bc

Bukan Salahku

book_age16+
196
FOLLOW
1.9K
READ
dark
second chance
maid
drama
bxg
city
coming of age
tortured
wife
naive
like
intro-logo
Blurb

Novel ini menceritakan tentang seorang wanita bernama Safira yang diselingkuhi oleh suaminya, selama pernikahan mereka. Karena ternyata lelaki itu mencintai sahabatnya yang bernama Lana. Pernikahan mereka mulai goyah, kala Haidar mengakui dosa besarnya dan memilih untuk kabur bersama selingkuhannya. Safira sempat terpuruk dan hampir menyerah. Namun, karena anak-anak dia mencoba untuk tetap tegar dan berusaha bangkit. Tanpa diduga seseorang yang dulu menjadi temannya hadir, dan memperjuangkannya. Namun, Haidar juga muncul dan ingin menebus kesalahannya.

chap-preview
Free preview
Pertama
Safira sangat menikmati perannya sebagai seorang istri sekaligus ibu. Setiap hari dia mengurus rumah dan keperluan keluarganya. Hidupnya terasa lengkap. Memiliki suami yang sangat pengertian dan tidak pernah menuntutnya untuk menjadi orang lain adalah sebuah anugerah. Belum lagi, dia juga memiliki dua anak yang sangat pintar. Liana dan Razka. Mereka masih sekolah dasar, kedua anaknya sangat baik dan penurut. Mereka menjadi keluarga yang saling melengkapi.  Sekarang, dia sedang menonton televisi, karena semua pekerjaan rumah sudah selesai, mulai dari membersihkan rumah, mencuci, menjemur baju, cuci piring, belanja sayur dan masak untuk anak-anaknya yang lapar pulang sekolah.  "Assalamualaikum!" Teriak mereka berdua tanpak sangat senang.  "Waalaikumsalam, sebentar."  Dia bangun dari sofa, lalu berjalan ke arah luar untuk membuka pintu.  Mereka menyalami tangannya. Lalu bersama-sama masuk ke dalam rumah.  "Gimana sekolanya tadi?" tanyanya. Kala kedua anaknya sedang duduk di sofa sembari minum, katanya haus di jalan sangat panas, sementara uang jajan mereka sudah habis, tidak bisa membeli minum.  "Lancar Mah." "Aman Mah,"  "Kakak kapan ujian kata Bu Guru?"  "Bulan depan Mah, sekitar tanggal 15."  "Baiklah, jangan lupa banyak belajar ya. Supaya bisa masuk sekolah impian Kamu."  "Iya Mah," ujarnya sembari tersenyum.  Krukuk  "Adek lapar?" Tanyanya sembari tersenyum, melihat anak lelakinya yang begitu polos.  "Iya Mah, uangku habis. Karena tadi ada patungan di sekolah."  "Ya sudah, bersih-bersih dulu. Simpan tasnya di kamar. Baru pergi makan. Mamah sudah buat tempe crispy kesukaan kalian."  "Asik!" Kompak mereka berdua. Kedua anaknya ini memang sangat senang sekali dengan tempe.  Suara handphone berbunyi, Safira segera pergi ke kamar dan mengambil handphonenya. Ternyata sang suami melakukan panggilan vidio untuknya.  "Assalamualaikum," ujarnya. Ketika panggilan tersebut tersambung.  "Waalaikumsalam, Anak-anak sudah pulang Mah?"  "Sudah, Kamu sedang istrirahat?"  "Iya, ini lagi makan."  Sembari menunjukan makanan yang sedang dia makan.  "Maaf ya, karena kesiangan. Jadi tidak sempat membuatkan bekal."  "Bukan salah Kamu, gak usah minta maaf."  Beginilah Haidar. Pembawaannya sangat tenang dan Dewasa. Setiap hari, Safira selalu merasa bersyukur karena memilihnya sebagai seorang pasangan hidup. Pria itu sangat pengertian, lemah lembut dan bertanggung jawab. Hidupnya terasa sangat bahagia dan lengkap.  "Ya sudah, Kamu mau dimasakin apa untuk makan malam?"  "Apa saja, masakan Kamu selalu enak."  Hal sepele seperti ini saja, mampu membuatnya tersipu. Terkadang, dia tidak mengerti. Menikah sudah lama, tapi dia tetap saja merasa malu-malu setiap kali mendapat gombalan dari suaminya. Mungkin, karena terlalu cinta. Sehingga dia selalu merasa hal sepele itu menjadi luar biasa.  "Mah, ayo makan!"  Suara anak pertama mereka membuat lamunannya buyar.  "Anak-anak sudah mau makan. Sudah dulu ya, atau Kamu mau Vidio call mereka?"  "Enggak, bawaannya pengen pulang kalau lihat mereka."  Safira lagi-lagi tersenyum. Lalu, dia mematikan panggilan tersebut, setelah berpamitan.  "Ayo makan."  Mereka makan bersama. Sembari bercerita mengenai keseruan di sekolah. Sebagai seorang ibu, dia selalu memantau kegiatan anak-anaknya. Dengan mengobrol seperti ini, anak-anaknya bisa bercerita apa saja yang mereka alami, tanpa merasa takut dihakimi.  Setelah selesai, mereka biasanya akan istrirahat sebentar, lalu tidur siang. Kecuali dirinya, setelah selesai makan, dia akan mencuci piring. Setelahnya mengambil pakaian yang sudah kering dijemur untuk disetrika.  "Mah, sini Kakak bantuin," ujar Liana. Anak pertamanya yang sudah beranjak remaja.  "Enggak perlu Nak, Mamah saja. Lebih baik Kamu tidur."  "Kakak belum ngantuk Mah, sudah dipaksakan untuk tidur tapi tidak bisa."  "Ya sudah, mending mengerjakan PR saja. Sembari temani Mamah."  Anaknya mengangguk, lalu mengambil bukunya ke kamar, dan kembali lagi.  "Kamu kenapa kok diam saja?" tanya Safira.  Sejak pulang sekolah, anaknya terlihat murung, tapi sepertinya dia tidak mau membuat ya khawatir. Namun, sebagai seorang ibu. Dia mengerti bahwa anaknya sedang tidak baik-baik saja. Mungkin, bisa dikatakan ini naluri seorang ibu.  "Mamah yakin, mau sekolahkan Kakak di sekolah itu? Di situ kan mahal Mah," ujarnya.  Rupanya itu yang membuat anaknya murung, Safira mematikan setrikaan, lalu dia menghadap ke arah sang anak.  "Sudah, Kamu tidak perlu memikirkan biaya. Itu urusan Mamah dan Papah. Kamu hanya tinggal belajar saja yang benar."  Sebagai orang tua. Safira ingin anaknya mendapatkan sekolah terbaik, sama seperti dirinya dulu. Meskipun dia sadar, bahwa dirinya tidak bekerja. Semua resiko keuangan ditanggung oleh Haidar. Suaminya bekerja di salah satu perusahaan sebagai staf biasa dan gajinyapun UMR saja, tidak ada tunjangan apapun. Kecuali kesehatan dan jaminan hari tua. Namun, semuanya tercukupi. Meskipun hanya pas-pasan. Dia tetap bersyukur.  Masalah ini pun sudah mereka berdua bicarakan, dan sang suami setuju. Mereka akan memakai tabungan yang sudah ada untuk uang pangkalnya. Sementara bulanan akan dibayarkan dari gaji yang diterima, dibagi dengan kebutuhan keluarga.  Ini merupakan salah satu tugasnya lagi, karena Haidar mempercayakan sepenuhnya keuangan kepadanya. Biasanya sebisa mungkin dia akan menabung, karena itu hal yang penting. Namun, setelah Liana masuk sekolah menengah pertama. Jatah menabung akan semakin sedikit, dia kesulitan untuk menyisikan dari gaji suaminya. Padahal, dirinya bukan orang yang borong jajan atau shoping.  Dulu, ketika mereka baru menikah, mereka sepakat untuk mengambil rumah, dengan cicilan perbulan. Uang mukanya, sisa dari pesta pernikahan mereka. Sementara cicilan dari gaji Haidar. Setelah itu, lahirlah Liana, dia kembali kesulitan untuk menyisikan uang. Dan sama sekali tidak bisa menabung ketika dia memiliki dua anak. Kebutuhan menjadi lebih banyak, dan pengeluaran membengkak. Bahkan mereka sempat keteteran, rumah pun sempat tertunda pembayarannya. Pinjam sana sini tidak ada yang memberi, beruntung orang tuanya menyadari hal ini, dan memberikan uang dengan cuma-cuma. Masalah pun terselesaikan. Dengan cicilan 10 tahun, mereka baru menyelesaikannya satu tahun yang lalu, dan dari situlah dia baru bisa menabung dengan rutin untuk biaya anak sekolah.  Sempat terpikirkan olehnya untuk bekerja, tapi dari awal pernikahan suami tidak mengijinkannya. Dengan alasan anak mereka belum bisa ditinggal bekerja. Haidar takut, anaknya tidak akan terurus, karena dirinya juga bekerja. Sebagai istri, dia hanya bisa menuruti ucapan suaminya.  "Kakak sudah selesai mengerjakan PR, sekarang mau tidur siang dulu," ujarnya dengan gembira. Karena selama mengerjakan PR kantuk menghampirinya.  "Iya Kak, nanti untuk makan malam mau dimasakin apa?"  "Sayur bayam saja Mah," jawabnya. Karena itu adalah salah satu makanan kesukaannya.  "Oke, kalau begitu. Selamat tidur." Anaknya pergi ke kamar, sementara dirinya masih harus menyetrika baju sampai selesai. Sembari memikirkan masakan untuk makan malam. Karena hampir setiap hari masak, dia selalu khawatir anak dan suaminya akan bosan. Meskipun, mereka tidak pernah protes sama sekali.  Sore tiba, waktunya menunggu Haidar pulang. Anak-anak sedang asik menonton televisi mereka sudah mandi dan wangi. Sembari menonton kartun kesayangan, mereka menunggu papahnya pulang.  "Papah pulang!" Teriak Haidar. Kebiasaan lelaki itu, mendorong motornya saat hendak memasukan ke garasi. Agar orang rumah tidak menyadari kedatangannya, dan dia akan mengejutkan seperti teriakan barusan.  "Papah!" Teriak anak-anak yang merasa senang, karena papahnya sudah pulang.  Sementara Safira yang baru selesai menggoreng kentang untuk cemilan anak-anak menyambut kedatangan suaminya dengan ucapan yang sering kali pria itu lupakan.  "Assalamualaikum dulu Pah," tegurnya. "Iya Sayang, maaf lupa."  Haidar mendekatkan dirinya ke sang istri, menyodorkan tangannya agar disalami. Sementara itu, dia tidak lupa mengusap rambut istrinya.  "Ciee Mamah memerah mukanya."  "Iya Kak, sepeeti pakai make up."  "Hey, kok kalian malah ledekin Mamah sih, Papah tuh yang salah."  "Kalian memang di team yang tepat Nak, nanti malam kita main PS."  "Yeyy!" Teriak keduanya dengan sangat bahagia. Karena malam Minggu adalah waktu yang sangat ditunggu-tunggu.  "No!" Teriak Safira.  "Kenapa?" tanya Haidar sembari mengambil kentang goreng yang ada di meja.  "Cuci tangan dulu Pah, ih kebiasaan banget."  "Eh iya lupa."  Sembari tersenyum dan terlihat gigi.  Dia langsung ke wastafel untuk cuci tangan, Safira menyusul ke dapur.  "Mau kopi atau teh?"  "Teh saja, kopi untuk nanti malam bergadang."  "Pah, Kakak sebentar lagi ujian. Dia harus banyak istrirahat dan belajar. Jadi, jangan diajakin bergadang. Takutnya nanti kelelahan dan sakit."  Sembari menyedihkan teh yang diminta, mereka mengobrol di dapur.  "Enggak akan Mah, hanya sesekali saja. Kasian mereka terlalu sering belajar juga akan membuatnya pusing. Nanti mainnya sampai pukul 12 saja."  Haidar itu lelaki idaman, setelah menikah dia jarang sekali kumpul bersama teman-temannya. Kecuali, jika ada kabar buruk atau pesta saja. Jika hanya nongkrong di cafe, maka dia akan menolak dengan tegas. Maka dari itu, dia akan mengajak anak-anaknya untuk melewatkan malam Minggu sembari bermain PS.  "Ya sudah, terserah."  Teh hangat yang sudah jadi, langsung diberikannya kepada sang suami. Sementara dia masuk ke dalam kamar. Bersiap untuk mandi.  Haidar menyadari istrinya sedang marah, dia pun langsung menyusul masuk ke kamar.  "Permisi, Aku mau mandi," ujarnya karena sang suami sekarang sedang berada di pintu. Menghalanginya untuk keluar kamar.  "Jangan marah dong, Aku kan jadi merasa bersalah. Kamu lagi kelelahan ya?" Tanyanya penuh dengan perhatian.  Hati perempuan mana yang tidak luluh, jika ditanya seperti itu? Safira menarik nafas. Dia mencoba mengontrol emosinya.  "Enggak," jawabnya dengan nada bicara yang mulai melemah. Dia sadar, terlalu keras pada suaminya. Padahal, malam ini memang waktunya Haidar bisa menghabiskan waktu bersama mereka.  Bekerja di kantor, terkadang membuatnya pulang telat, apalagi jika sudah ada deadline.  "Setelah salat magrib, nanti kita bicara lagi."  Haidar minggir dari pintu tersebut, dia juga mau bersih-bersih. Seharian bekerja, meskipun di dalam ruangan. Membuatnya membutuhkan mandi untuk menyegarkan tubuh.  Safira mengangguk, lalu dia keluar dari kamar, pikirannya sedang kacau. Karena kepikiran ekspresi Liana tadi siang.  Ini hanya satu dari sekian banyak kelebihan dari Haidar, pria itu sangat dewasa dalam menyikapi masalah, apalagi menghadapi istrinya yang terkadang masih bisa dibilang labil. Meskipun usia mereka tidak jauh beda, hanya selisish beberapa tahun saja. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook