Bukan liburan namanya kalau hari demi hari, jam demi jam terasa berjalan lambat. Hari ini sudah hari ketiga kami berlibur. Sepertj biasa, aku dan Harsa kembali berjanji untuk ketemu lagi setelah sarapan pagi. Ditempat yang sama. Tepi sungai itu. Tetapi kali ini kami tidak bermain di hutan. Ayahku mengajak kami untuk pergi ke sebuah kebun binatang dan juga taman bermain yang ada di kota itu.
“Hai, batu kali,” ejekku karena dia tidak bisa berenang. Layaknya batu kali yang tenggelam ke dasar saat di dalam air.
“.....” Harsa pun terdiam tanpa melirikku sedikitpun.
Melihat Harsa yang tidak bergeming, aku pun sontak menarik tangannya.
“Hari ini aku, mama dan papa akan ke kebun binatang dan taman bermain. Sebentar lagi akan jalan. Ayo, kamu harus ikut!”
Aku melihat wajahnya yang terkejut. Bukan karena ajakanku. Melainkan tarikanku yang cukup keras dan tidak menunggunya untuk menjawab ajakanku terlebih dahulu. Kami berlari ke arah villa cukup cepat, dengan tanganku yang masih menarik tangannya. Saat sampai di villa barulah dia mulai berbicara dengan nafas terengah-engah.
“Hahh.. Ternyata... tenaga.. mu.. kuhat.. jugah.. yahh.. “ perkataan Harsa membuatku menyadari sesuatu.
Entah kenapa, saat bersama Harsa tanpa kusadari aku dapat menjadi anak seumuranku seutuhnya, melakukan banyak hal dengan spontan tanpa berpikir panjang apa dampaknya. Aku dapat menjadi Meena, bukan Falisha dalam tubuh berusia 12 tahun. Mungkin aku merasa nyaman dengannya.
‘Apa mungkin Harsa adalah cinta monyetku?’ Aku pun menggeleng mencoba menghapus pemikiran itu. Ternyata ibu sedang memperhatikan kami.
“Eh Harsa sudah sampai, minumlah dulu segelas air baru bersiap naik ke mobil. Kalian terlihat seperti sehabis lomba lari,” ucap ibu tersenyum sambil terus bersiap-siap.
*****
Tidak memakan perjalanan yang lama, karena kebun binatang itu ternyata berjarak hanya beberapa kilometer dari villa kami. Suasana disana cukup ramai, mengingat ini adalah libur panjang anak sekolah. Pantas saja jika banyak antrian di berbagai tempat rekreasi. Ayahpun menjalankan mobilnya perlahan untuk sampai di loket pembayaran karcis.
Setelah kami membeli karcis, kami semua diberikan gelang kertas untuk penanda wahana pertunjukkan apa saja yang dapat kami kunjungi. Tapi karena setelah ini kami masih mau ke taman bermain, kami hanya melihat binatang dari dalam mobil saja. Tanpa menonton pertunjukkan dari hewan lucu seperti gajah atau panda dari negeri bambu.
Ibu yang sudah bersiap-siap memberikan aku dan Harsa wortel. Masing-masing kami diberikan satu ikat untuk memberi makanan hewan-hewan itu. Entah kenapa mereka sepertimya selalu lapar. Selalu saja memakan sayuran yang diberikan walaupun sudah ratusan mobil melaluinya.
“Mama, lihat ma itu rusanya lucu banget.”
“Jangan dilihatin doang dong, itu wortelnya kamu masih. Nanti dia nyamperin kamu,” ucap papa sambil memegang kamera HP bersiap untuk mendokumentasikan aksiku. Tidak perlu khawatir ayah menengok ke belakang. Karena saat ini kondisi macet dan mobil sedang berhenti total.
“Sini aku saja, kamu kelamaan rusanya keburu ngeces tuh,”
Harsa kemudian mendekat ke arahku. Memberikan rusa itu makan melalui jendela yang berada di sebelahku. Posisi kami menjadi begitu dekat. Wajahnya berada tidak jauh dari wajahku. Tanggannya seperti merangkul bahuku. Padahal dia hanya sedang memberi rusa itu wortel. Tetapi wajahku terasa panas dan jantungku berdebar.
“A-apaan sih?! Kan aku yang mau kasih,” spontan aku mendorong Harsa kembali ke posisinya. Kulihat sekilas dia tersenyum nakal mengejekkuyang malu.
“AH! Lihat ma! Lucu banget rusanya sekeluarga kayak kita,” aku mencoba mengalihan topik pembicaraan,”
“Ah iya! Ayo cepat kita kasih wortel, mobilnya sudah jalan lagi Meena,” ujar ibu.
Saat aku melihat kea rah Harsa, sepertinya tanpa sadar ucapanku tadi membuatnya sedih. Aku lupa jika prang tuanya tidak menyayanginya seperti kedua orang tuaku. Meskipun Harsa terlahir dengan sendok emas di mulutnya, hal itu tidak membuatnya memiliki masa kecil yang bahagia. Lihat saja dari penampilannya dari atas hingga ke bawah.
Dia menggunakan topi bermerek N*ke, kaosnya P*lo, dan sepatunya? Sudah pasti bermerek sama dengan topinya. Dan jika diperhatikan, sepatu itu adalah limited edition yang sudah pasti harganya berkali lipat dari yang biasa. Seperti yang dulu pernah ku koleksi saat masih menjadi Falisha.
*****
Waktu pun sudah menunjukkan pukul 12 siang. Tidak terasa sudah beberapa jam kami berada di dalam kebun binatang tersebut. Setelah selesai, kami langsung menuju sebuah restoran siap saji. Dengan sigap ibu memesan menu yang dapat kami makan dengan cepat, agar waktu masih cukup untuk kami bermain di taman hiburan ternama di kota itu.
Setelah selesai makan siang kami pun bergegas ke taman bermain indoor terbesar di Asia Tenggara itu. Untungnya kami bisa tetap bermain sampai malam tanpa perlu takut menjadi gelap ataupun hujan yang mulai gemericik. Antrian di loket depan sudah tidak terlihat. Biasanya orang banyak mengantri sejak taman itu dibuka agar puas main seharian.
Ayah pun memesan 4 buah tiket terusan. Karena aku dan Harsa sudah melebihi 110 cm, kami bisa menaiki semua wahana yang ada. Wajah Harsa pun tampak sangat senang dan berbinar binar.
“Makasih banyak om, tante. Ini pertama kalinya saya ke taman hiburan. Saya semangat sekali!” Ayah dan ibu hanya tersenyum mendengarnya. Kemudian ibu mengelus sejenak kepalanya.
“Kalau gitu, kamu dan Meena harus main sepuasnya ya!”
“Siap om!”
“Iya, kamu juga bicaranya tidak perlu formail gitu sama tante da nom, biasa saja seperti Meena dan anak-anak lain,” mata Ibu terlihat sedikit berkaca-kaca. Entah apa yang ibu pikirkan. Sepertinya ibu merasa iba pada Harsa. Sangat terlihat ayah ibunya keras padanya tanpa memberikan kasih sayang yang cukup.
“Ayo Sa, kita mulai dari main perahu itu dulu,” aku lantas menarik tangan Harsa
“Eh, Meena itu kan-“ suara ibu tidak terdengar olehku. Terputus karena kami berlari kea rah permainan itu. Aku pun tidak ada ide akan apa yang terjadi selanjutnya.
*****
“WAAAAAAAAAAA!!!!! TURUN SEKARANG!! AKU MAU TURUN!!” teriakku histeris. Kepalaku terasa berputar, cairan bening pun mulai membasahi pipiku. Seingatku aku tidak pernah takut akan ketinggian. Tapi sepertinya tidak untuk Meena. Tidak tahu apa yang dialaminya dahulu, badan ini tidak nyaman saat berada di ketinggian.
“Ka-kamu kenapa?!” Harsa mulai panik, dia pikir aku hanya ketakutan atau bercanda seperti sebelumnya. Tapi aku tidak berhenti berteriak dan air mataku terus mengalir. Sang operator pun tidak menyadarinya karena semua bersorak keras dan bersemangat.
Seusainya wahana itu, Harsa pun terpaksa memapahku ke arah bangku yang ada di sana. Ibu dan ayah langsung menghampiriku. Rupanya ibu sudah menyiapkan minuman manis selama kami masih ada di wahana itu.
“Gimana Meena tadi Sa? Tante juga gak paham kenapa Meena yang phobia ketinggian bisa-bisanya mau naik wahana itu,” ujar ibu yang membuat Harsa semakin bingung.
“Sebenarnya Meena-“ sebelum ibu melanjhutkan kalimatnya, ayah memotongnya bicara
“Gak apa ma, yang penting Meena sudah bisa tenang,” seakan ayah tidak mau memberitahukan apa yang sebenarnya kepada Harsa. Ayah masih merasa Harsa cukup asing untuk memberitahukan detil tentang keadaanku.
“Gak apa om, tante. Harsa akan ingat hal-hal yang bisa membuat Meena menderita. Harsa akan selalu menjaga Meena,” ucap Harsa dengan raut wajah begitu serius.
Selang 30 menit berlalu, aku yang sempat hilang kesadaran mulai membaik. Kami pun memilih wahana yang santai saja dan menghibur. Mulai dari carousel hingga adu menembak hadiah. Semua kami lalui dengan begitu menyenangkan.
Sebenarnya setelah kejadian phobiaku kambuh tadi, aku merasa kepalaku sakit dan berdenyut . Aku memilih untuk tidak menghiraukannya. Tak ingin menggagalkan momen liburan yang menyenangkan ini. Apalagi nantinya sepulang liburan belum tentu aku bisa bertemu lagi dengan Harsa. Aku pun bertekad akan meminta kontaknya agar kami tetap bisa berkomunikasi selepas liburan ini. Tetapi sepertinya takdir kembali berkata lain.