-3-

1185 Words
"Besok Mas ke rumah, sekalian makan di sana. Kangen masakan Mama Lintang." "Iya." "Kata Papa, Dek Jani lancar ngerjain soal-soal ujian ya?" "Iya." "Beneran lancar? Nggak ada kesulitan sama sekali?" "Nggak." "Hebat! Makin pinter adek Mas ini!" "Makasih." Habis itu nggak ada yang bicara selama beberapa saat. Minatku buat ngobrol banyak sama Mas Abhi rasanya udah berkurang gara-gara kejadian di toko buku, ditambah lagi akhir-akhir ini dia jarang jemput aku. "Maaf ya, Mas tahu Jani marah. Tapi Mas kemarin-kemarin sibuk buat persiapan ujian kelulusan." "Aku tahu." Kemudian sunyi lagi. Tapi aku beneran tahu kok, Mas Abhi memang sibuk. Karena minggu lalu aku lihat sendiri dia sibuk ... sama pacarnya. "Dek-" "Sudah dulu Mas, aku mau main sama adek-adek. Assalamu'alaikum." Selesai mengucap salam, sambungan langsung kuputus lebih dulu. * * * "Memangnya Ayah masih ingat Bunda?" Keningku mengerut lihat Ayah tersenyum. Pagi ini Ayah ngajak aku buat jenguk Bunda. Tadinya aku mau Ibu dan adek-adek ikut, tapi sayangnya Cakra lagi demam, jadi Ibu harus rawat Cakra di rumah. Dira, dia nemenin Ibu rawat Cakra. Meski dia sering jahil sama Cakra, tapi aku tahu kalau dia sayang banget sama Cakra. Dira akan jadi orang pertama yang berdiri di depan Cakra kalau sesuatu terjadi padanya. "Bahkan sampai detik ini, Ayah masih ingat suara Bunda kalau panggil Ayah." "Tapi kan Bunda perginya udah lama? Ayah beneran masih ingat?" Tangan besar Ayah terulur, membelai rambutku yang diikat rapi oleh Ibu sebelum berangkat tadi. "Masih sangat ingat." Dari sorot mata Ayah, aku tahu kalau Ayah nggak bohong. "Ayah kangen Bunda?" "Selalu." Keningku kembali mengerut dengar jawaban Ayah. "Ibu tahu kalau Ayah kangen Bunda?" "Tahu." "Ibu marah?" "Sama sekali nggak." "Kok bisa?" "Karena Ibu juga sayang sama Bunda." Aku terdiam. Coba memahami arti omongan Ayah barusan. "Kalau Ibu nggak sayang Bunda, nggak mungkin Ibu rutin jenguk dan rawat makam Bunda sampai sekarang, iya nggak?" "Tapi Ibu nggak kenal Bunda kan?" "Lewat Caca, Ibu kenal Bunda. Lewat Caca juga, Ibu tunjukin sebesar apa sayangnya sama Bunda. Caca ngerasain sayangnya Ibu ke Caca nggak?" Kepalaku mengangguk secara otomatis. Tentu saja, aku tahu sayangnya Ibu buat aku sangat besar! "Nah, yang Caca rasain itu in shaa allah juga dirasain sama Bunda. Besar nggak sayangnya Ibu ke Caca?" "Besar banget!" Ayah tersenyum sambil mengusap kepalaku lembut. "Setelah ada Dek Dira dan Dek Cakra, sayangnya Ibu ke Caca berubah?" Kali ini aku menggeleng nggak kalah cepat dari anggukan tadi. "Jadi, karena Ibu sudah sesayang itu sama Bunda dan Caca, kalau Caca makin besar, sayangnya Caca buat Ibu nggak boleh berubah ya?" "Iya!" sahutku mantap. "Malahan sayangnya Caca ke Ibu makin besar!" tambahku antusias. Karena memang sesayang itu juga aku sama Ibu. Dan nggak ada alasan buat ngurangin rasa sayangku ke beliau. Senyum Ayah kulihat melebar. "Kenapa Yah?" tanyaku heran. "Ekspresi Caca barusan ... mirip sama Bunda." "Mirip?" Ayah mengangguk. Waktu kuperhatiin, ada yang berubah dengan sorot mata beliau meski sekilas. "Memangnya, Caca beneran mirip Bunda?" "Sangat mirip." "Apanya?" "Dari mata Caca, senyumnya Caca, keras kepalanya juga." "Caca keras kepala?" tanyaku cepat. "Banget," jawab Ayah kali ini tersenyum geli, "coba ... sudah berapa kali Ayah bilang, nggak boleh cuekin Mas Abhi? Tapi sampai sekarang Caca masih cuekin kan?" Seketika aku cemberut. Teringat semalam Ayah menegurku gara-gara dengar percakapanku dan Mas Abhi yang memang nggak seperti biasanya. "Memang Caca marah kenapa sama Mas Abhi?" "Nggak marah kok," sahutku sambil memainkan kelopak bunga yang baru beberapa saat lalu kutaburkan di makam Bunda. "Kalau gitu, nanti kalau Mas Abhi ke rumah, jangan dicuekin lagi ya?" Permintaan Ayah nggak sanggup untuk segera kuiyakan. Menatap nisan Bunda, tanpa sadar aku menggigit bibirku sendiri. "Bunda, Caca salah ya kalau marah sama Mas Abhi yang udah nyuekin Caca?" "Nanti kalau Caca paksain ngomong, Caca takut malah marah-marahin Mas Abhi." "Tuh kan, makin mirip Bunda kalau cemberut!" Melihat senyum hangat Ayah, secara nggak sadar ekspresi cemberutku perlahan berubah tersenyum. Bagaimana mungkin aku bisa mengabaikan senyuman Ayah, pria yang paling aku percaya nggak akan pernah mengecewakanku, baik sekarang ataupun nanti. Seenggaknya untuk saat ini, Ayah jadi satu-satunya pria. Karena Mas Abhi ... sudah 2 kali mengecewakanku. Dan demi Ayah, aku mau ngalah dan baikan lagi sama Mas Abhi. Menuhin permintaan Ayah buat bersikap baik sama Mas Abhi kayak biasanya. Sayangnya niatku patuh sama Ayah malah dinilai salah sama seseorang beberapa waktu kemudian. "Kata Abhi, kamu lagi marah sama dia?" Aku diam, menatap buku-buku jemariku yang ada di bawah meja. Ada rasa nggak nyaman, seperti ditegur Ayah karena aku sudah berbuat salah. Apalagi kami duduk berhadapan, sementara Mas Abhi lagi pesan minuman buat kami. Setelah lama nggak menjemputku, tahu-tahu tadi Mas Abhi ke sekolah, tapi sama pacarnya. Tentu saja aku nggak bisa menghindar. Termasuk waktu Mas Abhi ngajak kami ke resto fast food dekat sekolah, aku nggak bisa nolak. "Marah kenapa sama Abhi?" Pertanyaan Mbak Kalina masih kurespon dengan diam. Mana mungkin aku bilang kalau semuanya gara-gara dia. Gara-gara Mbak Kalina, Mas Abhi nggak punya waktu main denganku lagi. Gara-gara Mbak Kalina juga, Mas Abhi untuk pertama kalinya bohong padaku, bilang lagi sibuk belajar, nggak tahunya malah lagi sama Mbak Kalina. "Kamu bukan lagi nyoba narik perhatian Abhi kan?" Mataku refleks menatap Mbak Kalina yang duduk di seberangku. Apa dia sedang menuduhku sekarang? "Aku tahu kalian dekat, sudah seperti saudara kandung, tapi bukan berarti kamu bisa batasin Abhi buat main selain sama kamu." Keningku berkerut, pelan-pelan coba mengartikan omongan Mbak Kalina. "Dia selalu bilang, mungkin kamu marah karena dia udah jarang main sama kamu, dan dia ngerasa bersalah." Berdehem pelan, masih dengan posisi duduk tegak, Mbak Kalina menyandarkan punggung dengan kedua tangan terlipat di d**a. "Kamu harus tahu, nggak selamanya Abhi akan selalu main sama kamu atau Ayik. Dia punya kehidupan sendiri, dia punya teman-teman seumuran yang juga selalu nunggu Abhi buat main sama mereka. Tapi selama ini selalu ditinggalin Abhi demi kamu atau Ayik. Kamu tahu nggak, kalau itu nggak baik buat Abhi. Bisa-bisa dia ditinggalin dan nggak punya teman." Diam-diam aku menggigit pelan bibir bagian bawah. Benarkah kalau main denganku itu nggak akan baik buat Mas Abhi nanti? Apa Mas Abhi nggak akan punya teman kalau main sama aku terus? "Apa nanti mau ke toko buku?" Pertanyaan tiba-tiba Mbak Kalina bikin aku kembali ngerutin kening. Ekspresinya nggak sejudes tadi. Dia bahkan menatapku sambil tersenyum manis. Tangannya juga udah nggak bersedekap angkuh. Ada apa dengannya? "Ini minuman kalian," Mas Abhi tahu-tahu datang dari arah belakangku, sambil bawa nampan. "Rasa strawberry, buat kita bertiga," kata Mas Abhi sambil nyodorin cup berisi es krim strawberry pada Mbak Kalina, aku dan terakhir buat dia sendiri. Tapi aku nggak suka es krim strawberry lagi. Mas Abhi nggak tahu ya? "Lagi ngobrol apa tadi?" "Aku ngajakin Samita ke toko buku. Kemarin dulu kan dia nggak jadi beli buku, iya kan?" sahut Mbak Kalina yang lihat Mas Abhi lalu ganti ke aku, lengkap dengan senyum manisnya yang kali ini beneran terlihat palsu di mataku. "Nanti Samita bisa beli buku apa aja yang Samita mau." Dia masih bertahan dengan senyumnya yang nggak tulus. Sayangnya, Mas Abhi seperti nggak melihat apa yang kulihat pada pacarnya. Karena yang terjadi, dia justru sedang membalas senyum pacarnya. Seperti Ayah yang selalu tersenyum hangat tiap kali lihat Ibu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD