BAB 6 : Memangnya Rinai sesibuk apa sampai tidak punya waktu untuk menulis?

1193 Words
BAB 6 : Memangnya Rinai sesibuk apa sampai tidak punya waktu untuk menulis? Birai menyalakan sein kiri, dan menepikan motor ke warung bakso. Warung bakso itu terletak tidak jauh dari rumah Rinai. Sudah buka puluhan tahun sampai menjadi legenda sendiri. Dulu waktu pacaran, mereka sering datang ke sini untuk makan. "Makan dulu, ya, aku yang traktir. Hitung-hitung udah mau nungguin tadi," ucap Birai. Ia mengangguk sekali ke Rinai sambil melangkah masuk. Duduk di meja kayu yang terasa nostalgia, Birai bertanya, "Mau pesan apa, Nai?" Rinai sedang sibuk memandang kemana-mana. Merasakan suasana aneh memadat di hatinya. Ini bukan pertama kalinya ia datang setelah putus, tapi datang ke sini bersama Birai lagi, terasa agak canggung. "Kayak biasa aja," ujar Rinai sembarangan. Rinai awalnya sudah menolak ajakan Birai, tapi Birai bersikeras. Dia bilang, ini kompensasi karena sudah membuat Rinai menunggu lama. Huft … memutuskan pulang dengan mantan pacar ini benar-benar membuatnya gelisah. Seharusnya tadi dia ngotot nungguin Derai. Rinai cukup terkejut saat pesanan mereka datang, dan Birai benar-benar memesan persis seperti yang biasa dia makan. Mereka sudah putus selama tujuh tahun, apa masih perlu mengingat hal-hal tidak penting seperti ini? "Wah, emang paling mantap. Nggak ada yang bisa ngalahin kelezatan bakso di sini. Aku udah coba di banyak tempat lain, bahkan sampai di kampung, ini masih yang paling juara!" Sambil menyeruput kuah, Birai tak henti-hentinya melontarkan pujian. Birai melihat Rinai tak menanggapi, kembali bersuara, "Udah lama ya kita gak datang ke sini bareng. Terakhir kayaknya sebelum lulus SMA deh?" Telinga Rinai bergerak-gerak. Serius nih, pengen mengenang masa lalu? "Rinai masih sering datang ke sini gak setelah lulus?" Implikasinya jelas, setelah putus dari aku kamu masih berani gak datangin tempat-tempat favorit kita saat pacaran? Rinai tidak kenal takut, membalas dengan langsung, "Sering." Birai berhenti sejenak, "Tapi di bungkus, kan? Makan di rumah?" "Enggak, makan di sini kok." Sendok Birai oleng, tak sampai satu detik, kemudian kembali stabil. Ia menyendok potongan daging yang bulat ke dalam mulut. Birai menelan makanan di mulutnya terlebih dahulu sebelum bertanya kembali, "Oh, sama siapa?" "Derai." Sehelai benang yang tadi tersangkut di hati Birai di tarik keluar, menyisakan rasa lapang dan ruang tambahan untuk bernapas. Ini sesuai dengan karakter Rinai yang introvert. Ia tidak memiliki banyak teman, sebagian besar waktu, ia hanya pergi kemana-mana berdua dengan adiknya. Dulu, saat Birai pertama kali mengejarnya, ia benar-benar jungkir balik untuk bisa merobohkan tembok tinggi yang Rinai bangun untuk menolak kehadirannya. Setelah bekerja keras setahun penuh, ia akhirnya bisa menjadi sahabat Rinai. Butuh waktu setahun lagi sampai akhirnya dia bisa mengganti status dari; orang asing => teman => pacar. Sadar diri karena terkesan cuek kepada Birai, Rinai mulai mencari topik. "Tadi siang ke kampus ngapain? Kuliah?" "Iya." Mata Birai cerah. "Kan aku juga udah jelasin kemarin pulang kampung untuk libur semester. Nah, sekarang udah masuk lagi." "Hmmm …." Rinai mengangguk-angguk. Birai melanjutkan, "Aku sekarang udah semester enam. Gak lama lagi bakalan lulus." "Semester enam?" "Yup." "Berarti kamu udah lama dong balik ke Pekanbaru? Kok gak pernah ngabarin?" Rinai melirik, entah kenapa dia agak merasa kesal. Birai tercekat. Dia berkata kaku dan lemah "Nomor kamu udah gak aktif." "Kan rumah masih sama." Bukannya Birai tidak ingin menghubungi Rinai, tapi dia tidak tahu bagaimana caranya menghubungi tanpa rasa bersalah. Mereka putus karena Birai balik ke kampungnya setelah lulus. Kedua orang tuanya di kampung, di sini dia menumpang tinggal di rumah pamannya. Birai memiliki seorang ibu yang terbaring sakit dan lemah, seorang ayah yang sudah tua, dan ada 4 orang adik yang masih sekolah. Ayahnya mengolah kebun sendiri, dari sana cukup untuk makan dan biaya sekolah, tapi untuk kuliah, ayahnya hanya bisa meminta maaf kepada Birai, mereka mungkin tidak mampu membiayainya. Jadi Birai dengan kebesaran hati memutuskan untuk pulang kampung terlebih dahulu. Dia bisa membantu ayahnya untuk sementara waktu di kebun sambil mencari pekerjaan lain. Jikalau nanti ada kesempatan, dia tetap ingin melanjutkan kuliah. Sekitar 3 tahun yang lalu akhirnya dana tabungan kuliahnya sudah cukup terisi. Ditambah ia bisa bekerja sambil kuliah, Birai memutuskan kembali ke Pekanbaru. Saat itu ia sangat bersemangat menghubungi Rinai hanya untuk mendapati nomor yang ia hapal di luar kepala itu sudah tidak aktif lagi. Ia ingin datang berkunjung, tapi tidak mampu menemukan keberanian. "Ya udah, sih. Nggak wajib juga untuk hubungin aku. Ini gak kayak kita masih pacaran dan kamu harus ngabarin hal-hal yang kamu lakuin ke aku." Hati Birai tersengat. Mereka putus karena Rinai tidak mau LDR. Rinai berpikir mereka masih terlalu muda. Banyak kemungkinan tidak terduga di masa depan. Dari pada mempertahankan cinta masa muda yang tidak stabil, lebih baik fokus untuk meningkatkan nilai diri masing-masing dan bertumbuh. Atmosfer canggung menggantung di udara, membekukan sepasang mantan kekasih yang sudah tidak bertemu selama tujuh tahun. Rinai jadi tidak enak, bukannya dia ingin bersikap sinis, tapi entah kenapa hatinya kesal saat tahu bahwa Birai tidak mencoba menghubunginya selama tiga tahun ini. Namun kenapa dia harus kesal? "Rinai masih menulis?" Birai mencoba mencairkan suasana dengan mangalihkan topik. Rinai merasa ditusuk di jantung. Apakah harus bertanya langsung seperti itu tanpa basa-basi? Ini titik sakitnya, tahu. Titik sakitnya! Rinai menggeleng. "Tidak punya cukup waktu." Alis Birai naik sebelah. "Tumben? Dulu kayaknya gak pernah lepas dari pena dan buku. Semua buku tulis Rinai gak ada yang gak pernah keisi sama karangan atau puisi. Bahkan buku tulis aku juga gak luput, kan." Dia tertawa. Rinai mendesah. Dia ingat bagaimana tangannya tak bisa berhenti mengotori buku-buku polos itu dengan cerita-cerita bodoh, puisi tidak jelas, dan kata-kata mutiara yang melantur. Bukan hanya bukunya atau buku Birai, kadang buku teman semejanya juga jadi korban. Tangan nakal Rinai benar-benar tidak bisa diam. "Tapi sekarang udah gak punya waktu lagi. Nggak sempat buat menulis." "Emang kerja di dealer sesibuk apa sih?" Rinai juga ingin tahu. Emang pekerjaannya sesibuk apa sih sampai dia tidak punya cukup waktu? Rinai cukup sering lembur, tapi itu selalu di tanggal-tanggal tertentu. Seperti awal bulan atau pertengahan bulan. Itu adalah waktu-waktu dimana laporan bulanan dan berkas klaim dealer harus diserahkan. Sisa waktunya, senormal karyawan lain. Memangnya Rinai sesibuk apa sampai tidak punya waktu untuk menulis? "Birai juga kerja sekarang," Birai melanjutkan ucapannya saat Rinai tidak kunjung memberi respon. "Sambil kuliah? Kerja dimana?" "Jadi editor." Alasan Birai jatuh cinta pada Rinai saat itu sederhana, tulisan-tulisan Rinai yang menakjubkan sudah menyentuh relung hatinya. Mengendap di bagian terdalam dari jiwanya. Menyulut rasa manis dan kebahagiaan yang melimpah ruah. Lewat tulisan-tulisan itu, ia jatuh cinta kepada Rinai. Lewat Rinai, ia jatuh cinta dengan sastra. Birai mungkin tidak berbakat menjadi penulis. Baginya membuat satu kalimat indah lebih sulit dibanding harus belajar menyulam. Namun dia juga suka membaca. Ia membaca banyak karya-karya bagus selama ini. Akhirnya ia memutuskan untuk mencoba menjadi editor. Rinai tercengang. Seketika ia berseru dengan gembira, "Serius? Keren banget. Editor di mana?" Melihat suasana hati Rinai yang naik, Birai tidak menahan senyumnya. "Penerbitan minor. Tapi cukup bagus untuk sejenisnya." Rinai tidak menahan perasaan bahagia yang meluap. Betapa menyenangkan mendengar ini. Rasanya, setiap kali ia bisa menarik satu demi satu orang-orang untuk menyukai sastra, untuk terlibat dalam bidang sastra, ia akan merasakan perasaan kemenangan besar. Mungkin Rinai bukan alasan Birai untuk menjadi editor, tapi memiliki seseorang yang dekat dengannya, dan bekerja di bidang kepenulisan yang ia cintai, ia tak bisa untuk tidak berbangga hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD