"Mas kenapa nggak mau jadi dokter yang kayak Bundaku aja?" tanyaku penasaran.
"Mas kan mau nolongin yang lagi sakit."
"Bunda juga nolongin orang, meski yang ditolongin udah meninggal, tapi kata Ayah dokter kayak Bunda juga jasanya besar."
"Mas tahu, tapi ... Mas nggak kayak Bunda Farah. Jangankan lihat orang mati beneran, lihat yang di film aja Mas nggak suka."
"Maksudnya takut?"
"Nggak suka Jani, bukan takut."
"Takut juga nggak apa-apa kok. Tiap orang kan pasti punya rasa takut, dan kata Ayah itu normal."
"Memangnya, kalau Jani takut apa?"
Aku diam sebentar. Memikirkan baik-baik apa yang paling aku takutkan selama ini.
"Dulu ... aku paling takut kalau ditinggal Ibu,” jawabku berat hati.
"Dulu?"
Aku mengangguk pelan. "Waktu belum ada Dek Dira sama Dek Cakra."
"Kenapa?"
"Soalnya dulu Ibu sama Ayah jarang bicara."
Saat mengatakan itu, kilasan masa kecilku tahu-tahu terlintas dengan sangat jelas. Aku emang paling takut kalau ditinggal Ibu dulu. Apalagi waktu aku diam-diam lihat Ibu nangis.
"Selain itu, ada lagi yang ditakuti?"
"Mmm, takut Ayah sama Ibu makin tua. Nanti nggak bisa main sama kami lagi."
Mas Abhi tersenyum sambil mengusap kepalaku. "Kan ada Mas Abhi yang nemenin main."
"Kan kalau punya pacar lagi, nanti Mas Abhi lupa main sama kami."
Mas Abhi langsung diam. Tangannya juga berhenti mengusap kepalaku.
"Kalau pacarannya sama Jani?"
Tubuhku rasanya langsung beku. Nggak ngerti apa maksud Mas Abhi ngomong kayak barusan.
*
*
*
"Ibu dulu nggak pernah pacaran?" tanyaku terkejut.
Apalagi waktu Ibu gelengin kepala, aku tambah kaget. Ayah aja pernah pacaran sama Bunda, masak Ibu nggak pernah?
"Kenapa emangnya?"
"Nggak tahu kenapa, Kak."
"Nggak ada yang ngajak Ibu pacaran ya?"
Ibu tersenyum mendengar pertanyaanku.
"Tapinya nggak mungkin juga," lanjutku sambil kembali mewarnai gambar di depanku. Meski sudah tambah besar, aku masih senang mewarnai gambar yang sudah jadi, atau gambar yang aku buat sendiri, atau gambar buatan Ayah.
"Apanya yang nggak mungkin, Kak?"
"Ibu cantik, baik hati, nggak suka jahatin orang, nggak mungkin kalau nggak ada yang ngajak Ibu pacaran kan?"
"Kalaupun ada, Ibu yang nggak mau pacaran."
"Kenapa nggak mau? Nggak ganteng kayak Ayah ya?"
"Memangnya Ayah ganteng?"
"Ibu suka bilang, Dek Cakra ganteng kayak Ayah kan?"
Seketika Ibu tertawa sambil mencubit pipiku gemas.
Aku suka lihat Ibu tertawa begini. Beliau makin kelihatan cantik kalau lagi bahagia.
"Terus, Kak Caca nanya gitu apa karena ada yang ngajak pacaran lagi?"
Aku diam. Teringat omongan Mas Abhi di bus sore itu.
"Kak?"
"Nggak ada," sahutku sambil gelengin kepala.
Memang nggak ada.
Omongan Mas Abhi, aku tahu dia nggak serius. Karena aku ingat, Mas Abhi selalu bilang kalau aku udah kayak adik sendiri. Dia nggak mungkin bohong. Sebab setelah putus sama Mbak Kalina, dia janji nggak akan pernah bohong ke aku lagi. Dan aku percaya.
Segampang itu memang buat orang-orang terdekatku buat kumaafin dan menangin hatiku kalau mereka sengaja atau nggak udah ngecewain aku.
*
*
*
Tahun terakhirku di SMP nggak ada yang istimewa. Meski setelah Mas Yudha ada beberapa teman cowok yang ngajak aku pacaran, tapi aku nggak mau. Aku lebih senang berteman daripada pacaran.
Mas Yudha yang udah lulus duluan, kemudian pamit bakalan pindah ke Bandung. Aku sempat lihat di peta, Bandung itu jauh dari Surabaya. Kata Mbak Ayik juga sama, Bandung lebih jauh ... dibandingkan Madura. Meskipun buat ke Madura harus nyeberang selat.
Sekali lagi, itu kata Mbak Ayik, tapi menurutku omongan Mbak Ayik benar juga.
Mas Yudha rajin bertukar kabar denganku di awal kepindahannya, tapi setelah beberapa bulan kontak kami terputus.
Aku menjalani hari-hari seperti biasa. Hanya saja, karena aku sudah makin besar, sudah ganti seragam putih biruku dengan seragam putih abu-abu, aku dapat tugas baru di rumah, nemenin adek-adek belajar.
Mas Abhi pun makin jarang ke rumah. Sibuk sama kuliah, praktek, ngerjain tugas-tugas juga. Sampai-sampai dia jadi sering pulang malam. Saking jarangnya main ke rumah, tiap kali akhirnya kami ketemu, kalimat pembuka Mas Abhi selalu sama.
"Dek Jani cepet banget besarnya?"
Dan aku cuma bisa tersenyum.
"Es krim rasa coklat."
Aku melihat tangan yang sedang terulur menawarkan es krim kesukaanku, sebelum kemudian mendongak dan lihat Mas Abhi tersenyum.
"Makasih," jawabku lalu dengan cepat mengambil es krim dari tangannya.
Mas Abhi langsung menyusul duduk di depanku dengan satu cup es krim rasa strawberry kesukaannya.
"Awas kena seragam." Mas Abhi mengingatkan yang kubalas dengan anggukan.
Aku emang masih memakai seragam putih abu-abu. Mas Abhi membawaku ke salah satu resto fastfood setelah menjemputku sekolah.
"Kuliahnya Mas udah selesai ya?"
"Belum."
"Terus? Kok malah jemput aku?"
"Buat ganti dua hari lalu, Mas udah janji jemput tapi terus ada tugas yang harus dikerjain kan waktu itu?"
Aku mengangguk, teringat dua hari lalu aku nunggu Mas Abhi cukup lama. Dia lupa kasih kabar, jadinya aku nunggu di depan sekolah sampai hampir 1 jam. Tapi aku nggak bilang kalau nunggu sendirian. Mas Abhi tahunya aku lagi nunggu dia sambil nonton teman-teman yang lagi latihan voli.
"Berarti nanti balik kampus?"
"Iya."
"Kuliah lagi?"
"Cuma praktek."
"Sampai malam?"
"Kayaknya gitu."
Aku menatap Mas Abhi cukup lama.
Kasihan.
Dia pasti lelah.
Kata teman-temanku, kuliah kedokteran itu susah. Pernah kutanyakan ke Mas Abhi, dia malah jawab sebaliknya. Kuliah kedokteran itu menyenangkan. Waktu kutanya kenapa menyenangkan, dia jawab, "karena Mas melakukan apa yang Mas sukai."
Lalu aku ingat kata Ayah.
"Kalau kamu mengerjakan apa yang kamu suka, sesulit apapun, seberat apapun kamu pasti akan jalani itu tanpa mengeluh."
Dan Mas Abhi emang nggak pernah ngeluh. Seenggaknya itu yang aku tahu.
Setelah menghabiskan es krim, aku langsung minta Mas Abhi mengantarku pulang, biar Mas Abhi punya waktu istirahat biarpun sebentar.
Waktu tangannya menggenggam tanganku selagi kami jalan ke parkiran, detak jantungku rasanya makin cepat.
Aku masih suka Mas Abhi. Jauh lebih besar dari sebelum-sebelumnya. Tapi aku nggak akan bilang. Soalnya kata teman-teman, kalau orang yang kita suka ternyata nggak balik suka sama kita, biasanya mereka akan menjauh.
Aku nggak mau Mas Abhi menjauhiku. Aku masih mau main bareng sama Mas Abhi, makan es krim, atau ke toko buku sama dia.
Jadi ... aku akan simpan perasaanku sendiri.
Nggak masalah kalau Mas Abhi nggak akan pernah tahu perasaanku, ketimbang aku malah kehilangan dia.
Aku bakalan simpan perasaanku baik-baik dari Mas Abhi, meski aku sendiri nggak tahu akan sampai kapan kayak gini.
***