Waktu pun berlalu. Kini aku sudah memasuki tahun terakhirku di SMA. Seperti biasa aku bersekolah di salah satu sekolah terbaik. Aku masuk dengan jalur beasiswa. Pastinya tidak heran karena aku memang sudah mengukir banyak prestasi semenjak duduk di bangku sekolah dasar. Bedanya, kali ini aku mengambil penjurusan minat lebih banyak ke arah seni desain.
“Yo, Meena selesai UAN kelulusan nanti udah ada rencana?”
“.........” aku diam malas menanggapi ucapan basa basi temannya temanku yang entah namanya saja bahkan aku lupa.
“Psstt.. gak usah lo Tanya Meena udah punya planning tersusun rapih tau. Gak kayak lu yang kacau balau kayak muka lu!” celetuk teman dekatku Frederica yang sering dipanggil Ica itu.
“Udah Na, kita ke kantin aja mumpung masih lama jam istirahatnya. Buaya lokal kayak Dino mah diemin aja,” ujar Ika sambil menarik tanganku halus
Aku pun berdiri dan pergi bersama Ika ke kantin.
Selama ini tidak banyak perubahan dalam hidup sekolahku. Aku tetap menjaga jarak dengan teman sebayaku. Lebih tepatnya aku masih merasa tidak bisa nyambung dengan mereka. Lain halnya dengan Ika.
Frederica adalah teman pertamaku di sekolah ini. Dan satu-satunya sampai saat ini kalau kalian penasaran. Ika anak yang ceria, dan berada dari keluarga yang kaya. Lebih terpandang dari keluargaku tentunya. Ayahnnya memiliki sebuah perusahaan di bidang Teknologi. Ibunya memiliki usaha kosmetik sendiri yang akhir-akhir ini menjadi trend.
Ika pun terkadang menggunakan sosial media miliknya untuk mengiklankan produk ibunya itu. Bisa dibilang dia BA (Brand Ambassador) nya. Maklum, Ika punya kulit yang mulus, tubuh yang tinggi dan lansing. Salah satu primadona di sekolah ini.
Sebenarnya banyak juga teman yang mengejar Ika, tapi tidak tahu kenapa sepertinya penggemarku lebih banyak . Kata Ika karena aku pendiam jadi terlihat lebih menarik dan misterius. Maklum aku malas dengan anak bocah jika dilihat dari sisi dewasaku yang sudah lebih dari 30 tahun jika dihitung hingga saat ini.
“Kamu udah siap-siap untuk ujian kelulusan kita Ka? Aku titip mie bakso aja ka buat makan siang. Gak pake daun bawang ya,”
“Sip. Mie baksonya buat jadi 2 bu, sama es coklat 2, makasi. Duduk situ aja yuk Na,” Ika menunjuk ke tempat biasa kami duduk di kantin.
“Belom Na, hahhh.. Buat ujuan percobaan aja gue masih belom siap. Apalagi ujian kelulusan yang asli. Ngeri banget.”
“Kamu sih enak Ka gak perlu pusing juga nanti nerusin usaha mamamu. Aku kan beda,” aku mengucapkan dengan sedikit lirih walaupun aku tidak pernah iri dengan kekayaan keluarganya.
“Utututututu.. Nana tayang.. Nanti kamu kan yang ngurusin semua keperluan desain untuk iklan produk Mami kann.. Awas kalo gak jadi brand top nasional ya.” Ika bicara gemas
“Oh udah dateng tuh, buruan yuk makan sebelum kelas,” Ika buru-buru mengambil makanan dan minuman yang kami pesan.
*****
Sepulang sekolah, aku yang dulu biasa dijemput ibu, kini biasa pulang bersama Ika karena rumah kami searah. Aku pun menunggu Ika di perpustakaan karena teman dekatku itu dipanggil oleh wali kelas kami.
“Nana!” teriak Ika
“Neng ini perpus. Monmaap jangan teriak-teriak. Atau aku gak boleh lagi minjem buku disini karena kamu.” Ucapku buru-buru sambil menutup mulut Ika dengan buku
“Abisnya lo gak denger sih gue panggilin,” Ika bersungut-sungut.
“Yaudah sebentar aku pinjem buku 1 ini buat kita belajar weekend nanti. Kita harus bisa lulus bareng kalo mau aku jadi designer kamu ya neng.” Ucapku nakal sembari tersenyum meledek.
“Ah, tau aja nilai gue pas-pasan. Kayaknya berat buat masuk 1 kampus sama lo deh Na,” kami sambil berjalan kea rah luar perpustakaan
“Saya pinjem buku ini ya bu. Atas nama Meena Tarani. Terima kasih”
Kemudian kami berjalan ke arah parkiran. Frederica kemudian menyalakan mobilnya dan melaju ke arah rumahku.
“Na, nyokap lo masak apa? Laper deh, kangen sama masakan nyokap lo nih,”
Maklum, karena ibunya Ika sibuk berbisnis ibunya jarang masak. Biasa mereka memang membeli makanan di luar atau ART lah yang biasa memasakkan untuk Ika dan keluarganya. Pasti rasa masakannya tak akan seenak makasan ibuku.
“Yang pasti masak kesukaan aku Ka, bukan kamu,” ucapanku disambut gelak tawa Ika.
*****
“Walaupun sederhana, tapi rumah lu emang paling nyaman Na,”
Ika langsung mendaratkan tubuhnya di kasurku yang dibalut sprei berwarna peach itu.
“Katanya mau belajar, tapi abis maksi langsung rebahan,” ucapku dengan wajah jengah.
“Rebahan 10 menit dulu ya bu,” sahut Ika sambil menarik bantal. Yang aku tahu akan berkembang setidaknya menjadi 1 jam. Ika tipe orang yang nempel lansung molor. Wajar saja jika habis kenyang makan langsung ngantuk begitu kena AC. Tapi anaknya sangat baik dan perhatian.
“Ka... Ika!,” sambil mengguncangkan tubuhnya, aku berusaha membangunkan wanita pelor itu.
“Hnghhh.. Iya ma, 5 menit ya...” ‘Bukkkk!’
Aku mendaratkan sebuah boneka lucu di badan Ika. Membuatnya terkejut, langsung kesadarannya utuh.
“Nana!!” Ika menjerit gemas.
“Udah 2 jam tidur neng, kalo tidur melulu kapan lulusnya,” ucapku dingin karena kesal Ika tidak kunjung bangun.
“Hahhhhh.. siap bu. Habis makan dessert dari nyokap lo kita mulai oke,” Ika sambil mengusap-usap wajahnya seperti biasa ibu selalu menyiapkan ku dessert setiap aku akan belajar. Beginilah keseharianku sepulang sekolah biasanya.
Semenjak aku mengenal Ika di sekolah, dialah satu-satunya teman yang pernah kuajak main ke rumah. Entah bagaimana aku merasa Ika selalu bisa kupercaya apapun rumor yang beredar diantara teman-teman dia tidak akan menusukku dari belakang.
Bersama Ika membuatku cukup nyaman. Saat aku malas berbicara atau berdebat dengannya tentang suatu hal, dia akan diam dan memberikanku ruang. Tidak seperti anak lain yang terlalu memaksakan dan menggebu-gebu. Walaupun terlihat kekanakan, kurasa Ika memang cukup dewasa untuk melindungi adik-adiknya.
*****
Hari ujian pun akhirnya tiba. Hari penentuan bagi semua anak sekolah tingkat terakhir. Layaknya hari penentuan hidup dan mati. Banyak anak yang biasanya tidak pernah berdoa, terlihat begitu khusuk berdoa sebelum ujian dimulai.
Suara salah satu guru dari ruang siaran radio sekolah menjadi penanda bahwa ujian akhir dimulai. Walaupun semua guru berkata untuk santai saja, tidak semudah itu dilakukan. Materi ujian selama duduk di bangku Menengah Atas sedang diujikan. Seakan kami tidak pernah ikut ujian kenaikan kelas.
Terasa begitu berat. Tetapi harus kami lalui untuk bisa maju ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Menunjukkan bahwa kami pantas untuk disebut sebagai mahasiswa.
Bel pun berbunyi, tanda waktu mengerjakan ujian selesai.
“Naa... Gimana dong kayaknya aku salah beberapa soal nih.” Lirih Ika
“Gak apa Ka, semakin tegang nanti malahan kamu lupa semua yang udah dipelajarin.” Sebenarnya aku pun tegang. Seperti sedang mengikuti audisi untuk casting Female lead untuk film layar lebar.
“Pokoknya apapun yang terjadi, kita harus lulus. Universitas beda pun gak apa, kita kan masih bisa ketemuan diluar,” aku berusaha menenangkan Ika yang hampir menangis. Aku mengetuk kepalanya pelan dengan bullpen sembari tersenyum.
“Nih minum dulu jusnya, kita masih harus kelarin sisa 5 ujian lagi baru bisa santai. Kelulusan mau pergi ke pulau B kan?”
“Iya betul juga! Ayo! Buruan kelarin!” Tiba-tiba Ika langsung semangat mengingat acara kelulusan kali ini yang akan diadakan di pulau B.
Bersambung