BRAK
Fardi melempar ponsel miliknya hingga hancur. Kesabarannya sudah habis. Setelah lama menunggu, begini-kah seharusnya yang ia dapatkan mengenai kabar istrinya? Benar-benar menyebalkan.
"Mas, ada apa?" tanya Leni terkejut melihat suaminya melempar barang miliknya sendiri.
Fardi menatap Leni dengan amarah yang masih memuncak, napasnya tersengal, tangannya pun mengepal kuat. "Aku sudah menunggunya dan aku sudah menyelidikinya selama dua tahun ini. Ternyata semua bukti yang kamu kasih itu benar. Lupita memang sudah mengkhianati ku. Dia juga sudah berani menggoda sahabatku sendiri."
Dalam hati, Leni merasa puas dengan hasilnya. Namun, sebisa mungkin raut wajahnya terlihat sangat prihatin dengan keadaan suaminya.
"Yang sabar ya, Mas. Mungkin Mbak Lupita hanya melakukan kesalahan yang tanpa disadarinya."
"Tidak sadar katamu? Melakukan hal yang menjijikan seperti itu kamu bilang tidak sadar? Itu sudah keterlaluan. Dia sudah berani macam-macam denganku selama ini," bentak Fardi.
Leni meringis mendengar suara Fardi yang tinggi itu. Baginya, suara itu seperti suara ledakan dari bom saja. Baru kali ini, ia melihat suaminya sampai se-marah itu. Apa ia sudah keterlaluan?
"Mama, takut ..."
Tidak hanya Leni, bahkan Alex pun takut dengan sikap ayahnya. Usia Alex sudah menginjak 3 tahun. Dia juga sudah bisa berjalan, berlari, bahkan berbicara pun hampir sempurna. Alex sudah tahu, apa itu marah. Dia pasti sembunyi bahkan tubuhnya akan bergetar karena takut.
"Tidak apa, sayang. Papa hanya capek saja. Alex main lagi ya!" kata Leni mencoba membujuknya.
Alex mengangguk patuh. Ia kembali sibuk dengan mainannya. Sementara Leni mendekati Fardi yang masih menahan emosinya.
"Mas, tolong jangan marah di depan anakmu. Dia sangat ketakutan apalagi dengan suaramu itu."
Baginya, hanya dirinyalah yang bisa memarahi Alex dan hanya dirinyalah yang bisa merubah sikapnya di depan Fardi. Benar-benar licik.
Fardi mengusap wajahnya kasar. Saat ini memang seharusnya dia tidak terlihat marah, apalagi di depan anaknya sendiri.
"Maafkan mas. Lain kali, mas tidak akan marah di depan kalian," ucap Fardi mencoba untuk tenang.
"Memangnya apa yang terjadi?" tanyanya.
"Lupita ... dia ... dia berani berhubungan dengan lelaki lain dan dia juga berani memeluk Rey. Orang yang aku tugaskan untuknya barusan mengirim semua bukti itu."
Fardi menjatuhkan tubuhnya ke atas kursi karena lemas. Lemas ketika tahu kabar itu dari orang suruhannya.
"Keputusan mas sudah bulat, mas akan segera menceraikan Mbak mu setelah dia pulang."
***
"Dimana kamu Lupita?"
Rey masih sibuk mencari keberadaan wanita cantik itu. Tiba di suatu komplek, ia melihat ada sebuah mobil yang terparkir di sana. Mobil itu persis seperti mobil yang digunakan Geri. Rey sangat yakin jika itu memang mobil milik lelaki itu.
Rey menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah. Tidak ada seorangpun di sana. Namun, ia mendengar ada suara jeritan dari dalam.
"Lupita ..."
Dengan cepat, Rey mendobrak pintu itu hingga hancur. Tangisan seorang wanita terdengar semakin menjadi. Rey segera berlari ke arah sumber suara itu, dan ...
"Sialan ..."
BUGH
Rey memukul Geri hingga terpental. Hingga Geri mengeluarkan darah segar dari dalam hidungnya.
Tidak ada perlawanan dari Geri, Rey bahkan memukulnya hingga Geri kehilangan kesadaran.
"Lu, kamu tidak apa-apa?"
Rey melihat keadaan Lupita yang tidak memakai apapun. Lupita hanya meringkuk mencoba menutupi tubuhnya dengan tangis yang tak kunjung reda.
Rey mencari kain untuk menutupi tubuh polos Lupita, ia membawanya keluar dari kamar itu dan mendudukkan Lupita di atas sofa. Ia menatap wanita itu dengan sedih.
"Maafkan aku, lain kali, aku tidak akan membiarkanmu bersama orang yang tidak kamu kenal," ucap Rey dengan suara yang bergetar sesak.
"Menangis-lah, luapkan semau mu, bila perlu, pukul aku. Semua salahku."
Lupita menggelengkan kepalanya, "Tidak. Ini salahku. Aku percaya begitu saja sama orang yang baru aku kenal."
Tanpa sadar, Rey memeluk wanita cantik itu kedalam dekapannya yang hangat. Lupita kembali terisak. Mengapa ia harus mengalami kejadian seperti ini?
"Kamu pasti terluka. Kita pulang dan aku akan memeriksa keadaanmu," pungkas Rey menyibak air mata Lupita yang terurai.
"Lelaki itu belum menyentuhku, dia hanya membuka pakaianku dan merobeknya."
"Tetap saja, kamu terluka."
Rey tahu, Lupita pasti terluka. Bukan keadaan tubuhnya. Namun, kejiwaannya. Dia pasti syok akibat kejadian ini.
Rey mengangkat tubuh Lupita memasuki mobil miliknya dan langsung pergi dari tempat itu. Berkali-kali, Rey menyesal karena sudah membiarkan Lupita sendirian.
Lupita adalah tanggung jawabnya. Bagaimana mungkin ia membiarkan wanita cantik itu terluka?
***
Lupita sudah mengganti pakaiannya. Ia terlihat melamun, Rey mulai memperhatikannya.
Kali ini, ia membuatkan teh hangat untuknya. Ia juga menemani Lupita di atas langit gelap dan dinginnya angin malam.
"Sebaiknya kita tunda dulu kepulangan kita. Aku khawatir dengan keadaan mental mu. Kamu sedang tidak dalam keadaan baik," ucap Rey lembut.
"Tidak. Aku mau pulang. Dengan keadaanku seperti ini, seharusnya aku menemui suami dan anakku. Merekalah obat terbaik untukku. Aku sangat rindu mereka," jawab Lupita tetap kukuh.
"Baiklah jika itu mau mu. Aku akan mengantarmu ke rumah Fardi dan memastikan kamu bertemu dengan keluargamu."
Rey mengambil cangkir berisikan teh hangat yang ia buat, "Ini, minumlah agar tubuhmu hangat."
Lupita mengambil cangkir itu dari tangan Rey, "Terimakasih."
Lupita meneguknya perlahan, keadaan tubuhnya benar-benar hangat. Begitupun dengan suasana hatinya. Namun, tidak dengan pikirannya. Lupita kembali terisak.
"Kenapa aku seperti ini? Begitu hampa hidupku selama di sini. Tidak ada suami yang mendampingiku, dan dalam kondisiku yang sudah normal, keadaan pikiranku semakin bertambah. Kenapa aku tidak mati saja?"
Rey menatap Lupita, "Jangan bicara seperti itu. Ini semua kecelakaan, kamu harus berpikir seperti itu dan jangan salahkan dirimu. Ada seseorang yang lebih merasa bersalah, yaitu aku," ucap Rey.
"Tidak. Jika saja aku tidak mendengar ucapan lelaki itu, mungkin kejadian seperti ini tidak akan ada. Dan aku seharusnya tiba di Negara kita dengan selamat."
"Bagaimana kalau besok kita membeli sesuatu terlebih dahulu sebelum kita pulang. Lagipula, aku belum membelikan apapun untuk ibuku. Bisakah kau menemaniku, Lupita? Sebagai gantinya, kamu boleh membeli apapun untuk Fardi dan yang lainnya, hmm?"
Tidak mungkin Lupita pulang dengan keadaan seperti ini, itu yang Rey pikirkan saat ini. Keadaan mental Lupita tidak memungkinkan. Rey harus membujuk Lupita dan menunda skedul untuk kepulangannya besok.
"Hmm ... baiklah."
"Kalau kamu mau borong, borong saja sama toko nya, aku tak masalah kok," hardik Rey.
"Apa kamu yakin?"
"Yakin. Seyakin yakinnya. Borong saja, gak apa-apa. Uangku cukup kalau untuk membeli oleh-oleh."
"Oke, aku akan borong semuanya sampai kamu sanggup membayarnya!"
Rey menelan ludahnya dengan susah payah. "Jangan banyak-banyak!"