-4-

1188 Words
"Kayaknya itu deh anaknya, Ca," bisik Desy waktu kami ke kantin dan jalan nggak jauh dari sekumpulan siswa yang asik bercanda. "Terus kenapa?" tanyaku setelah menemukan sosok yang Desy maksud. "Beneran ganteng ya ternyata!" Aku mendengkus geli dan kembali lihat ke depan. "Ganteng kan, Ca?!" Desy menggoyang lenganku yang dari tadi digamitnya. "Iya, ganteng," sahutku setengah hati, "tapi masih ganteng Mas Abhi," tambahku kali ini dengan sungguh-sungguh. Meski hubunganku dan Mas Abhi belum sepenuhnya membaik, tapi tetap saja buatku setelah Ayah, baru Mas Abhi yang terlihat ganteng. Desy langsung mencubit lenganku lumayan kencang. Teriakan refleksku yang sebenarnya nggak terlalu keras, bikin beberapa siswa memperhatikan kami, salah satunya siswa baru itu. Siswa yang bikin siswi-siswi di sekolahku jadi heboh. Karena sebagian besar dari mereka berpikir kalau Mas Yudha, siswa baru yang selisih 1 tingkat di atasku itu, termasuk siswa yang katanya ganteng, seperti yang dibilang Desy. Setiap hari aku bisa lihat betapa hebohnya siswi-siswi di sekolahku kalau sudah lihat Mas Yudha, bahkan saat Mas Yudha masih begitu jauh, banyak siswi yang rame-rame memperbaiki penampilan mereka. Salah satunya tentu saja Desy, teman sebangkuku. Aku cuma bisa geleng kepala lihat kelakuannya. Dan gara-gara responku, Desy bilang aku aneh, karena nggak ikutan heboh seperti yang lain. Selagi yang lain sok akrab menyapa Mas Yudha, aku justru bersikap biasa dan lewat begitu saja di depannya. Nggak cuma sekali, tapi berkali-kali. "Kamu Samita?" Pertanyaan seseorang waktu aku baru keluar dari ruang guru suatu pagi, bikin aku berhenti dan menemukan sosok Mas Yudha berdiri nggak jauh dari pintu. "Ya?" Dia tersenyum usai aku merespon seadanya. Senyumnya manis, apalagi ditambah dengan gigi gingsul di bagian kanan yang baru aku tahu. "Aku Yudha, mau temenan sama aku?" * * * Aku nggak tahu, kalau keputusanku membalas uluran tangan Mas Yudha waktu itu bikin aku kemudian jadi pembicaraan di sekolah. Selama beberapa hari, siswi-siswi di sekolah membicarakannya. Ada yang bisik-bisik, ada juga yang terang-terangan nyindir. Termasuk Desy, dia bilang aku cocok jadi tukang tikung, aku cuma tertawa. Toh aku tahu, Desy nggak benar-benar marah ke aku. "Memangnya kalau naik bus, jalannya dari halte ke rumah nggak jauh?" Aku menggeleng sambil menikmati s**u kotak rasa coklat yang kubeli di kantin dengan Desy tadi. Suara teriakan yang bersahut-sahutan dari lapangan terdengar cukup nyaring, tapi memang seperti inilah setiap jam istirahat. Tadinya aku duduk berdua sama Desy, nonton siswa-siswa main basket, nggak lama kemudian Mas Yudha bergabung. Kami sempat ngobrol bertiga, sebelum Desy dipanggil salah satu kenalannya dari kelas lain lalu mereka berdua pergi, katanya mau ke perpustakaan tapi nggak tahu untuk urusan apa. Jadi sekarang aku duduk berdua sama Mas Yudha. "Kenapa nggak ikut antar-jemput sekolah?" Mas Yudha kembali tanya sebelum aku sempat jawab pertanyaan sebelumnya. "Lebih enak naik bus, bisa ketemu orang yang beda-beda tiap hari. Haltenya juga nggak jauh dari rumah." Kulirik, Mas Yudha sempat mengangguk-angguk pelan. "Masmu kenapa nggak bawa kendaraan?" Sepertinya masih banyak pertanyaan yang bikin dia penasaran, dan itu nggak cuma tentang aku, melainkan juga Mas Abhi yang beberapa kali datang jemput aku sepulang sekolah. "Nggak dibolehin." "Kenapa?" Mas Yudha kelihatan makin penasaran. "Soalnya dulu Om kami pernah kecelakaan, jadinya Mas Abhi nggak boleh bawa motor sendiri kalau keluar rumah." "Tapi kalau aku lihat-lihat, kamu sama Masmu nggak mirip ya? Biasanya kan kalau saudara ada mirip dikit-dikit." Aku tersenyum, Yudha emang kelihatan merhatiin Mas Abhi waktu mereka ketemu. Tapi selama Mas Abhi jemput aku, kami nggak banyak bicara. Mungkin karena hubunganku sama Mas Abhi belum sepenuhnya normal, jadi kami lebih banyak diam, jadinya Mas Yudha ikutan diam. Apalagi yang terakhir kali beberapa hari lalu, soalnya waktu kami bertiga nunggu bus di halte dekat sekolah, tahu-tahu muncul Mbak Kalina dan sopirnya nawarin pulang bareng. "Dia kan bukan Mas kandungku." "Hah?" Sekarang wajah Mas Yudha kelihatan kaget, bikin aku kembali tersenyum. Bukan cuma dia, banyak teman-temanku yang tadinya mengira Mas Abhi dan aku emang saudara kandung. Dan setelah tahu kenyataannya, reaksi mereka hampir semuanya sama, kaget, nggak percaya. "Dia anak sahabat baik Ayah." "Terus, kalian pacaran?" Aku menggeleng sambil tersenyum tipis. "Terus, rumah kalian sebelahan?" Sekali lagi aku menggeleng kali ini sembari menyedot s**u coklat. "Rumah Mas Abhi jauh, kalau dari rumah biasanya dia naik len lagi," kataku setelah meneguk satu sesapan. "Kok mau?" Aku mengedikkan bahu, karena selama ini emang nggak pernah mikirin kenapa Mas Abhi mau repot jemputin aku. Seperti yang Mas Yudha bilang, kalau jemput aku, Mas Abhi harus tiga kali naik angkutan umum. Pertama buat menuju ke sekolahku. Kedua buat ngantar aku pulang, dan ketiga ketika dia pulang ke rumah. "Atau jangan-jangan Masnya suka kamu?" "Aku cuma dianggap adik kok," kataku dengan senyum kaku. Kenyataannya, memang itu yang sering dibilang Mas Abhi. Aku cuma adik buat Mas Abhi, sama seperti Bia dan Arsa yang adik kandungnya. Atau Mbak Ayik, Banyu, Tara, Dira dan Cakra. Kami semua adik Mas Abhi. Dan dia sayang sama kami semua tanpa beda-bedain satu dengan yang lain. "Tapi ... kalau aku suka sama kamu, boleh?" Aku termangu menatap Mas Yudha di sampingku, sementara teriakan yang bersahut-sahutan dari lapangan terdengar makin kencang. "Samita ... mau jadi pacarku nggak?" * * * "Nggak boleh!" "Kenapa?" "Jani masih kecil, masih sekolah, nggak boleh pacaran!" Aku natap Mas Abhi yang duduk di sebelah kiri. Wajahnya kelihatan serius. Persis seperti Papa Syuja kalau lagi nasehatin dia atau si kembar. Saat dalam perjalanan pulang, aku cerita ke Mas Abhi tentang kejadian di jam istirahat tadi siang. Aku berani bicara agak lebih banyak dari kemarin-kemarin, karena sekarang ini kami nggak lagi di mobil Mbak Kalina. "Temenan aja kalian, jangan pacaran." "Mas juga masih sekolah pas pacaran sama Mbak Kalina." Sahutanku bikin Mas Abhi mengusap tengkuk. "Tapi sekarang Mas sudah nggak pacaran kan?" Aku mengangguk tanpa mengatakan apapun. Dua hari lalu dia emang bilang kalau sudah putus sama Mbak Kalina. Aku nggak tanya kenapa. Tapi dari ceritanya waktu itu, aku tahu kalau Mas Abhi sadar ada yang salah sama Mbak Kalina. "Kalau pacaran sama dia bikin Mas harus sering bohong, Mas pikir itu sudah nggak baik." Itu yang dia bilang. Tapi itu nggak membuatku langsung cerita tentang apa yang pernah kulihat, atau apa yang pernah Mbak Kalina bilang padaku. Kata Ayah, membicarakan keburukan orang biar kita jadi terlihat baik di mata orang lain itu bukan hal yang bagus. "Pokoknya Jani nggak boleh pacaran. Kalau cuma teman boleh." "Aku emang udah temenan kok sama Mas Yudha." Mas Abhi diam, nggak tahu lagi mikirin apa. "Temenannya biasa aja kan?" tanyanya setelah beberapa detik. "Memangnya, temenan nggak biasa itu kayak gimana?" "Yang terlalu sering nemuin kamu, atau terlalu sering telepon, chat-" "Mas juga sering telepon aku kan?" potongku cepat. "Itu beda, Jani." "Beda gimana?" Mas Abhi menarik nafas dalam-dalam. Biasanya Ayah juga seperti itu kalau jelasin sesuatu tapi bingung gimana jelasinnya dengan tepat. Tapi aku beneran nggak paham, maksudnya temenan yang nggak biasa itu kayak gimana. "Apa nanti aku tanya Ayah?" Mas Abhi dengan cepat nengok ke arahku. "Tanya apa?" "Temenan yang nggak biasa itu kayak apa." "No! Mas aja yang jelasin." "Tapi Mas kayak bingung jelasinnya." "Karena Mas lagi cari contoh yang pas." "Dan Mas nggak nemuin contoh yang pas kan? jadi, mungkin Ayah tahu contoh yang pas kayak gimana." Mas Abhi langsung nyandarin punggung, wajahnya terlihat pasrah. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD