Bertepuk Sebelah Tangan, Incaran Rahasia

1558 Words
---**--- Cemara Clinic Laboratory, Medan, Indonesia., Ruang Laboratorium Patologi Klinik., Pagi menjelang siang hari.,             Naswa masih berada di ruangan yang sudah menjadi sahabatnya selama hampir 8 tahun lamanya. Dia masih duduk di kursi kerjanya, dimana mikroskop masih tampak menyala disana. Tidak hanya mikroskop saja, tapi laptop miliknya juga masih menyala, menampilkan halaman yang menjadi panduannya. Pikirannya masih fokus pada penelitian yang tengah dia lakukan saat ini.             Kedua jemarinya terus bergerak membolak-balik buku yang sedari tadi dia baca. Meski snelli masih melekat di tubuhnya, tidak membuat dirinya tampak gerah di ruangan full AC ini.             Hampir 2 jam dia berkutat pada buku yang tengah dia baca, bahkan masker masih melekat di mulutnya. Naswa tidak sadar, jika seseorang telah masuk ke dalam ruangannya. “Heyy ... jangan terlalu dinikmati.” Ucap seorang pria berusaha menyadarkan lamunannya.             Naswa tersentak dan spontan menoleh ke sumber suara. Jantungnya hampir melompat karena tiba-tiba kaget mendengar suara seorang pria. Namun seketika dia bernafas lega, saat tahu jika pria itu adalah rekan kerja yang sudah lama dia kenal. “Aahh ... dr. Andhika, bikin kaget aja. Masuk itu ketuk pintu dulu kek. Atau ngucap apa kek,” gumamnya pelan dan kembali beralih membaca buku referensi yang baru saja dia pesan dari Amerika.             Pria itu tertawa geli dan memperbaiki snelli yang melekat di tubuhnya. Setelah dia meletakkan tas kerjanya di salah satu rak tertutup disana, dia berjalan mendekati Naswa yang selalu bersikap cuek seperti biasanya. “Tadi aku sudah sudah mengetuk pintu. Sudah menyapa, tapi gak ada yang menyahut. Abang pikir yang lain ada disini.” Dia menarik kursi kecil yang ada disana, dan duduk di sebelah kiri Naswa.             Pria berusia 30 tahun itu memperhatikan ekspresi Naswa yang selalu membuat degup jantungnya berdebar. Namun sayangnya, dia hanya bisa melihatnya dari jauh dan tidak mampu menyentuh hatinya. Sebab dia tahu jika Naswa tengah menjalin hubungan spesial dengan salah satu Dokter yang merupakan Dokter ternama di salah satu Rumah Sakit Swasta bertaraf Internasional di kota Medan ini.             Naswa, dia sama sekali tidak berniat membalas kalimat dari pria yang akrab disapa dr. Andhika itu. Karena dia tahu, jika pria ini memiliki sikap yang berbeda saat bersama dengannya. Itu sebabnya dia tidak mau memberi harapan palsu apapun untuknya. Dia pikir, lebih baik dia bersikap cuek dari pada menambah perasaan lagi untuk pria ini.             Namun, tidak mungkin jika dia hanya diam saja. Apalagi dr. Andhika sangat ramah sekali padanya.             Dia sedikit melirik ke arah kiri dan membuka suaranya. “Yang lainnya lagi ada di ruangan sebelah, Dok. Tapi Professor Ben ada di ruangan Anatomi,” jawabnya singkat. dr. Andhika tampak mengangguk paham. Dia mengambil 1 buku milik Naswa yang menganggur disana. “Oh iya, gimana cawan petri yang pecah itu, Dek? Mejanya masih dipakai?” tanya Andhika padanya.             Mendengar pertanyaan dari Andhika, seketika Naswa menghela panjang nafasnya. “Haahhh ...” Pandangannya beralih ke arah mikroskop yang ada di hadapannya. Meletakkan buku yang dia pegang di sisi kanan mikroskop, dia kembali mengambil alih makro yang ada disana. “Tidak bisa dipakai lah, Dok ... apalagi mejanya sudah rusak. Bakteri sudah merambat. Kemarin saja, dua ruangan di dekatnya dimatikan AC-nya.” Dia melirik sekilas Andhika yang menatapnya.             Andhika mengangguk paham dengan jawaban Naswa barusan. Dia juga paham jika  bakteri yang ditanam oleh mereka memang bersifat basil tahan asam. “Ruangannya masih diisolasi lah ya, Dek?” tanyanya lagi masih menatap Naswa.             Naswa mengangguk kecil. “Iya, Dok. Tadi pagi barusan didesinfeksi lagi. Soalnya kalau gak gitu, takutnya bakteri itu tertanam di dinding atau di lantai.”             Andhika kembali mengangguk paham dengan jawaban Naswa. Namun sedikit mengganjal di hatinya mengenai cara Naswa memanggil dirinya.             Sudah berulang kali dia mengingatkan Naswa agar tidak memanggilnya dengan panggilan Dokter jika tengah berdiskusi seperti ini. Lain halnya jika mereka tengah berhadapan dengan pasien, pikirnya.             Dia melirik jam tangan yang tengah dia pakai. Jarum jam menunjukkan pukul  11.45 siang. Sudah masuk jam makan siang, tidak ada salahnya jika dia mengajak Naswa untuk makan siang bersama, pikirnya lagi. “Dek, kamu bawa bekal?” tanyanya sembari beranjak dari duduknya. Dan meletakkan buku Naswa di tempat semula. “Gak bawa, Dok. Tadi Mama gak sempat masak,” jawabnya singkat sembari menggeleng pelan.             Andhika berjalan menuju meja kerjanya, dan mengambil kunci mobil miliknya. “Abang mau makan di cafe biasa. Ayok makan siang sama Abang,” ucapnya mengajak Naswa.             Naswa melirik ke arah jam tangan bermerk yang dipakai di pergelangan tangan kirinya. “Oh ... uda jam segini aja ya, Dok. Gak terasa waktu cepat berlalu,” gumamnya pelan namun masih bisa didengar oleh Andhika yang berjarak tak jauh darinya. “Iya, Dek. Cepat sekali berlalu. Tapi perasaan Abang ke kamu masih tetap sama kok,” jawabnya asal.             Tiba-tiba saja Naswa menegakkan tubuhnya, dan melirik ke belakang. “Lebay woo!” Naswa langsung mengejeknya dan membuatnya bercanda.             Andhika tertawa geli melihat ekspresi Naswa. Yah ... begitulah wanita yang dia sukai sejak dulu. Cuek dan tidak mau terlalu dekat dengan rekan kerja pria yang masih berusia muda seperti dirinya.             Dia tidak munafik, kecemburuannya muncul di dalam benak jika pria spesial Naswa datang menjemputnya. Meski dia tahu kalau Naswa bukan tipe wanita yang mau bersikap sembarangan, tapi dia juga ingin memberikan bentuk perhatian yang sama, yang dilakukan oleh dr. Rangga terhadap Naswa. ..**..             Sadar jika waktu sudah memasuki jam makan siang, Naswa memutuskan untuk menghentikan pekerjaannya. Dia membereskan meja kerjanya, tidak lupa membersihkan mikroskop yang sejak pagi dia pakai.             Bukan karena dia ingin segera menikmati waktu makan siangnya, tapi karena dia ingat jika ada janji bersama dengan teman-temannya siang ini. Baginya ini sangat penting, karena menyangkut masalah keluarganya.             Setelah dia membereskan semua pekerjaannya, tidak lupa dia melepas snelli dan membersihkan tubuhnya dengan menyingkirkan benda-benda yang dia pakai saat bekerja tadi. Dia langsung berjalan menuju meja kerja utama dan mengambil ponsel miliknya.             Dia menghubungi sahabatnya untuk memastikan jika pertemuan mereka siang ini tidak terjadi kemunduran waktu. Tidak lama berselang waktu dia mengirim pesan singkat, sahabatnya membalas dengan cepat dan mengatakan jika mereka sudah menunggu di tempat sesuai dengan janji yang sudah disepakati.             Naswa langsung bergerak cepat dan memakai pansusnya kembali. Gerakannya yang tampak terburu-buru, membuat Andhika menatapnya bingung. ... “Dek, jadi makan siang sama Abang? Kok nampaknya buru-buru sekali?” Andhika mengernyitkan kening melihat Naswa hendak berjalan keluar ruangan.             Langkah kakinya melambat mendengar suara Andhika. Dia lupa, jika pria ini sudah bersamanya sejak tadi. “Aahh, Dok. Sorry-sorry, saya lupa kalau Dokter ada disini.” Gumamnya pelan sembari tersenyum tipis. Dia kembali melanjutkan kalimatnya, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan bernuansa putih disana. “Dok, nanti kalau dr. Rikha tanya bukunya ... ada disebelah sana ya, Dok.” Dia menunjuk sebuah nakas kecil yang ada disudut ruangan. “Saya duluan ya, Dok. Mau jumpa sama teman lama. Makan siangnya lain kali aja ya, Dok.” Dia membuka pintu ruangan, dan diangguki iya oleh Andhika. “Iya ... yauda, Dek. Hati-hati ya, Dek.” Dia berjalan menuju pintu hendak mendekati Naswa. “Iya, Dok. Terima kasih.” Dia langsung membiarkan pintu terbuka sebab ada Andhika disana.             Naswa berjalan menuju lift yang ada disana. Tanpa dia tahu, bahwa Andhika memperhatikannya sampai bayangannya terlepas oleh pintu lift yang tertutup rapat.             Andhika menghela panjang nafasnya dan kembali menutup pintu ruangan. Terbit senyuman miris di kedua sudut bibirnya. “Abang tahu, Nas. Gak ada jalan terbuka untuk Abang dekati kamu.” Kakinya berjalan menuju meja kerjanya, dan duduk di kursi kecil berwarna hitam. “Lagi pula … Abang juga bukan level kamu,” gumamnya lagi seraya merendah diri. *** Mutia Garden Restaurant, Medan, Indonesia., VIP Bar Room., Siang hari.,             Saat setelah Naswa sampai di restauran ini, dia langsung menghampiri teman-temannya yang sudah memesan ruangan khusus untuk mereka bertiga. Namun saat Naswa mendekati salah seorang temannya yang bekerja sebagai ahli IT di salah satu perusahaan ternama di Indonesia, sahabat mulai angkat bicara. “Nas, kita makan siang dulu baru bicarakan apa yang mau kamu tahu dari Daniel. Benarkan, Niel?” tanya wanita berusia 26 itu, Erine kepada kedua temannya, Daniel dan Robby.             Erine adalah sahabat Naswa sejak Sekolah Dasar. Bahkan mereka sudah seperti saudara kandung sendiri.             Dua pria itu tampak menganggukkan kepalanya. “Iya, Nas. Gue laper nih. Jauh-jauh balik dari Jakarta cuma buat Elu, eh malah kelaperan sampai sini.” Robby membuka buku menu untuk mengalihkan tatapan Naswa yang tidak bisa dia hindari.             Lalu satu pria yang bernama Daniel, dia juga ikut membuka suaranya. “Iya ... kita makan siang dulu aja. Sekalian nunggu nih laptop loading. Biasalah, Nas ... laptop gue harus sering-sering di update biar gak lemot.”  Dia tersenyum lebar seraya mengalihkan tatapan datar Naswa.             Erine berdiri dan menarik lengan Naswa, mengajaknya untuk duduk di sebelahnya. “Dah sini duduk di samping aku aja. Kita makan dulu. Kau punya asam lambung, Nas? Gak boleh telat makan.” Erine mengingatkannya sembari membuka buku menu.             Naswa menghela panjang nafasnya dan meletakkan barang-barang yang dia bawa di sebelahnya. Dia tidak berniat membuka suaranya, sebab dia tahu jika teman-temannya tidak akan membahas hal yang dia inginkan. Sedangkan yang lainnya, mereka saling melirik dan memberi kode dalam diam agar tidak membahas hal yang diinginkan oleh Naswa. Takut jika Naswa memaksa.             Sebagai teman yang sudah lama mengenal siapa Naswari Ayudya, mereka paham jika Naswa tidak suka menunda hal yang menurutnya penting. Itulah sebabnya mereka memutuskan untuk lebih dulu sampai di restauran ini sebelum Naswa, agar mereka bisa membuat janji dan rencana tanpa diketahui olehnya. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD