BAB 5 : Bukan hanya menjadi mantan teman sekelas biasa, mereka juga mantan pacar.

1154 Words
BAB 5 : Bukan hanya menjadi mantan teman sekelas biasa, mereka juga mantan pacar. Biasanya di pagi hari, pekerjaan Rinai belum cukup sibuk. Ia hanya menyortir dokumen-dokumen kemarin, mengarsipkan, dan menyediakan lembar SPK baru untuk hari itu. Lalu, ia akan memeriksa tumpukan buku servis yang belum sempat diantar, mengingatkan salesman untuk segera mengantarnya. Buku servis harus diikutsertakan setiap kali pengantaran motor, bila ada yang tertinggal, kemungkinannya karena penjualan manual, dimana tidak ada penginputan sistem saat pengantaran, atau ada kendala di buku service-nya itu sendiri. Setiap salesman wajib bertanggung jawab penuh terhadap pemenuhan setiap hak dan kewajiban konsumen. Bila konsumen tidak puas, itu bisa menjadi bahan briefing mereka di pagi hari. Pagi itu, seorang konsumen datang mendekat. Ia tinggi, tampan dan auranya penuh vitalitas muda. Ia nyengir dengan ramah kepada Rinai. Rinai terdiam sesaat. Kok rasanya familiar? "Apa kabar, Nai?" Rinai mengernyit. "Birai?" Rinai berkata ragu-ragu. Birai terbahak. "Iya." Lesung pipinya muncul saat ia tersenyum. "Ngapain di sini?" Rinai bingung. Birai melambai-lambaikan copy-an SPK berwarna merah yang diberikan kepada pelanggan. "Ambil STNK." "Oh," Rinai berseru, akhirnya tanggap. "Kalau ambil STNK hanya perlu KTP." Rinai berpikir sebentar, lalu membolak-balik isi tas selempang yang ia gunakan. Beberapa saat, ia menyerahkan kartu identitasnya. "Sejak kapan kerja di sini, Nai?" Birai masih tersenyum cerah menatap Rinai. Rinai sedang menunggu loading pemrosesan data konsumen di komputernya melirik, "Setahunan." "Oh …" Birai mengangguk-angguk. Bahasa tubuhnya santai dan ramah. "Sehat, kan?" Rinai mengangguk dan menjawab sekenanya, "Cukup baik akhir-akhir ini." Setelah beberapa saat, data di komputer Rinai akhirnya terbaca. "STNK udah diambilin sama salesnya, nih." Birai terkejut. "Hah? Kapan? Emang bisa ya diambilin sales?" Rinai menjelaskan dengan cepat, "Biasanya, saat STNK datang admin bakalan melakukan penginputan di portal. Untuk setiap STNK yang diinput, portal secara otomatis akan mengirimkan pesan ke nomor yang disertakan konsumen saat pembelian. Kemarin udah dapat pesannya?" "Udah," Birai mengeluarkan teleponnya. "Mungkin sebulan yang lalu dapat pesan yang mengingatkan STNK sudah bisa diambil. Cuma karena kemarin ada libur semester, aku pulang kampung. Ini baru balik lagi." Rinai mengangguk. "Nah, untuk STNK selain di jemput juga bisa diantar. Yang bertanggung jawab mengantar adalah salesmannya. Biasanya, setelah satu bulan STNK tidak kunjung dijemput, kami akan berinisiatif untuk menugaskan salesmannya mengantarkan langsung ke rumah konsumen." "Jadi, gimana? Apa dititipkan sama tetangga atau ditinggal gitu aja?" "Enggak. STNK harus diserahkan langsung kepada pemesan, tidak dapat diwakilkan bahkan oleh keluarga," tutur Rinai. "Dari riwayat di sini, STNK diserahkan ke salesman baru kemarin. Mungkin salesmannya belum sempat antar atau telepon." Rinai mengambil teleponnya. "Bentar aku hubungin salesmannya dulu." Birai menunggu dengan patuh. Setelah beberapa dering, panggilan terhubung. "Halo, Bang, Rinai mau update-an STNK yang kemarin diserahin. Apa udah diantar?" "… iya, atas nama Birai Angkasa." "Belum diantar, kan? Konsumennya lagi di dealer, nih." "Ohh, sebentar." Rinai menyela panggilannya dan bertanya kepada Birai. "Salesnya bilang mereka lagi di gudang untuk jemput unit. Gudang kami gak begitu jauh, tapi proses pengambilan motornya mungkin bakal makan waktu. Satu jam lagi dia sampai ke dealer. Biar nanti jam makan siang dia antar ke rumah, gimana?" Birai berpikir sejenak. "Gak usah, aku juga lagi servis motor, biar di tunggu aja." "Oh, ya udah kalo gitu." Ia kembali berbicara di telepon, dan mengulangi kata-kata Birai. Setelah menyelesaikan masalah ini, Birai kembali ke ruang tunggu yang disediakan untuk konsumen yang melakukan servis. Ruang tunggunya terletak di bagian belakang dealer, ada lorong yang menghubungkan area showroom dan area bengkel. Satu jam kemudian, Bang Tegar, salesman yang tadi ia telpon kembali. Ia langsung mendekati Rinai. "Mana konsumennya?" Rinai melirik sekilas, jari-jarinya menari di atas keyboard. "Di ruang tunggu. Lagi servis motor." "Aku antar langsung ke sana aja." Dia berlalu pergi. Tak sampai lima menit kemudian ia kembali, masih dengan memegang STNK baru. "Orangnya udah pulang, Nai. Dia ada keperluan jadi buru-buru pulang." "Terus gimana?" "Dia bilang titipin sama kamu aja, sore ini dia jemput," jelas Bang Tegar sambil menyerahkan STNK Birai. Rinai mengerutkan kening. Kenapa gak langsung minta diantar aja, sih? STNK baru sangat tidak nyaman untuk disentuh. Itu licin dan berdebu. Jika Rinai memegang beberapa kali lagi, rasa padat yang tidak nyaman akan mengumpul di bantalan jari-jarinya, menempelkan warna hitam yang kotor. "Oke, nanti aku konfirmasi kembali ke dia." Rinai memasukkan STNK ke dalam lemari. Bang Togar melambai sebagai tanggapan. Ia melangkah pergi, mungkin untuk membantu driver menurunkan motor yang baru mereka jemput dari mobil. Sorenya, Birai tidak kunjung datang bahkan saat dealer hampir tutup. Rinai memutuskan untuk mengirimi Birai pesan. Ia menarik data Birai yang ada di komputer dan mengirim pesan ke nomornya. [Birai : Maaf Nai, masih di kampus. Rinai bisa nunggu gak? Gak lama kok.] Rinai semakin bingung. Birai masih kuliah? Dia dan Birai seumuran. Mereka sudah 24 sekarang. Apa Birai gap year? Birai dan Rinai adalah teman sekelas saat SMA. Bukan hanya menjadi mantan teman sekelas biasa, mereka juga mantan pacar. Hubungan mereka sangat baik waktu itu, dan putus juga baik-baik. Setelah kelulusan, Birai memutuskan pulang kampung, itu lah alasan Rinai agak terkejut saat melihatnya kembali ke Kota Pekanbaru. Rinai membalas dengan lugas. [Rinai : Oke.] Bukan karena Rinai seluang itu untuk menunggu Birai, bukan juga karena ia ingin bertemu mantan pacarnya lagi, tapi adik laki-lakinya, Derai, sudah mengabari bahwa dia akan terlambat menjemput Rinai. Karena ia masih akan menunggu Derai, sekalian saja menunggu Birai. Karyawan yang lain sudah pada pulang, menyisakan Rinai dengan bagian kasir yang selalu pulang terakhir. Membunuh waktu, ia mencoba mencoret-coret buku untuk merumuskan sinopsis naskahnya. Pintu rolling dealer sudah ditarik, meninggalkan celah kecil yang muat seukuran tubuh manusia. Ruangan dealer terasa lebih gelap karena beberapa lampu sudah dimatikan. Sudah lewat jam enam tapi baik adik maupun mantan pacar ini, tidak ada yang datang. Rinai sungguh jengkel. Lima belas menit kemudian, sesosok bayangan berlari kencang ke dalam dealer. Ia berhenti di depan meja Rinai, terengah-engah. "Maaf banget, Nai. Motor pakai acara pecah ban segala di jalan." Birai duduk di kursi, dadanya turun naik dengan cepat. "Udah lama, ya? Aku antar pulang sekalian, yuk." "Gak masalah, aku dijemput Derai." Rinai menyiapkan berkas serah terima. Birai menyelesaikan proses serah terima dan menatap Rinai. "Udah gelap. Kirimin aja Derai pesan, bilang aku yang antar kamu pulang." Birai bicara dengan santai, seakan tidak ada yang salah dari kalimatnya. Saat mereka bersama, Derai dan Birai memang sempat berkenalan. Setiap kali Birai datang menjemput Rinai di malam minggu, Derai selalu keluar untuk mengantar dan menunggu Rinai kembali, bertingkah seperti seorang ayah yang khawatir pada putrinya. Rinai menghembuskan napas. Ia mengirim pesan kepada Derai untuk memeriksa lokasinya. [Derai : Masih belum, Kak. Atau mau aku pesanin ojek online? Kayaknya masih lama ini, masih ada satu motor lagi.] Derai bekerja sebagai mekanik di bengkel motor di luar. Dia memang sudah bilang tadi pagi kalau salah satu rekannya tidak masuk, dan mungkin agak terlambat untuk pulang hari ini. Siapa kira maksud 'terlambatnya' bisa hampir dua jam. [Rinai : Gak perlu. Aku nebeng teman.] [Derai : Sip.] "Yaudah, ayok." Rinai menarik tas dan memberi isyarat kepada Birai. "... Oke? Derai nggak jemput? Sip, ayo pulang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD