia menganggap ku seperti apa? Selama dua tahun sikapmu masih sama. Padahal aku sudah susah payah membuatmu melupakan calon mayat itu. Mana janjimu? Bukankah kamu sudah berjanji mau mencintaiku, Mas?" Leni sangat berharap jika dirinya mempunyai anak dari Fardi. Lelaki yang begitu ia cintai. Namun, sepertinya harapan itu percuma saja. Lagipula, Fardi tidak selalu bermain dengannya. Bisa dihitung dalam satu bulan bahkan dalam satu bulan itu tidak main sama sekali. Padahal, niatnya untuk konsultasi pun agar cepat diberi keturunan. Cara itupun sepertinya percuma juga. Fardi bahkan tidak menginginkannya. Ia ingkar janji. *** "Hey, jangan melamun terus. Ntar kesambet loh," hardik Rey mencoba menggoda Lupita yang asik dengan lamunannya. "Siapa yang melamun," protes nya. "Kucing. Siapa lagi kalo bukan kamu. Lagi mikirin apa? Pasti Fardi!" "Bukan ... aku lagi mikirin Leni," jawab Lupita. "Leni?" Rey masih mencerna apa yang sedang Lupita pikirkan. Ada apa dengan Leni? Dan, kenapa Lupita musti harus memikirkannya? "Aku sudah memberi kabar kalo aku akan pulang hari ini. Tapi, pesanku hanya dibaca saja olehnya. Bukan kali ini saja, sebelumnya pun selalu begitu. Kalaupun dibalas juga pasti dia akan membalas iya saja," jelas Lupita. "Mungkin dia sedang sibuk." "Sibuk?" "Iya ... dia kan harus mengurus Alex di sana. Sebaiknya kamu tidak memikirkan dia, nanti juga kamu bakal ketemu. Sebentar lagi malah." "Kamu benar, Rey. Aku sudah merepotkan dia selama dua tahun ini. Sesampainya nanti, aku akan sangat berterimakasih sama adik tiriku." Rey tersenyum, tangannya mengulur, mengacak-ngacak rambut Lupita yang rapih. Hingga Lupita berdecak kesal. Bukan hanya sekali, Rey sering melakukannya. "Jangan acak-acak rambutku seperti ini, aku gak suka!" gerutu Lupita. Rey hanya terkekeh, ia kembali bersandar di kursinya. Mereka duduk bersamaan, Lupita duduk tepat di samping Rey. *** Lupita sudah turun, ia menggusur koper itu dengan semangat. Ia tak menyangka jika dirinya bisa kembali ke Negara asalnya, Indonesia. Lupita bahkan sudah tak sabar ingin bertemu keluarganya terutama Alex, seorang anak yang akan memanggilnya dengan sebutan 'mama'. Rey masih di sana menemani Lupita, ia juga membawakan koper lain milik wanita cantik itu. Begitu banyak yang Lupita bawa dari sana termasuk oleh-oleh untuk suaminya. Sepesial. "Sini, biar aku yang bawa," Lupita mengambil barang miliknya dari tangan Rey. "Tidak. Biar aku yang membantumu membawakannya." "Barang mu juga banyak, bukan? Kenapa musti harus membantuku?" "Kamu itu perempuan, pasti berat. Aku antar kamu sampai rumah Fardi ya!" Lupita menggelengkan kepalanya. "Jangan, ibumu pasti sudah menunggu kedatangan mu. Aku bisa pulang sendiri, dan terimakasih atas semuanya, Rey. Kamu teman terbaik untukku." Lupita mengambil barang miliknya kembali dari tangan Rey. Kali ini Rey mau melepaskannya. Rey juga tak mau memaksa wanita itu jika wanita itu tak mau ia antar sampai rumah. Mungkin hal itu memang tak nyaman baginya. "Baiklah, kamu tunggu, biar aku memesan taxi untukmu." Kali ini Lupita mengangguk patuh. Rey menunggu sampai taxi itu sampai dan memastikan Lupita masuk ke dalamnya. "Aku pamit, sekali lagi terimakasih," ucap Lupita. "Iya, jika kamu membutuhkan ku, cepat hubungi aku atau setidaknya kamu datang ke Rumah Sakit untuk mengecek keadaanmu." "Tentu." Sampai saat ini, Rey masih mengkhawatirkan keadaan Lupita. Pasalnya, ia tahu jika penyakit itu bisa saja kambuh secara tiba-tiba. Jika saja Lupita mampu menjaga kesehatannya mungkin dia akan sembuh total dan tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Semoga. Lupita sudah turun dari taxi dan kini ia melihat rumah yang selama dua tahun ini ia tinggalkan. Barang bawaannya kembali ia gusur memasuki halaman rumah itu. Terlihat seorang perempuan dan anak laki-laki itu sedang asik bermain, Lupita meneteskan air mata bahagianya. "Alex? Kamu sudah besar, Nak. Mama kangen kamu." Lupita terus berjalan, sampai ... "Leni," panggilnya. Leni menengok, ada keterkejutan dari wajahnya. "Mbak? Kapan Mbak pulang?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD