Her Last Wish
Waktu adalah musuh yang paling setia bagi dua insan yang bertahan dalam doa. Setiap detiknya menyimpan harapan dan ketakutan.
Sepuluh tahun pernikahan adalah kisah panjang yang tak hanya menampung cinta, tapi juga luka, air mata dan ribuan tanya yang tak kunjung menemukan jawab.
Seorang pria duduk di sisi ranjang, menggenggam jemari wanita yang telah menjadi istrinya selama satu dekade.
Ruangan itu sunyi, hanya denting jarum infus yang menjadi saksi bisu pertempuran mereka, bukan melawan orang, tapi melawan kenyataan yang tak ramah.
"Percaya padaku, Sayang, kau pasti akan sembuh," ucapnya lirih, memberikan kepercayaan dan semangat pada istrinya yang kini terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.
Namun hanya senyum getir saja yang di perlihatkan oleh istrinya.
Damian Leoric Harrington, putra sematawayang dari keluarga konglomerat Harrington berusia tiga puluh empat tahun, yang saat ini tengah memperjuangkan istrinya, Agatha Caitlyn agar terbebas dari kanker rahim yang ia idap selama hampir lima tahun.
Agatha Caitlyn sendiri merupakan wanita berusia 32 tahun, ia merupakan wanita yang dahulu begitu ceria, kini tampak ringkih. Kanker rahim yang dulu ia kira telah berhasil disingkirkan, kembali, lebih ganas dan lebih menyakitkan.
Namun, bagi Agatha sendiri ini bagaikan akhir bagi hidupnya, bagaimana tidak tekanan dari keluarga Damian untuk memiliki anak justru seperti mimpi baginya saja, karena hal itu merupakan hal sulit untuknya memiliki anak dari rahimnya sendiri, ketika persentase untuknya sembuh sangat kecil.
"Operasi, bahkan bila kau harus melakukannya aku sangat-sangat menginginkan hal itu terjadi, bila itu dapat menyelematkanmu."
"Lalu, bagaimana dengan keluargamu? Bagaimana dengan mimpi mereka untuk memiliki seorang cucu? Bila operasi itu dilakukan, maka aku akan benar-benar menjadi seorang istri dan wanita yang tidak berguna," kata Agatha lirih.
Damian mengepalkan tangannya, tak setuju dengan perkataan istrinya. Ia sama sekali tak menyetujui itu.
Ini adalah kehidupan pernikahan mereka, bahkan mereka bisa melakukan adopsi tanpa harus membahayakan nyawa Agatha.
Tapi, kembali lagi, bila operasi itu terjadi lalu kedua orangtuanya mengetahui hal tersebut, bagaimana dengan pernikahannya dengan Agatha? Ia tidak ingin perjodohan yang mungkin saja keluarganya itu inginkan terjadi.
Ia terlalu mencintai Agatha.
Ia tidak ingin menduakan atau mempoligami istrinya.
Terlebih keluarganya begitu menginginkan seorang cucu untuk meneruskan perusahaan milik keluarga Harrington, selain Damian.
Damian benar-benar terjebak dalam ke dilemaan ini, ia tidak tahu harus melakukan apa, seolah keberuntungan tidak berpihak padanya.
Agatha menatap suaminya yang tampak menunduk memikirkan semuanya.
Ia tak bisa mewujudkan mimpi suaminya untuk memiliki anak.
Ia jadi mengingat kala dulu, ketika ia dan Damian baru menginjak usia pernikahan satu tahun, mereka sepakat untuk menunda terlebih dahulu untuk memiliki momongan karena Agatha yang masih begitu mencintai dunia pekerjaannya sebagai seorang model.
Damian sama sekali tidak memaksakan apa yang sebenarnya ia inginkan untuk memiliki anak dengan cepat.
Namun, penyesalan itu datang ketika ia menyadari bila dirinya terus mengejar dunia karirnya, lalu bagaimana dengan sebuah keluarga kecil yang di inginkan suaminya?
Agatha memutuskan untuk pensiun dini dalam dunia permodelan untuk fokus pada rumah tangganya.
Tapi, itu justru menjadi awal penyesalan Agatha, karena ia justru di vonis mengidap kanker rahim stadium awal pada tahun ke lima pernikahannya dengan Damian.
Hal tersebut terjadi ketika Agatha kerap kali mengalami pendarahan di luar tamu bulanannya, nyeri pada area panggul dan punggung.
Hancur tentu saja Agatha rasakan, tapi ia masih berusaha untuk Denial pada semua vonis Dokter bahkan tak memberitahu hal ini pada Damian.
Hal yang membuatnya semakin sakit adalah ketika pada suatu momen ia dan Damian tengah membicarakan mengenai seorang anak.
"Sayang, menurutmu, anak kita nanti akan berjenis kelamin laki-laki atau perempuan?" tanya Damian dengan posisi kepalanya yang berbaring di atas paha Agatha.
Pertanyaan itu cukup membuat jantung Agatha berdegup cepat, perkataan suaminya mengingatkan Agatha mengenai penyakit kanker rahim yang ia idap dan ia sembunyikan dari Damian.
Sentuhan tangan Damian di atas perutnya semakin membuatnya merasa bersalah pada suaminya karena ia tak dapat berkata jujur, tapi rasa takutnya saat ini bila Damian akan meninggalkannya jauh lebih besar.
Tapi nyatanya, Damian tetaplah Damian, pria yang selalu mencintainya meskipun kekurangan ia miliki.
"Maafkan aku," lirih Agatha yang merasa bersalah kepada Damian.
Damian menaikkan pandangannya lalu menatap kedua manik mata istrinya kemudian menggelengkan kepalanya.
"Apa yang kau katakan, Sayang? Kau tidak bersalah sama sekali," ucap Damian yang semakin menggenggam tangan istrinya dengan erat.
"Maafkan aku, andai dulu aku tidak terlalu egois mementingkan karirku, pasti kita telah memiliki anak."
"Maaf, Damian ...," ucap Damian dengan suara yang melirih menahan tangis.
Damian menatap istrinya begitu dalam, "Hei, Sayang, tidak perlu merasa menyesal, aku sangat mengerti kau sangat mencintai dunia model mu, aku tidak bisa melarangmu saat itu."
"Tapi, aku membuat peluang kita memiliki anak menjadi lebih kecil," sesal Agatha.
Hati Damian benar-benar terasa sakit melihat istrinya begitu putus asa.
Ia bangkit dari kursinya kemudian duduk di atas brangkar untuk membawa istrinya masuk ke dalam dekapan hangatnya.
"Memiliki anak atau pun tidak kini bukan sesuatu hal yang aku inginkan untuk saat ini, yang terpenting saat ini kau harus kembali sehat,"
"Kau tahu kan, aku tidak bisa apapun bila tanpamu, hal kecil seperti pakaian kemeja kerjaku, aku bahkan tidak pandai untuk memilih dan menyambungkannya dengan jas milikku atau dasi, kau yang selalu menyiapkannya untukku."
"Jadi, aku mohon bertahan sekali lagi ya, Sayang dan pikirkan lagi mengenai operasi itu."
Tatapan mata Agatha menatap lurus tak berkedip sedikitpun, sebuah ide gila pun mulai terlintas dalam pikirannya.
Yaitu sebuah pikiran yang membuatnya merasa bila dirinya tak memiliki pilihan lain, selain Damian memang harus menikah dengan wanita lain.
Bila ia sembuhpun, dirinya tak bisa menjadi wanita seutuhnya.
"Sepertinya, keputusan orangtuamu ada benarnya," ucap Agatha pelan.
"Menikahlah dengan wanita lain."
Sebuah kalimat yang tidak ia sangka akan keluar dari mulut istrinya.
Damian refleks melepaskan dekapannya pada tubuh Agatha lalu menatap istrinya dengan tatapan penuh tanya.
"Damian, aku tidak memiliki pilihan lain dan kau harus menikah bila penyakitku ini tidak bisa di sembuhkan atau aku kembali sehat tapi dengan kecacatanku ini," ucap Agatha berusaha tegar mengucapkan semuanya.
Damian tertawa getir yang begitu pelan, "Agatha, apa yang kau pikirkan."
"Menikah lagi katamu? Kau memintaku untuk menikah dengan wanita lain yang bahkan tidak pernah terlintas sedikitpun untuk masuk ke dalam kehidupanku selain dirimu?"
Tangan Agatha meremas sprei ranjang rumah sakit.
"Ya, Damian. Kau harus melakukannya. Pikirkan lagi--" Agatha mengatupkan bibirnya saat Damian memilih untuk turun dari atas ranjang.
"Sampai kapanpun, aku, Damian Harrington tidak akan menikah lagi, siapapun itu yang memaksaku, aku tidak akan melakukannya," ucap Damian final dan tidak bisa di ganggu gugat lagi.
Damian pun memilih untuk keluar dari ruang rawat istrinya ketika ia merasa amarahnya itu berkumpul di dalam dadanya dan ia tidak ingin menyakiti istrinya sedikitpun.
Selepas Damian pergi, kedua mata Agatha terasa memanas lalu kedua matanya pun meneteskan air mata yang membasahi pipinya.
"Apa yang harus ku lakukan, Tuhan? kehidupan Damian harus tetap berjalan dan lengkap dengan keluarga yang utuh,"