-2-

1043 Words
"Kita mau ke mana?" "Makan es krim, Jani suka makan es krim kan?" Aku mengangguk. Tentu saja! Apalagi makannya sama Mas Abhi, sukanya jadi double. Mas Abhi terus menggandengku, sambil sesekali kami bertukar pandang. Tadi dia minta ijin ke Ayah sama Ibu buat ngajak aku jalan-jalan sebentar. Setibanya di tujuan, aku duduk di salah satu bangku, persis samping jendela, sementara Mas Abhi memesan es krim buat kami. Ada anak kecil dengan ice cream cone di tangan, duduk nggak jauh dari tempatku. Kayaknya rasa vanillanya enak, tapi aku yakin nggak akan seenak es krim strawberry kesukaanku. "Ini," kata Mas Abhi begitu kembali. Dia membawa dua porsi es krim yang lumayan banyak. Satu untukku, rasa strawberry. Satu lagi ... rasa strawberry juga. Keningku sempat berkerut sebentar. Biasanya Mas Abhi akan pesan rasa lain, karena kami sama-sama suka rasa strawberry. Aku melihatnya selama beberapa saat, bermaksud minta penjelasan lewat sorot mataku, tapi Mas Abhi sudah sibuk dengan ponsel di tangan. "Mas Abhi nggak salah pesan?" tanyaku akhirnya karena dia masih fokus sama ponselnya. Sekitar hitungan ketiga, Mas Abhi ngangkat pandangannya, tersenyum dan gelengin kepala. "Nggak, kenapa?" "Kok pesenannya dua-duanya rasanya sama? Biasanya satunya rasa lain." "Oh ini, " Mas Abhi kembali tersenyum, tapi matanya yang semula lihat aku tiba-tiba teralih ke arah lain. Aku mengikuti arah pandangannya, tapi aku nggak tahu siapa yang dilihat Mas Abhi sebenernya, soalnya ada banyak orang di sekitar kami. "Ini buat teman Mas," lanjut Mas Abhi, "itu orangnya." Senyumnya terkembang meski nggak selebar biasanya. Dan itu bikin aku mengerjap kaget. "Siapa?" tanyaku mastiin. "Itu … Kalina, pacar Mas." Dan seketika aku kehilangan selera dengan es krim di depanku. Aku ... nggak suka es krim strawberry lagi. Apalagi waktu lihat gimana dekatnya mereka, aku nggak mau makan es krim strawberry lagi. Karena aku pasti akan langsung ingat dengan apa yang aku lihat di depanku sekarang. Mas Abhi dan pacarnya yang lagi makan es krim strawberry. * * * Setelah kejadian makan es krim sama pacar Mas Abhi waktu itu, aku sempat ngerasa kecewa, tapi nggak lama. Apalagi dia masih rajin jemput aku pulang sekolah, dan bikin suasana hatiku baik lagi. "Kita mau ke toko buku beneran?" tanyaku bersemangat. Mas Abhi yang duduk di sebelah kananku mengangguk sambil tersenyum. Kami sedang di dalam bis kota. Saat menjemputku tadi, Mas Abhi bilang kalau akan mengajakku ke toko buku. Dia sudah pamit sama Ayah tentu saja. "Mau beli buku dokter lagi?" tanyaku masih diselimuti rasa penasaran. "Mmm, mau lihat-lihat dulu. Kalau buku yang Mas cari nggak ada, ya nggak beli." "Aku?" Mendengar pertanyaan refleksku barusan, Mas Abhi tertawa sambil ngacak rambutku pelan dengan tangan kanannya. "Dek Jani boleh ambil tapi cuma 1 buku ya? Mas lagi nabung buat beli kado juga." "Kado buat siapa?" "Bubu, lupa ya? Bubu kan bentar lagi ulang tahun!" "Oh iya!" seruku semangat, "nanti beli kadonya sama Jani ya?" Melihat anggukan kepala Mas Abhi, senyumku seketika melebar. Mas Abhi nggak melepas gandengan tangannya sejak kami turun dari bis dan mulai jalan menuju toko buku. Tangan besarnya selalu terasa hangat tiap kali gandeng tanganku. Sayangnya itu nggak bertahan lama. Lagi-lagi, aku diberi kejutan yang nggak menyenangkan. Di dalam toko buku, ternyata pacar Mas Abhi sudah nunggu kami. Begitu melihat sosok Mbak Kalina, Mas Abhi melepas gandengannya. Dia juga jadi lebih banyak ngobrol sama pacarnya, sementara aku mengekor seperti anak itik yang nggak tahu arah. Keduanya beberapa kali tertawa saat ngobrol entah tentang apa. Mas Abhi kayak lupa kalau dia bawa aku ke sini. Pacar Mas Abhi juga suka pegang-pegang lengan Mas Abhi, dan aku nggak suka lihatnya. Jadi, tiap kali mereka berhenti di salah satu rak, aku memilih berdiri tiga langkah dari mereka, sok sibuk dengan buku yang kuambil secara sembarang. Soalnya selama ini Mas Abhi nggak pernah ijinin aku jalan sendiri. Selagi mataku menatap kosong ke halaman yang kubuka acak, telingaku coba mencuri dengar pembicaraan mereka. Tapi tetap saja, nggak ada satupun yang aku tahu. "Jani nyari buku apa?" Mbak Kalina tiba-tiba mengajakku bicara sejak pertama kami ketemu tadi. "E-eh, itu-" "Suka manga kan? Di bagian sana ada banyak manga," Mbak Kalina nunjuk letak rak yang sebenarnya aku tahu. Toh, aku sering ke toko buku ini, jadi lumayan paham posisi buat jenis buku-buku di sini. "Dia bukan Ayik, jangan tawari manga. Jani lebih suka menggambar dan mewarnai, kan aku pernah cerita," kata Mas Abhi sambil melihatku dengan senyum terulas. "Oh iya, aku lupa! Maaf ya," Mbak Kalina melihatku sepersekian detik lalu ganti ke Mas Abhi. "Mas masih nyari buku yang Mas mau, Jani berani kan nyari buku sendiri?" Aku terdiam selama beberapa detik menatap Mas Abhi, mungkin karena efek kaget, sebelum kemudian terpaksa mengangguk dan langsung berbalik. Ini pertama kali Mas Abhi ngijinin aku jalan sendiri di toko buku, dan itu bisa jadi karena ada pacarnya. Mungkin dia nggak mau diganggu. "Nanti Mas yang cari Jani ya!" Aku nggak berhenti sekedar buat nengok ke arah Mas Abhi dan mengiyakan. Kakiku terus melangkah lalu berbelok ke kanan. Kenapa ... rasanya ada yang sakit di dalam sana? Apalagi saat kembali terngiang kalimat Mas Abhi yang menyuruhku mencari buku sendiri, seperti ada yang meremas dengan kuat sampai terasa nyeri di ulu hati. Meski aku sudah tiba di bagian buku mewarnai, minatku buat nyari atau bahkan sekedar lihat sudah keburu lenyap. Bahkan sejak pertama kali lihat Mbak Kalina di dekat pintu masuk tadi, aku sebenarnya ingin langsung pulang. Menatap kosong deretan buku, tiba-tiba aku teringat pesan Ibu. "Ingat ya Kak, harus baik sama semua orang. Biarpun orang itu udah nggak baik sama Kakak dan Kakak nggak suka, tapi Kakak nggak boleh jadi nggak baik juga ke dia." Aku menarik nafas panjang. Anehnya rasa nyeri di ulu hati justru makin terasa. Apa Ibu tahu kalau itu nggak gampang? Apa karena aku merasa kalau Mbak Kalina baiknya ke aku nggak tulus, makanya jadi susah buat aku bersikap baik ke dia? Senyum dan sorot mata Mbak Kalina, secara nggak langsung nunjukin kalau dia nggak pernah suka dengan keberadaanku sejak pertama kami dikenalin Mas Abhi. Terus, kalau sudah begitu, apa Ibu akan maklum kalau aku sampai nggak suka sama Mbak Kalina? Kan Mbak Kalina yang nggak suka duluan ke aku. Selain itu, Mbak Kalina sudah ambil sebagian besar perhatian Mas Abhi buatku, sampai-sampai nggak cuma ngabaiin kedua kalinya, Mas Abhi juga nyuruh aku jalan sendiri buat pertama kali. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD