Mimpi (part 2)

1216 Words
Setelah menerima telepon yang nomernya tidak kuketahui itu, duniaku seakan runtuh. Tubuhku serasa lemas. Melebihi yang tadi kurasakan. Kepalaku semakin berdenyut. Air mata ku pun tumpah. Aku tidak tahu apa yangharus kulakukan. Badanku terduduk di lantai. Ica dan Clark yang terbangun segera menghampiriku. “Lo kenapa Na?Lo jatoh?” ujar Clark khawatir. “Tadi yang telepon siapa Na?” Ica pun menunjukkan raut muka khawatir Aku pun sontak memeluk Ica yang berada di sebelahku. Tangisku semakin pecah. “Papa Ca.. papa sama mama.. mereka ca..” “Kenapa bonyok lo Na?” suara Ica tidak sabar “Kecelakaan Ca.. kecelakaannya parah.. Kena tabrakan beruntun.. pas mobil mereka.. ada di tengah.. Mereka kejepit Ca.. gak bisa keluar.. sampe tim medis dateng.. terlambat semua Ca..” Mendengar hal itu Ica pun ikut menangis. Clark hanya terdiam sambil mengelus pundak ku. Membuat tangisku semakin menjadi. “Ca, aku harus pulang sekarang juga Ca. Seharusnya dari awal aku gak ikut acara ini.” Aku mulai berbicara lagi saat mulai tenang setelah menangis cukup lama. “Gak bisa Na, udah jam segini udah gak ada flight lagi ke kota J. Nanti subuh kita balik ya,” “Tapi Ca, aku mau lihat papa dan mama Ca,” aku mulai merajuk sambil menitikkan air mata kembali “Na, please. Gue tau ini urgent tapi gak bisa begini, nanti subuh ya Na. Sekarang lo istirahat dulu yang cukup. Nanti pulang lo pasti capek urus ini itu,” “Kalo mau balik, gue aja yang anter Ca. Tadi gue kan rental mobil untuk selama kita disini,” suara Clark membuatku cukup terkejut. Begitu juga dengan ucapannya. “Nggak bisa Clark, ini terlalu bahaya. Gak ada yang boleh pergi. Ini udah jam 1 tengah malam. Kalo lo mau temenin, nanti subuh lo bisa ikut ke bandara anterin gue sama Meena. Sekarang semua tidur.” Clark hanya terdiam sambil memandangku iba. Aku pun mengangguk pelan. Rasanya tidak ada lagi tenaga yang tersisa. Disaat Ica dan Clark sudah terlelap, aku tidak bisa memejamkan mataku sama sekali. Mataku sulit terpejam. Berbagai ingatan akan keluargaku muncul bagai flashback film yang tiada hentinya. Aku kembali menangis dalam diam. Bahkan ingatan saat aku masih menjadi Falisha dimalam kecelakaanku ikut muncul kembali. Selama menunggu malam berganti pagi, aku memilih untuk membereskan pakaianku agar saat nanti kedua temanku itu bangun, kami bisa langsung menuju bandara. Ketika jam tepat di pukul empat subuh, Ika dan Clark terbangun. Kami pun bergegas menuju bandara untuk penerbangan pertama. Teman-teman yang masih terlelap sudah diberikan pesan singkat melalui ponsel agar tidak kebingungan mencari kami. Akupun terlelap begitu duduk dalam kursi pesawat dengan air mata yang belum mengering di pelupuk mataku. ***** Ica, sahabat yang satu-satunya kumiliki saat ini selalu menemaniku. Rasanya bagai jatuh tertimpa tangga. Tak hanya kenyataan pahit tentang kematian kedua orang tuaku yang menghujam diriku. Ada kenyataan lain. Tiba-tiba bel pintu rumahku berbunyi. Di rumah yang kini terasa sepi, suaranya menggema “Permisi, dengan adik Meena Tarani?” “Iya pak, selamat siang. Ada perlu apa pak?” “Kenalkan saya kolega ayahmu, Demian.” “Meena om, silahkan masuk. Mari bicara di dalam. Ada keperluan apa om mencari saya?” “Maaf saya tahu kamu masih berduka. Tapi saya hanya mau memberikan ini. Tiba-tiba 2 minggu lalu ayahmu memberikan saya sepucuk surat dan sebuah kotak..” Aku hanya duduk terdiam mendengarkan lelaki paruh baya yang mengaku sebagai rekan ayahku yang kini sudah tidak ada lagi. “Beliau hanya berpesan, jika sesuatu terjadi, tolong berikan surat dan kotak ini kepadamu. Jika tidak ada apapun yang terjadi, kotak dan surat ini tetap harus saya serahkan ke kamu saat kamu berusia 21 tahun.” Setelah memberikan amanat dan pesan itu, Om Demian pun pergi. Meninggalkanku seorang diri dalam sunyi dan kebingunan. Kotak itu berisi sebuah kalung dengan bandul berbentuk cincin. Bandul itu dihiasi dengan berlian walaupun ukurannya tidak terlalu besar. Air mataku kembali mengalir saat aku mulai membaca surat yang ditinggalkan oleh ayah dan ibu. Aku yakin itu adalah tulisan tangan ibu. Terlihat dari guratan tulisannya, lembut. ‘Meenaku sayang. Maafkan Mama dan Papa. Kami tidak bisa memberitahukan ini secara langsung kepadamu. Karena mama terlalu sayang sama kamu. Mama harap kamu tidak membenci Papa dan Mama setelah membaca surat ini. Kalung itu kami terima bersama dengan dirimu saat kamu masih bayi. Kami mulai mengadopsimu saat kamu masih berumur 2 tahun. Kami terpikat dengan parasmu yang begitu menggemaskan. Tak terbayangkan kenapa ada orang tua yang begitu tega menitipkanmu ke panti asuhan. Terlepas dari apapun alasan dan masalah mereka, Mama tidak bisa menghakiminya. Nama mu Meena Tarani dan tanggal ulang tahunmu itu asli. Pemilik panti bilang data dirimu diserahkan saat kamu tiba pertama kalinya. Seseorang wanita menitipkan kamu dengan begitu tergesa-gesa. Katanya akan menjemputmu lagi. Mama rasa kalung itu akan menjadi kunci jika kamu akan mancari keluarga aslimu sayang.........’ Aku tak sanggup lagi membaca surat itu hingga selesai. Apa yang terjadi dalam 3 hari ini bagaikan mimpi buruk untukku. Satu per satu kejadian datang bertubi-tubi. Aku memperhatikan bandul yang ada dalam kotak itu. Di bagian dalam cincin ada ukiran dalam bahasa asing. ‘Il Mio Tesoro, Meena’ Aku tidak paham artinya, tetapi namaku terukir disana. Bandul cincin dari emas putih itu kukenakan. Rasanya sungguh membingungkan. Orang-orang yang kuyakini keluargaku ternyata hanyalah orang tua asuhku. Aku adalah anak yang diadopsi. Setidaknya kalung itu membuatku merasa masih memiliki harapan. Pria dewasa yang bernama Demian itu juga menyerahkan surat-surat rumah ayah dan ibu. Memprosesnya untuk dipindah nama menjadi atas namaku. Walaupun aku hanya adopsi, tetapi mereka begitu menyayangiku bagai anak mereka sendiri. Yang kemudian kuketahui ternyata ibuku Dayana rahimnya sudah diangkat karena kanker Rahim. Hal itu yang menjadi alasan mereka mengadopsiku. ‘Kami tidak pernah menyesal telah menjadikanmu puteri kami’ tulisan ibu dalam surat yang terus terngiang-ngiang dalam kepalaku. Kapan mimpi buruk ini akan berakhir. ***** Suara bel kembali berbunyi. Kali ini tidak berhenti-berhenti membuatku terbangun. Ternyata semalaman aku tertidur sambil memegangi surat dari ibu. Ponselku pun mati. “Ya, sebentar!” aku berteriak berharap orang yang memencet bel memberi jeda sedikit. “Meena!! LO KEMANA AJA?!!!” Ica bicara dengan nyaring. Suaranya memekakkan telinga. Aku paham dia khawatir padaku. “Dari kemarin gue telepon gue kirim pesan semua gak ada yang masuk. Terus lo abis nangis lagi? Mata lo bengkak banget sayang,” Ica berbicara tanpa jeda. Tatapannya focus pada wajahku. Tangannya menangkup wajahku. “Maaf Ca. Loh, di belakang kamu?” “Iya, sorry Na, dia maksa ikut,” Ica melirik Clark jengah “Yaudah kalian masuk aja dulu, lebih enak bicara di dalam.” Kehadiran Ica dan Clark setidaknya membuat rumah ini lebih ceria. Dibandingkan hanya aku seorang diri. Rumah yang tadinya terasa kecil, kini seakan menjadi sebuah villa besar. Kekosongan ini serasa menghantuiku. “Na, daripada lo sendiri, tinggal di rumah gue aja ya,” “Ini, minum buat kalian. Aku gak sempet siapin apa-apa dan kulkas juga kosong. Thanks Ca, tapi aku gak mau ngerepotin. Papa dan mama juga meninggalkan uang yang cukup untukku. Lagipula aku dapat beasiswa, jadi tidak perlu khawatir dengan kuliahku,” “Atau lo bisa pindah Na, ke apartemen studio. Gue paham rumah ini terlalu besar buat lo sendiri.” Ucapan Clark membuatku terdiam. Tepat sasaran. “Saya juga sempat berpikir begitu. Pelan-pelan saya akan mengurus 1 per 1. Semua ini datang terlalu cepat. Terlalu bertubi-tubi untuk dihadapi langsung.” “Na, lo masih punya gue. Dan sekarang Clark juga siap untuk ngebantu lo. Please jangan dorong kita jauh Na,” ucapan Ica membuatku kembali menitikkan air mata. Sontak aku memeluk Ica erat. Melihat keadaanku, Ica memberikan isyarat untuk Clark agar pindah ke ruangan lain. Dia tau bahwa aku tidak suka menangis di depan orang lain. Kemudian mengelus bahuku pelan. “Semua akan jadi lebih baik. Biar waktu yang menyembuhkan luka ya Na” “Sebenernya Ca.. kemarin.. Umm..” “Ada orang yang mengancam kamu Na?” “Bukan Ca, tapi ada orang yang memberikanku sesuatu. Seperti wasiat dari orang tuaku. Entah mereka memiliki firasat atau apa, tetapi mereka sudah mempersiapkannya,” kemudian aku memperlihatkan surat dan bandul itu kepada Ica. Serta menjelaskan semuanya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD