"Oke, mulai sekarang kalau ada cowok bilang mau fokus belajar atau sibuk belajar, aku nggak akan percaya lagi."
Aku memaksakan diri buat tersenyum dengar omongan Dira. Apalagi ketika dua orang itu sampai di meja kami.
Tadinya aku berharap kami nggak akan ketemu, tapi saat aku nyaris berpaling, saat itu juga pandanganku ketemu sama sorot Mas Abhi. Dan dia langsung melambaikan tangan, yang kubalas dengan senyum samar.
"Kalian dari mana?" tanya Mas Abhi sembari ambil tempat kosong di sampingku, sementara temannya duduk di samping Dira.
"Dari tadi di sini aja," sahut Dira nggak peduli.
Aku kembali tersenyum, tapi kali ini buat minta maaf terutama ke temannya Mas Abhi karena jawaban ketus Dira.
"Tadi habis nemenin Dira beli perlengkapan buat pelajaran Prakarya," jawabku yang langsung dapat tatapan sewot dari Dira.
"Ini mau makan?" tanya Mas Abhi lagi, seolah nggak paham ekspresi nggak bersahabat yang Dira tunjukin ke Mas Abhi dan temannya..
"Nggak, mau pulang." Lagi-lagi Dira menjawab dengan ketus.
Berbeda denganku, Dira adalah sosok yang nggak pernah bisa nyembunyiin ketidaksukaannya pada orang lain, atau menutupi suasana hatinya.
Dira punya dua sisi berlawanan yang sama kuat.
Di satu sisi, Dira anak manis, berhati lembut dan penuh pengertian. Nyaris nggak pernah berprasangka buruk ke orang lain, persisi Ibu. Di sisi lain, dia sosok yang selalu to the point, dan lugas menyampaikan apa yang ada dibenaknya, kalau ini aku yakin dia dapat dari Ayah.
"Mau bareng sama Mas? Tapi Mas mau mampir sebentar ke Departement Store," tawar Mas Abhi yang terlihat tulus seperti biasanya.
"Ng-"
"Nggak usah, aku mau pulang sekarang. Ayo Kak!" ajak Dira memotong omonganku sambil bangkit dari duduknya.
Padahal frenchfries yang dia pesan masih tersisa setengah. Nggak biasanya dia ninggalin makanan gitu aja, karena kebiasaan kami di rumah nggak dibolehin nyisain makanan untuk dibuang.
"Kok Dira buru-buru?" Mas Abhi menatap Dira heran, sementara aku bingung mau bilang apa lagi buat ngasih alasan atas sikap Dira..
"Kalian belum kenalan juga loh sama temen Mas," lanjut Mas Abhi yang disambut raut nggak suka dari Dira.
Aku yang sudah berdiri menyusul adikku, mau nggak mau ngulurin tangan ke teman Mas Abhi.
"Samita," kataku seraya mengulurkan tangan, berusaha buat tetap ramah meski sejujurnya aku nggak suka.
"Mentari," balas cewek yang terlihat anggun dengan rambut hitam, panjang dan terurai indah.
"Sadira," ucap Dira ketika tangan Mbak Mentari sudah beralih ke depannya.
"Mentari."
"Teman atau pacar Mas Abhi?" todong Dira tanpa ragu.
Wajah Mbak Mentari langsung memerah. Sementara Mas Abhi mengusap tengkuk pelan.
"Kayaknya pacar ya? Oke kami nggak akan ganggu, selamat pacaran!" setelah itu Dira narik tanganku cepat dan membawaku pergi dari sana.
Aku nggak sempat lagi menoleh ke mereka berdua, karena diam-diam aku sedang sibuk menghibur hatiku yang patah untuk kedua kali.
"Apa aku harus bilang Dek Cakra? Biar ditonjok itu muka Mas Abhi."
Nggak menyahut, aku pasrah saja mengikuti langkah Dira yang terasa nggak sabaran.
Dira marah.
*
*
*
"Kok baru bilang?"
"Tadi lagi repot sama praktek. Mentari juga lagi nggak enak badan, jadinya Mas bawa ke klinik dulu dan baru ingat kalau belum ngabarin Jani."
Diam-diam aku membuang nafas panjang.
Sementara sebagian dari badanku mulai basah karena atap halte nggak melindungi sepenuhnya dari hujan yang mulai turun.
"Dek Jani masih di sekolah kan? Pesen taksi dan minta sopirnya masuk ke sekolah ya biar nggak sampai basah."
Tapi sebagian seragamku sudah basah. Bahkan ujung-ujung sepatuku sudah terasa lembab.
"Atau Mas pesenin taksi dari sini ya?"
"Nggak usah, aku pesen sendiri aja."
"Maaf ya Dek, Mas beneran lupa tadi."
"Nggak apa-apa," sahutku dengan suara yang kujaga agar tetap terdengar senormal mungkin. "Udah dulu ya Mas, aku mau pesan taksinya sekarang, sebelum kemalaman sampai rumah."
"Iya, hati-hati ya pulangnya. Kabari Mas kalau udah nyampe rumah."
"Iya, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Setelah sambungan terputus, aku mengamankan ponsel ke dalam ransel, bersiap naik bus yang samar sudah terlihat menyalakan sign untuk menepi ke halte.
Perjalanan menuju rumah lebih lama dari biasanya, karena hujan yang deras dan kendaraan-kendaraan yang melaju dengan hati-hati. Ada beberapa jalan tergenang, saking besarnya debit air hujan kali ini.
Sampai di halte dekat rumah, aku nggak langsung pulang. Hujan masih terlalu deras untuk kuterobos, jadinya aku duduk dengan seragam yang sangat lembab. Badanku rasanya juga mulai menggigil karena kedinginan.
Lebih dari 15 menit, nggak ada tanda-tanda hujan akan reda sementara aku benar-benar sudah kedinginan.
Ponselku berbunyi, kupikir dari Mas Abhi yang mengecek keberadaanku, tapi ternyata Dek Cakra yang mengirim pesan. Dia bilang orang-orang di rumah sudah cemas menunggu kepulanganku, karena hujan yang begitu deras.
Lewat balasan pesan yang kukirim, kukabarkan kalau mereka nggak perlu cemas, aku sudah di halte dekat rumah dan menunggu hujan agak reda baru akan jalan.
Sekitar 7 menit kemudian, kulihat mobil milik Ayah menepi di depan halte.
Dengan tergopoh, Ayah turun sambil berpayung.
"Ayah!" seruku segera bangkit untuk mencium punggung tangan Ayah dan memeluk beliau.
"Kenapa nggak minta jemput Ayah dari tadi?" tanya Ayah yang jelas sekali terlihat khawatir.
"Nanggung, akunya juga udah keburu di halte sih tadi sebelum hujan," dustaku.
"Ayo," Ayah memelukku dari samping dengan cukup erat, seolah ingin melindungi dari hujan yang menakutkan sore ini.
Saat kami jalan menuju mobil, bisa kulihat, tubuh Ayah basah karena payung yang beliau bawa nyaris seluruhnya diarahkan padaku. "Tadi bukannya mau pulang sama Mas Abhi?" tanya Ayah ketika kami sudah di dalam mobil.
Aku membantu beliau mengeringkan rambut yang basah dengan tisu. "Mas Abhi sibuk praktek, jadinya Caca pulang sendiri aja."
"Lain kali, kalau Mas Abhi nggak bisa jemput, langsung telepon Ayah ya?"
Aku mengangguk, sementara Ayah mengusap kepalaku lembut.
Masih ada raut khawatir di wajah Ayah, dan aku merasa menyesal karena sudah berbohong sekaligus bikin beliau cemas.
"Sampai rumah, langsung mandi air hangat, biar nggak sakit," pesan Ayah mulai menjalankan mobil.
"Iya."
Ayah tersenyum dengan sepasang mata beliau fokus ke jalanan yang nyaris nggak nampak karena terhalang hujan.
"Ayah," panggilku dengan posisi sepenuhnya menghadap Ayah.
"Hmmm?"
"Caca sayang sama Ayah," kataku.
Ayah melirik, memberiku senyum terhangat beliau. "Apalagi Ayah, sayang banget sama Caca."
Senyumku melebar dengar jawaban Ayah. Meski sesungguhnya dalam hati ada kecewa yang nggak bisa aku sembunyikan.
Aku bukan kecewa karena Mas Abhi mendadak nggak jadi jemput. Aku justru kecewa, karena harus bohong sama Ayah tadi. Ditambah lagi, melihat Ayah sebegini repotnya gara-gara aku.
"Anak gadis Ayah," gumam Ayah dengan satu tangan beliau terulur ke puncak kepalaku sementara tangan yang lain masih memegang kemudi. "Bunda pasti bangga punya anak sebaik Caca."
Menggigit bibir karena haru yang meledak-ledak, sedetik kemudian aku menyondongkan badan, memeluk Ayah dari samping dengan sangat erat.
"Caca juga bangga, punya Bunda, Ayah dan Ibu yang selalu ngajarin Caca biar jadi anak baik."
Ayah terkekeh, lalu mengecup keningku beberapa kali tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan yang berkabut.
He is my first and true love.
***