Malam yang selalu sama

1540 Words
*** Gang Dewi Kunti., Rumah Naswa, Medan, Indonesia., Malam hari.,             Mereka sudah sampai di depan gang rumah Naswa. Naswa langsung membuka sabuk pengamannya, dan melirik Rangga sekilas. “Terima kasih ya, Bang. Abang hati-hati di jalan. Jangan balap-balap.” Dia mengingatkan Rangga sebelum dirinya keluar dari mobil.             Rangga tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Seperti biasa, wanita ini pasti sangat sulit untuk diajak bicara jika perasaannya sudah kusut. Dan dia tidak mau merusak semangatnya lebih dalam lagi. “Langsung mandi ya, Sayang. Kalau butuh sesuatu, bisa hubungi Abang.” Rangga masih meliriknya, berharap Naswa mau berdiam sebentar di mobil.             Naswa melirik Rangga sekilas. Apa telinganya tidak salah dengar, pikirnya. Kepalanya kembali menoleh melihat Rangga yang masih menatapnya. “Menghubungi Abang?” Salah satu alisnya naik ke atas. Naswa masih melanjutkan kalimatnya. “Yakin? Gak apa-apa kalau Naswa hubungi Abang tiba-tiba?” tanyanya dengan suara sedikit membuat seringaian di wajahnya. ..**..             Yah … bukan dirinya tidak menghargai Rangga sebagai seorang yang lebih dewasa. Namun sejak mereka menjalin hubungan, Rangga tidak mengizinkan Naswa untuk menghubunginya terlebih dahulu.             Rangga sering berpesan jika dia akan menghubungi Naswa jika pekerjaannya sudah selesai. Dan peraturan itu sangat tidak cocok untuk Naswa.             Pada hari yang sangat membuatnya kesal, Naswa pernah menghubungi Rangga tiba-tiba. Namun Rangga justru mengatakan jika dia masih sibuk bekerja.             Nadanya saat itu memang tidak terdengar marah. Namun perintahnya seakan wajib untuk dilakukan oleh Naswa.             Dan cara mereka berkomunikasi seperti itu masih bertahan hingga hubungan mereka sudah berjalan hampir 2 tahun. Naswa sudah menyesuaikan diri dengan komunikasi mereka yang menurutnya sangat tidak sehat.             Pasalnya, Naswa tidak bisa bebas jika menghubungi Rangga. Karena wajib pria itu yang boleh menghubunginya atau mengirimnya pesan terlebih dahulu.             Naswa pernah berpikir, apakah Rangga memiliki wanita idaman lain. Atau mungkin dia sudah memiliki keluarga.             Tapi setelah dia pikir kembali, jika Rangga sudah berkeluarga ataupun memiliki wanita lain, tidak mungkin dia berani mengatakan jika dia ingin melamarnya. Apalagi beberapa waktu lalu, Rangga ingin membawa Naswa ke Senayan untuk dikenalkan kepada keluarga besarnya.             Dia sudah berusaha mencoba berpikir positif. Karena sampai detik ini, Rangga tidak pernah bersikap atau berbicara kasar padanya.             Sikap Rangga pada Naswa juga masih sama seperti awal mereka menjalin komitmen. Tapi meski begitu, Naswa masih belum siap untuk dipersunting oleh Rangga. Sebab hati kecilnya mengatakan nanti dan tidak mau diburu oleh kata menikah. … “Yakin? Gak apa-apa kalau Naswa hubungi Abang tiba-tiba?” tanyanya dengan suara sedikit membuat seringaian di wajahnya. Deg!             Rangga sedikit tertegun mendengar pertanyaan Naswa yang menurutnya tak biasa. Ekspresinya sama persis saat Naswa tengah berhadapan dengan para penjilat di depan meja persidangan.             Dia tahu kalau Naswa tidak pernah bersikap pura-pura. Karena wanita ini tidak terbiasa untuk berbasa-basi.             Sikap tenangnya tetap terjaga, tangan kirinya menyapa pergelangan tangan kanan Naswa. “Kenapa nanyanya begitu, Sayang? Apa Abang ada salah?” tanya Rangga hendak mencium kembali punggung tangan berhiaskan dua gelang Cartier berwarna emas dan putih disana.             Naswa sedikit menarik tangannya. Dia mulai tersenyum geli, menyembunyikan sikapnya yang melewati batas kesabaran atas sikap Rangga selama ini. “Enggak, Bang … gitu aja langsung berpikir aneh-aneh,” jawab Naswa mengembalikan keadaan seperti semula. Dia menarik tangan kanannya, dan membuka pintu mobil yang ternyata masih dikunci oleh Rangga.             Rangga hanya tersenyum tipis, menghela panjang nafasnya. “Kalau Abang ada salah, Sayang bisa bilang. Jangan diam aja, Sayang.” Dia melirik Naswa. Dia membuka sabuk pengamannya, dan membuka kunci mobil. Kakinya juga turut melangkah keluar dari mobil.             Malam semakin larut. Gang rumah Naswa memang tampak sepi. Apalagi saat ini jam sudah menunjukkan pukul 10 malam.             Naswa mendengar kalimat Rangga. Dia membuka pintu mobil dan melangkah keluar dari sana.             Rangga menghampiri Naswa, matanya mengamati keadaan sekitar. Memastikan jika tidak ada tetangga Naswa yang berada di luar rumah. “Sepi sekali disini ya, Sayang.” Dia semakin mendekati Naswa dan hendak mengecup keningnya.             Naswa mendorong pelan tubuh Rangga. “Bang, ini sudah malam.” Naswa mengingatkannya, dia tersenyum melihat Rangga dan hendak berjalan menuju mobilnya yang berada disana. “Naswa pulang ya?” ucapnya pamit, namun lagi-lagi Rangga mencekal lengan kirinya dan membuat langkah kakinya terhenti. “Sayang?” Rangga masih melihatnya, dan Naswa kembali menatapnya.             Selama beberapa detik mereka saling melempar pandangan. Rangga merasa, kesalahannya sudah sangat membesar. Di sisi lain, Naswa merasa tubuhnya sangat lelah sekali. “Ada apa, Bang?” tanya Naswa menatapnya bingung.             Rangga kembali tersenyum dan menggelengkan pelan kepalanya. Wajah cantik Naswa memang selalu mampu meluluhkan hatinya.             Dia tidak tahu kenapa, jika sudah berhadapan dengan Naswa, ketakutan untuk kehilangannya semakin besar. “Ya sudah Sayang pulang. Biar Abang lihat dari sini,” ucapnya melepas cekalan tangannya dari lengan kiri Naswa.             Naswa tersenyum geli. “Gak perlu dilihat juga kali, Bang. Orang dekat aja pun,” balasnya langsung melangkahkan kaki menuju mobil miliknya, pintu mobilnya sudah dibuka oleh supir pribadi Rangga. “Selamat beristirahat, Bu.” Sapa supir itu ramah padanya.             Naswa tersenyum manis sembari masuk ke dalam mobilnya. “Terima kasih, Pak. Bapak juga ya,” balasnya ramah sedikit mengangguk kepala. Dan Naswa sudah mengenal supir pribadi Rangga yang juga sering mengantar jemput dirinya kalau dia pulang dalam keadaan lelah.             Rangga mendekatinya sembari hendak menutup pintu mobilnya. “Good night, Naswari Ayudya.” Rangga tersenyum manis kepada wanita yang sangat ia sayangi itu. Kepalanya sedikit merunduk, melihat Naswa yang sudah duduk di dalam sana. Senyuman merekah dia berikan untuk wanita yang selama ini setia padanya.             Naswa tersenyum dan mendorong tubuh Rangga. “Ish, Abang! Lebay ah!” Wajahnya mulai merona. Dia menjangkau pintu mobil dan hendak menutupnya. “Bang! Ini dah malam! Nanti ada tetangga yang lihat gimana coba? Malu, Bang!” ketus Naswa sedikit sebal bercampur malu.             Rangga geli melihat wajah Naswa yang tersipu malu. Namun dia memang suka menggoda Naswa dengan cara sesederhana ini.             Dia menutup pintu mobil Naswa, dan membiarkan mobil berwarna putih itu melaju masuk ke dalam gang sedikit lebar.             Bayangan Naswa di ujung sana masih terlihat. Senyumannya juga masih terlihat dari posisinya saat ini.             Mobilnya sudah masuk ke halaman rumah. Naswa terlihat melambaikan tangan ke arahnya. Dia membalasnya sembari menganggukkan kepala.             Pagar besi itu tampak tertutup kembali, dan dia masuk ke dalam mobilnya. Saat dia mulai bersandar nyaman disana, ponselnya berdering.             Dia segera mengambil ponsel dari balik saku celana panjangnya. Nama kontak yang memanggilnya, membuat dia menghela panjang nafas.             Supir pribadinya membuka suaranya. “Kita balik ke rumah atau hotel, Den?” Supir itu melirik ke arah belakang, melalui spion depan mobil. “Hotel saja, Pak.” Dia menjawab singkat.             Rangga membiarkan deringan ponsel itu terus berlanjut. Dia meletakkan ponselnya tepat di sisi kanannya.             Tubuhnya sedikit melurus, dan kepalanya sedikit menengadah ke atas. “Haaahh …”             Dia bersidekap d**a dan mulai memejamkan kedua matanya. Walau tubuhnya sangat letih, namun pikirannya terus tertuju pada Naswa.             Tidak bisa dia pungkiri, jika wajah Naswa selalu membayangi hari-harinya. Sulit baginya melupakan Naswa jika sesuatu yang tidak dia inginkan terjadi.             Hubungan yang sudah terjalin selama hampir 2 tahun, tidak sedikit pun Naswa membuatnya marah dan kesal. Walau dirinya merasa menjadi pria bodoh, setidaknya dia bisa membuat Naswa nyaman berada dalam pelukannya. *** Rumah Naswa, Medan, Indonesia., Kamar Naswa., Malam hari.,             Dia masih meringkuk di sudut lemari pakaiannya. Menekuk kedua kakinya, membenamkan wajah lelah di kedua lututnya.             Rambutnya terurai menutupi seluruh wajahnya. Isakan kecil masih terdengar di kamar sedikit luas dengan nuansa hijau. Kesejukan tidak hanya datang dari ruangan pendingin, namun dari hatinya yang juga sangat kesepian.             Malam ini, lagi-lagi dia seorang diri. Sang Adik, Miswari Nandini. Miswa menginap di rumah nenek mereka.             Ayahnya belum kembali ke rumah sejak 3 hari yang lalu. Dia tahu, Ayahnya pasti sedang bersenang-senang dengan selingkuhannya. Dan Ibunya, dia sudah memerika kamarnya tadi. Ibunya sudah tertidur.             Snelli masih melekat di tubuhnya. Begini yang dia lakukan setiap malam, setiap dia pulang bekerja.             Rasa lelah dan letih tak kunjung membaik. Materi yang dilimpahkan oleh orang tuanya, tak mampu membuat hatinya bahagia.             Apalagi dia juga sudah bekerja dan mampu menafkahi dirinya sendiri. Dia bisa membeli apapun yang dia suka. Namun semua itu tidak cukup untuk mengobati rasa sakit yang ditorehkan oleh Ayahnya untuk keluarganya.             Pengkhianatan yang dilakukan Ayahnya belum bisa dia lupakan. Apalagi Ibunya masih terus terngiang oleh pertengkaran hebat yang terjadi 3 bulan yang lalu.             Saat dimana Ayahnya memilih selingkuhannya yang merupakan temannya saat SMP dulu. Dia benar-benar tidak habis pikir oleh teman Ayahnya itu. Dia sudah berkeluarga, tapi sikapnya sungguh rendahan sekali.             Ibunya hampir gila saat itu. Dan Adiknya, Miswa terus menangis dan ingin membunuh selingkuhan Ayahnya. …             Beginilah yang dilakukan Naswa ketika hatinya sakit. Menangis dalam kesendirian dan kesunyian adalah jalan utamanya.             Apalagi sikap dan ucapan Ayahnya waktu itu membuat Naswa sangat syok. Dia bahkan hampir dibunuh oleh Ayahnya sendiri demi membela selingkuhannya yang wajahnya tidak secantik wajah Ibunya.             Uang memang tidak menjamin dirinya bahagia. Rumah besar dan isinya ini juga hanya sebagai hiasan bingkai keluarganya saja.             Apa yang terlihat oleh keluarganya yang lain, itu semua hanya skenario yang dibuat-buat oleh Ayah dan Ibunya. Namun kenyataannya, rumah besar ini hanya ladang kosong dan gersang.             Puas menangis, Naswa mula beranjak dari posisi meringkuknya. Dia melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.             Dia pikir, sudah cukup otaknya lelah bekerja hari ini. Kini saatnya dia beristirahat untuk menghadapi hari esok. Harapannya, esok akan menjadi lebih baik dan hatinya harus berseri melakukan segala hal yang bermanfaat untuk dunia. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD