BAB 7 : "Gak ada seorang profesional yang terlahir dari pemalas."

1151 Words
BAB 7 : "Gak ada seorang profesional yang terlahir dari pemalas." Mendapat kabar bahwa Birai menjadi editor membuat suasana hati Rinai menjadi lebih ringan. Ia mulai mengobrol dengan mudah dan santai. "Aku kemarin daftar lomba menulis. Bisa dibilang nekat, soalnya belum ada ide sama sekali." Mereka sudah berpindah tempat. Birai mengatakan mau beli jagung bakar untuk di bawa pulang untuk sepupunya yang masih SD. Duduk di kursi plastik di pinggir jalan, Rinai curhat dengan bebas. "Sejak lulus kuliah, aku sibuk kerja. Bisa dibilang hampir gak pernah nulis sama sekali. Bukannya gak ada waktu, tapi entah kenapa tiap sampe di rumah rasanya capek banget. Lelahnya bukan cuma fisik, tapi juga otak." Birai menyimak dengan serius, tapi tetap tidak menyela. "Aku udah coba untuk menulis, entah kenapa selalu terhenti setelah beberapa chapter. Saat mau lanjut lagi, chemistry-nya udah hilang. Gak bisa nemuin lagi 'perasaannya'." Lampu-lampu di jalanan yang menyebar layaknya bintang, terpantul jelas di bola mata Rinai, membuat gradasi warna indah yang menarik. Suara Rinai jernih dan indah, tapi terisi penuh dengan ribuan keluhan dan ketidakadilan. "Meski begitu, di dalam hati, aku selalu percaya bahwa suatu hari nanti aku pasti akan berhasil, aku pasti bisa menjadi penulis yang hebat seperti yang aku impi-impikan," tutur Rinai yakin. "Rinai pasti bisa," timpal Birai. Kalimat yang singkat, padat, dan cukup untuk menaikkan parameter kepercayaan diri dan harapan gadis yang duduk di depannya. Rinai melanjutkan, "Menjadi penulis berarti memiliki jalan yang tak terbatas di masa depan. Namun itu semua tidak mudah. Ada harga yang harus dibayar. Latihan, kerja keras, pengulangan. Semua harus dilakukan berkali-kali sampai terpantri ke dalam tulang. Baru bisa menjadi bebas. Baru bisa menulis dengan lepas." "Pengulangan, latihan, dan banyak membaca. Hal-hal ini mata pelajaran wajib penulis," kata Birai. "Tanpa ini, menulis akan terasa menyeret-nyeret. Seperti memasang besi berat di kaki, meski tidak mengikat kita untuk diam di tempat, tapi juga tidak membebaskan kita untuk berlari. Dengan latihan, pengulangan, dan banyak membaca, penulis akan memiliki sayap imajinatif yang bisa membuatnya melayang dan terbang bebas sepenuhnya." Rinai menanggapi, "Mungkin, itu yang tidak aku miliki. Waktu untuk melakukan itu semua. Jadi saat aku mulai menulis kembali, hal pertama yang mengganggu adalah; bagaimana cara supaya kalimatku bisa berhamburan dengan bebas tanpa terasa seperti canggung?" Cahaya lampu motor tumpang tindih dengan lampu jalan, memercikan sinar dengan kilau cahaya masing-masing. Di atas kepala, langit malam membentang lebar ke ujung bumi. Tidak ada bintang hari ini. Tapi di depan Birai, ada dua bintang yang dulu paling cemerlang, dan sekarang sedang meredup. "Itu penting, jelas. Gak ada seorang profesional yang terlahir dari pemalas." Birai mengalihkan pandangan menatap kendaraan yang lalu lalang. "Kita sebagai manusia membuat aturan, membuat batasan. Ada sekelompok rules yang harus diikuti untuk menjadi ini atau menjadi itu." "Nai, kadang menulis cuma perlu menulis. Nggak perlu mikirin apakah tulisan kita bagus, nggak perlu khawatir apakah tulisan kita akan diterima atau enggak." "Aku sudah bertahun-tahun menjadi editor. Selama ini, aku bertemu banyak penulis dengan berbagai jenis karakter. Tidak jarang kemampuan mereka hanya biasa saja tapi karya mereka meledak. Kenapa? Karena mereka tidak memikirkan hal-hal ini sebelum memulai kalimat pertama." "Malah kebanyakan, penulis dengan niat kuat seperti kamu lah yang akan terhenti di tengah jalan. Kasusnya sama. Tidak percaya diri. Tidak cukup percaya dengan apa yang kamu tulis." Rinai membiarkan Birai mengomel. Ia hanya menunduk menatap ujung kaki meja plastik. "Sebagai editor, aku nggak bisa kasih saran apapun ke penulis yang memiliki masalah keraguan terhadap diri sendiri, karena biasanya mereka juga udah tahu apa yang paling mereka butuhkan. Kamu juga udah tahu, kan, apa yang paling kamu butuhin?" Rinai tahu. Yang paling dia butuhkan adalah tekad. Atau jika dia begitu pecundang untuk memiliki tekad, ia bisa nekat. Seperti yang ia lakukan saat mendaftar ikut lomba. Masalah terbesar Rinai dalam menulis adalah ketidak percayaannya terhadap kemampuannya sendiri. Selama hal ini tidak bisa diatasi, hanya akan menjadi tanggul di setiap belokan. Bukan masalah besar, tapi setiap lonjakannya, akan membuat Rinai terguncang sampai mempertanyakan diri sendiri. "Yang paling dibutuhin oleh seorang penulis adalah kesempatan untuk menyelesaikan cerita, Nai. Beri diri kamu kesempatan untuk menulis sampai selesai, baru lihat responnya? Apakah akan disukai, apakah akan dibenci? Kamu akan mendapatkan hasil hanya setelah kamu menyelesaikan soal." "Selama belum selesai, apa yang bisa dinilai?" Dada Rinai sesak. Seperti jutaan balon menyerbu mengisi paru-parunya dan membuat ia kesulitan bernapas. Rinai tahu dia harus menyelesaikan tulisannya, tapi tulisan apa yang harus diselesaikan saat di seribu kata pertama, Rinai terus membenci apa yang ia tulis. Tidak punya waktu untuk menulis, tidak punya ide yang luar biasa, dan tidak menyukai tulisannya sendiri. Semua ini sudah cukup untuk membuat Rinai melemparkan naskahnya ke laci bagian paling bawah meja, dan lupakan sampai berdebu. "Rinai tidak punya waktu untuk menulis. Tidak punya waktu, atau tidak mau meluangkan waktu karena tidak merasa cukup mampu?" Mungkin yang terakhir. Birai selalu seperti ini. Tajam dan langsung. Sudah 7 tahun tidak bertemu ia tak menganggap Rinai orang asing. Tidak bertingkah segan sama sekali saat ia menegur. Ini juga yang membuat Rinai menyukainya. Rinai selalu butuh untuk 'dipecut', agar otaknya yang tidak normal bisa kembali berfungsi dengan benar. "Para penulis yang aku kurasi karya-karyanya, tidak semua memiliki bakat sehebat Dewi Lestari atau Tere Liye. Mereka adalah sekelompok generasi penulis baru yang menulis untuk menikmati hidup dan kesenangan. Hasilnya apa? Mereka berhasil jadi penulis." Birai menatap Rinai. "Jangan takut, Rinai pasti bisa." Rinai pulang kerumah dalam keadaan mengawang malam itu. Pikirannya berterbangan di angkasa, dan tubuhnya seperti memiliki pengaturan default untuk kebiasaan standar. Ia tidak yakin bagaimana ia turun dari motor, masuk kamar, dan … apakah dia sudah mengucapkan terima kasih kepada Birai? Dalam keadaan setengah kesurupan, ia membuka dokumen naskah lomba. Obrolan bersama Birai malam ini mengangkat beberapa jangkar di hatinya. Benar, itu masih Birai. Yang bisa memberinya pandangan luas yang tak terjangkau. Menarik kembali hal-hal yang ia tepikan, dan menyebarkannya di atas meja. Di urai satu persatu. Rinai bagaikan sekuntum bunga matahari kecil di bawah langit mendung. Tertunduk lesu dan kesepian. Tampak sedih dan ditinggalkan. Hari berlalu dan mendung tak kunjung pergi. Ia berpikir tidak akan melihat sinar matahari lagi selamanya. Sampai suatu hari, dari celah awan, seberkas sinar menembus dan terbentang lurus ke arahnya. Memberinya sedikit kehangatan, kepercayaan, dan keyakinan. Rinai tidak pernah sibuk kerja. Ia masuk jam 8 dan pulang jam 7. Ia juga tak selalu lembur setiap malam. Hanya sesekali, tapi tak pernah lebih dari empat hari dalam sebulan. Rinai hanya benci dengan tulisannya. Namun ia tak boleh mengatakan dengan jelas. Karena menulis adalah sehelai harapan yang ia genggam untuk tetap yakin pada masa depan. Jadi selama ini, dia selalu memberi alasan kepada diri sendiri bahwa ia sibuk. Ia sibuk, dan tidak punya waktu untuk penulis. Tulisannya baik-baik saja, hanya kurang di asah. Tapi sekali lagi, dia hanya sibuk. Mengakui kelemahan diri membuat perasaan menjadi lebih nyaman. Gundukan keluhan diratakan ke tanah, ternyata tak semengerikan sebelumnya. Hanya sedikit mengganggu, tapi tak bisa menyakitinya sama sekali. Hari berganti, musim berubah. Keluhan ini akan terbenam ke dalam tanah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD