Awal Mula Rencana Balas Dendam

1018 Words
"Lis, kamu tau Kapten Vedro nggak?" ujar Tari. "Vedro? Nggak. Siapa itu?" ujar Lisa acuh tak acuh. Ia tengah memakan makan siangnya. Ia lupa sama sekali dengan Vedro. Walaupun rasanya ia pernah melihat nama itu disuatu tempat. Tapi Lisa tak bisa berfikir dengan jernih saat lapar. Ia juga tak peduli dengan Vedro atau siapapun lah namanya itu. "Ih, lu cupu banget sih, Lis. Itu loh, kapten Vedro dari maskapai Bintang Jaya Group. Masak lu nggak tau. Padahal dia itu idola lo di antara para pramugari. Cuma lu orang yang bilang nggak kenal sama dia. Lu hidup dimana sih? Di hutan?" Cerca Vanya panjang lebar. Lisa menghentikan makannya dan menatap Vanya sekilas sembari memutar bola matanya. "Mau itu Vedro kek, idol Korea kek atau presiden sekalipun yang lagi kalian bicarain. Gue nggak peduli ya. Lagian, harus banget ya gue tau sama kapten Vendra itu,-" "Vedro," ujar Tari membenarkan. "Iya, Vedro atau siapa lah itu namanya, terserah. Emangnya gue bakalan mati kalau nggak tau dia? Emangnya dia makanan yang bisa ngenyangin gue? Sekarang yang jelas lebih baik gue mensejahterakan perut dulu dibanding harus mencari tahu siapa dia." "Dasar. Udah hampir dua bulan lu di sini. Mata lu itu rabun atau gimana sih? Bisa-bisanya kagak ada kepincut sama siapapun. Atau jangan-jangan lu beneran kepincut sama Kapten Riadi lagi?" selidik Vanya. "Emboh. Sak karepmu neng. Gue nggak peduli sama makhluk bernama laki-laki, apalagi Vedro itu. Gue mau fokus ama masa depan dulu. Dia nggak ada hubungannya juga sama masa deoan gue." Lisa kemudian meninggalkan tempat duduknya berniat untuk menuju kamar mandi karena mendadak perutnya terasa sakit. Mungkin gara-gara ia terlalu terburu-buru saat makan. Namun baru beberapa langkah ia secara tidak sengaja menabrak seseorang. Gadis itu mendongak menatap orang yang ia tabrak. "Ma,.." belum selesai ia menuntaskan kalimatnya, Lisa harus menahan diri agar tidak mengumpat karena telinganya tiba-tiba terkena serangan mendadak. "Kalau jalan pakai mata." Vedro, laki-laki yang baru saja mereka bicarakan menghadiahkan semprotan beracun pada Lisa. "Kalau saya jalan pakai mata yang ada saya masuk trending topik, Kapten," sahut Lisa tak kalah sengitnya. "Masih aja menjawab." "Saya cuma membenarkan Kapten. Dimana-mana jalan itu pakai Kaki bukan pakai mata. Mata itu buat melihat bukan buat dipakai untuk jalan." "Itu tau mata buat melihat tapi malah nggak dipakai. " "Siapa bilang saya nggak make mata saya. Kalau saya nggak make mata. Orang-orang bakalan lari ketakutan ngirain saya hantu. Atau malah mungkin kasian karena saya buta karena dak punya mata Lagian kenapa baru protes sekarang. Tadi kapten cuma protes kalau jalan harus pakai mata bukan memakai mata saya." "Dasar gila!" umpat Vedro. Dia sama sekali tidam tahu cara untuk berdebat lagi dengan gadis dihadapannya. Ia belum menyadari sepenuhnya bahwa gadis yang tengah berdebat dengannya ini adalah gadis yang ia cari. "Kalau saya gila berarti anda sinting." "Kau bilang apa?" emosi Vedro semakin menjadi mendengar ucapan Lisa. "Anda nggak kehilangan telinga kan?" "Kau. Kau sama sekali tidak punya sopan santun ya?" "Loh, bukannya kapten yang dari tadi nggak punya sopan santun. Saya sudah mau minta maaf karena menabrak kapten. Tapi kapten langsung bersikap kasar. Yang tidak punya sopan santun sekarang siapa? Saya atau kapten?" "Lis, udah kamu mengalah aja," lerai Tari. Ia tahu betul kalau perdebatan mereka tak akan selesai. Meskipun jarang berbicara dan terkesan dingin sehingga digandrungi oleh banyak perempuan. Vedro bukanlah laki-laki yang memiliki mulut yang ramah. Ia hanya bersikap ramah saat bekerja saja. Selebihnya jika ada yang mengusiknya, terutama perempuan maka bersiap saja menerima kata-kata beracun dari mulutnya. "Nggak, gue nggak akan minta maaf sebelum dia yang minta maaf. Emangnya siapa dia? Mentang-mentang kapten gitu bisa seenaknya?" Tari hanya geleng-geleng mendengar ucapan Lisa. Ia juga tahu kalau Lisa adalah gadis yang sangat keras kepala. "Monalisa, udah deh. Lu nggak usah nyari pekara!" sahut Vanya. Ia mendadak sopan dan melenggok untuk menarik perhatian Vedro. Gadis itu terkenal sebagai penggemar Vedro nomor satu di maskapai. "Monalisa?" gumam Vedro dalam hati. Ia kemudian melihat lekat-lekat wajah perempuan bertubuh mungil yang berdiri dihadapannya. Sejenak ia terkesima dengan penampilan cantik dari gadis itu. Meskipun mulutnya pedas dan blak-blakan, siapapun juga tahu bahwa ia memiliki kecantikan yang alami. Bahkan ia sudah sangat cantik tanpa perlu dandanan yang berlebihan. Tapi wajahnya seketika membuat Vedro marah. Ia sangat mirip dengan Rama, musuh bebuyutannya. Kenapa ia bisa lupa dengan wajah itu. Padahal mereka sudah pernah bertemu beberapa bulan yang lalu. Karena kesibukannya belakangan ini ia sempat mengabaikan aksi balas dendamnya pada Rama. Vedro kemudian tersenyum licik. Ia hanya menatap Lisa dengan dingin kemudian pergi meninggalkannya. Lisa merasakan perasaan yang tidak enak saat melihat Vedri tersenyum. Entah kenapa ia seperti tidak asing dengan laki-laki itu. Ia lupa sama sekali sudah bertemu dengan Vedro sebelumnya. "Laki-laki aneh," gumamnya. Ia kemudian segera pergi meninggalkan orang-orang yang mulai bubar untuk melihat keributan yang mereka ciptakan tadi. "Jadi dia Monalisa. Sebelumnya aku bahkan belum melihat wajahnya dengan jelas," ujar Vedro pada dirinya sendiri saat ia sudah berada di ruangan maskapai. Tak ada seorangpun di sana. Ia menatap keluar ke arah landasan pacu pesawat. "Lisa, kita lihat saja. Apa nanti yang bisa aku lakukan padamu. Aku akan bersenang-senang dulu denganmu. Akan aku pastikan Rama hancur melihat kehancuranmu. Tak kusangka, seorang putri Dirgantara grup bisa bertahan dengan bekerja sebagai pramugari magang tanpa ada satu orangpun yang mengetahui identitasnya. Apa kamu mencoba untuk bermain-main disini? Kita lihat apa yang bisa aku lakukan untukmu." "Hacinn." Lisa mengusap hidungnya yang mendadak terasa gatal. "Siapa lagi coba yang bicarain gue. Heran deh. Mereka itu suka banget ngegosipin orang. Apa lagi sekarang? Lisa tak hanya selingkuh dengan kapten Riadi, ia juga menggoda kapten Vedro," ujar Lisa sembari menirukan suara perempuan-perempuan yang suka menggosipinya. Ia kemudian keluar dari toilet dan merapikan dandanannya. "Ayo Lisa. Nggak usah dipikirin. Mereka itu tak akan pernah berhenti menggosip sebelum yang digosipin menangis atau bahkan merasa rendah diri. Mereka hanya sekumpulan orang-orang yang jenuh akan pekerjaan dan beban hidup kemudian melampiaskannya dengan cara mengosipkan bahkan menjatuhkan orang lain. Lu nggak perlu terpengaruh dengan hal itu. Ingat tujuan lu datang kesini. Lu pasti bisa bertahan. Kalau nggak bisa, jangan panggil nama lu Lisa lagi." Lisa kemudian meninggalkan toilet menuju kantin. Ia perlu menghabiskan makan siangnya sebelum mereka kembali bertugas. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD