-6-

1042 Words
"Kakak jelek tahu nggak!" Aku ngerjap, menatap Dira yang baru saja meledekku tanpa basa-basi, yang dengan santainya juga dia kembali melanjutkan aktivitasnya melipat-lipat kertas di tangannya. Dia paling suka mainan kertas lipat. Nggak heran kalau di rumah kami ada banyak kertas lipat yang sudah dalam bentuk beraneka ragam, karena dia memang sesuka dan sudah sejago itu buat bikin macam-macam bentuk. "Kenapa bilang Kakak jelek?" tanyaku balik. "Ngelamun gitu, sambil bibirnya cemberut, mana keningnya berkerut kayak nenek-nenek." Aku mendengkus geli dengar jawaban Dira. "Mbak lebih jelek dari Kakak tahu!" Sahutan Cakra yang ada di sebelah kiriku, sontak bikin aku harus nahan tawa, kalau nggak, mereka bakalan berantem, dan aku bakalan kewalahan buat berhentiin mereka. Sayangnya tebakanku benar, Dira langsung melempar Cakra dengan kertas warna hijau, yang sudah dilipatnya jadi bentuk katak. "Ngurusin orang aja sukanya!" tambah Cakra nggak peduli tanpa melihat Dira, terlalu sibuk dengan puzzlenya. Aku emang diminta orang tua menjaga adik-adik selagi beliau berdua pamit keluar karena ada undangan dari teman Ayah. Bunda Deli, yang sudah cukup lama tinggal dengan kami, kebetulan juga sedang menginap di rumahnya yang lama, ditemani sama mbak suster kenalan Ibu dan Ayah. "Kenapa nggak panggil Mas Abhi sih?" tanya Dira tiba-tiba. "Kan kalau ada Mas Abhi jadi rame." "Mas Abhi sibuk,” jawabku asal, padahal aku juga nggak tahu pasti apa yang lagi dilakuin Mas Abhi sekarang ini. "Sibuk apa? Praktikum?" tanya Dira lagi. "Memangnya Mbak tahu apa itu praktikum?" tanya Cakra balik sebelum aku sempat jawab pertanyaan Dira. Dia jelas sengaja nyindir Dira. "Memangnya kamu nggak pernah diajak ke lab buat praktikum biologi?" balas Dira pada Cakra dengan ekspresi meledek. "Sekolahmu terbelakang ya?" Cakra nggak nyahut, tapi tangannya dengan cepat ngambil kertas yang tadi dilempar Dira padanya, dan dilemparkannya balik. "Adek!" protes Dira sambil menghindar tapi sayangnya kertas itu keburu kena keningnya. "Biar nyadar, kalau Mbak sama aku sekolah di sekolah yang sama." Datar nada suaranya, tapi itu justru yang membuatku nggak bisa lagi nahan tawa. Apalagi ditambah Dira yang kelihatan sewot. Dira dan Cakra, memang jarang sekali pernah bisa akur kalau ketemu. Selalu ada saja yang jadi bahan perdebatan mereka. Tapi aku tahu, dibalik semua perdebatan mereka yang tanpa henti itu, sebenarnya mereka saling menyayangi satu sama lain. "Kakak telepon Mas Abhi dong!" Dira kembali bicara denganku dengan sorot berharap. "Kalau nggak bisa ke sini nggak apa-apa, yang penting bisa dengar suaranya Mas Abhi!" "Mbak naksir Mas Abhi ya?" tanya Cakra tiba-tiba yang membuatku terkejut karena ucapannya. "Masih kecil, masih SMP, nggak boleh naksir-naksiran tahu!" jawab Dira lugas. Kertas berwarna biru di tangannya sudah berubah bentuk jadi burung. Padahal dia pernah ngaku ke aku kalau suka Mas Abhi, meski aku tahu suka yang dia maksud bukan jenis suka seperti yang aku rasain, karena alasan Dira cukup menjelaskan suka seperti apa yang dia rasain ke Mas Abhi. "Terus?" "Biar Kakak nggak kangen Mas Abhi lagi." Rasanya aku pengen bikin Dira diem, tapi nggak tahu gimana caranya, karena memang beginilah dia. Meski sekilas dia terlihat seperti sosok yang nggak suka banyak bicara, tapi nyatanya kalau sudah buka mulut, nggak ada seorang pun yang bisa berhentiin dia, termasuk Ayah atau Ibu. Bahkan di depan Papa Syuja, sahabat baik Ayah yang menurutku sangat nyegenin, Dira tetap kelihatan tenang, kayak nggak ada takutnya sama Papa. * * * "Why orang dewasa itu ribet?" "Why anak kecil itu kepo?" balasku sambil tersenyum lihat adikku Dira ngerucutin bibirnya lucu. "Kalau emang suka, kenapa Kakak nggak bilang aja sih? Toh Mas Abhi nggak akan marah. Kemarin aja waktu aku bilang suka sama Mas Abhi, dia malah tertawa." "Kamu bilang apa?" tanyaku terkejut. "Suka," jawabnya lugas, "aku suka sama Mas Abhi. Dia lucu, pinter, nyenengin, suka bawain jajan kalau ke sini, terusnya lagi Mas Abhi juga ganteng, kayak Ayah." Harusnya aku biasa aja dengarnya. Bagaimanapun juga, ini bukan pertama kali Dira ngaku suka Mas Abhi, karena Mas Abhi lucu. Dibandingkan aku, Mas Abhi memang sering bikin Dira tertawa, wajar kalau dia bilang Mas Abhi lucu dan nyenengin. Sementara kalau sama aku, Mas Abhi kesannya agak serius. Yang sering dia tanyain selalu tentang sekolah dan teman-teman, sesekali dia nanyain hobi, tapi lebih seringnya ya itu tadi. Sampai kadang aku mikir Mas Abhi kayak ngambil alih peran Ayah sama Ibu yang justru lebih santai meski keduanya selalu mengontrol perkembangan akademik dan pergaulanku di sekolah. Yang bikin aku kaget tadi adalah, bahwa Dira berani ngomong ke Mas Abhi tentang yang dia rasain ke Mas Abhi. "Temenku aja di sekolah kalau suka sama cowok langsung bilang tuh, Kak,” adu Dira kemudian. Aku tersenyum kecut, anak-anak sekolah yang di bawahku jaman sekarang memang jauh lebih berani lagi dibanding jamanku dulu. Mengakui perasaan ke lawan jenis dianggap keren, apalagi kalau cewek yang lakuin itu duluan. Makanya nggak sedikit anak-anak yang bahkan masih belum cukup umur, tapi udah jalin hubungan layaknya orang dewasa. "Dira bisa janji sama Kakak?" "Janji apa?" "Dira kan tahu Kakak suka Mas Abhi," kataku coba menjelaskan, dan Dira terlihat menyimak baik-baik. "Jangan bilang siapa-siapa ya?" "Termasuk ngomong ke Mas Abhi?" tanya Dira menanggapi permintaanku yang kubalas dengan nganggukin kepala. "Ayah sama Ibu juga nggak boleh tahu?" Lagi-lagi aku mengangguk. "Terutama Ayah,” ujarku lebih spesifik. "Kenapa?" "Mas Abhi kan anak kesayangan Ayah. Kalau Ayah tahu, Kakak takut nanti Mas Abhi dimarahin Ayah, terus Kakak nggak boleh main sama Mas Abhi lagi.” Dira mencibir sebal. "Dulu waktu Mas Abhi punya pacar, Kak Caca sedih. Nanti kalo tahu-tahu Mas Abhi punya pacar lagi, Kak Caca mau sedih-sedih lagi?" Aku diam. Meskipun waktu itu Dira masih SD, dia tahu kalau aku pernah sedih gara-gara Mas Abhi punya pacar. "Kenapa nggak bilang aja sih? Nanti kalo Kakak yang jadi pacarnya kan, nggak bakalan sedih-sedih lagi." "Ayah bakalan tambah marah,” jawabku sambil menghela nafas pasrah. “Lagian, buat Mas Abhi, Kakak cuma dianggap adiknya, kamu tahu sendiri kan?" "Adiknya Mas Abhi ya Mbak Bia sama Mas Arsa! Kita ini cuma adik-adikan, Kak!" Dira menyahut cepat, dan aku refleks tersenyum geli mendengar kalimat Dira barusan, entah dia paham betul artinya atau sekedar nyeplos. "Pokoknya Dira harus janji, jangan bilang siapapun ya?" Sesaat setelah Dira mengiyakan, aku baru menyadari kalau mulai saat ini semua rahasiaku tentang Mas Abhi akan dipegang oleh adikku sendiri ... Guinea Sadira Aruna, si cantik yang mulutnya pedas dan nggak bisa dihentikan kalau udah ngomong. ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD