Kita Pernah Sedekat Ini

1310 Words
"Lisa, gimana dengan pekerjaannya? Kamu betah bekerja jadi pramugari?" ujar sang mama pada Lisa saat mereka berkumpul di hari libur gadis itu. Ayah Lisa juga ada, meskipun saat itu bukan akhir pekan. Tapi Dirgantara memilih untuk tidak berangkat ke kantor. Sudah lama sekali ia tak berkumpul dengan putrinya yang selama satu bulan terakhir ini sibuk dengan penerbangannya. Mendengar Lisa libur hari ini, ia pun menyerahkan semua tugasnya pada orang kepercayaannya dan memilih untuk libur dari kantor. "Baik, Mom. Aku betah aja kok." "Baguslah. Nggak ada temen yang jahat sama kamu kan?" ujar ayah. "Ya gitu lah, Yah. Namanya juga tempat kerja. Pasti ada yang nyebelin. Tapi sejauh ini nggak ada sih yang sampai tahap menyakiti Lisa." "Good. Kalau ada yang berani macam-macam sama kamu. Kamu harus langsung bilang sama Ayah, ya." Lisa memutar bola mata dengan jengah. Ayahnya mulai lagi. Pria itu selalu bersikap posesif pada Lisa. Selalu memperlakukan Lisa seperti anak kecil. Ia tak pernah menganggap Lisa dewasa sedikitpun. "Siap ndoro kanjeng." Lisa menundukkan kepala, hormat ala Keraton pada sang ayah. Sementara mamanya tertawa melihat tingkah gadis itu. "Kamu beneran paham atau lagi ngejek ayah sih?" Ayahnya berpura-pura merajuk pada Lisa. Gadis itu menjadi sebal melihat tingkahnya. "Ih, Ayah jangan mulai lagi deh. Lisa sebel tau." Gadis itu memanyunkan bibirnya pertanda tidak suka. Ia paling malas melihat jika Ayahnya sudah berpura-pura merajuk dan bertingkah seperti anak kecil. Ia curiga, jangan-jangan sifatnya adalah turunan dari sang Ayah. "Sudah, sudah. Kamu Yah jangan diledekin terus anak gadisnya. Udah tau kalian berdua itu sama-sama tukang merajuk," lerai mama. Lisa melempar tatapan tak percaya dengan ucapan yang keluar dari mulut mamanya. Bisa-bisanya ia dijuluki tukang merajuk. Ia tak terima meskipun itu adalah kenyataannya. Ia suka sekali merajuk kalau bersama dengan keluarganya. Sifatnya yang seperti itulah yang membuat semua saudara sepupunya suka menjahili Lisa. Meski demikian gadis itu tak merasa keberatan ataupun terganggu. "Ih, Mommy malah ikutan bikin kesel aja." "Ya habis, kamu itu sama aja sama ayah kamu itu. Dikit-dikit merajuk, dikit-dikit merajuk. Mommy sampai pusing tau menghadapi tingkah kalian berdua," curhat Mommy. "Ya kan namanya juga anaknya, My. Kalau aku nggak mewarisi sifat ayah yang seperti itu. Siapa lagi coba yang akan mewarisi kalau bukan aku. Masak bang Rama, yang ada nanti malah kiamat dunia kalau dia jadi perajuk." "Ngapain bawa-bawa namaku?" Lisa terlonjak kaget mendengar suara bariton dari Rama. Ia sama sekali tak menyangka jika Rama ada di rumah. Padahal sekarang sudah jam 09:00. Rama biasanya sering berangkat kantor jam 07:00. Mereka memang telat untuk sarapan pagi tadi makanya Lisa mengira bahwa Rama sudah berangkat kerja. "Kamu nggak ngantor?" ujar Mommy. "Nggak, My. Nanti aja kalau nggak mager," jawab Rama enteng kemudian ikut mengambil nasi goreng. "Loh, kok tumben? Biasanya akhir pekan aja kamu selalu kerja. Kok sekarang malah libur." "Lagi pengen libur aja, My. Nggak ada yang mendesak juga yang harus dikerjain di kantor." "Eleh. Bilang aja karena tau aku libur dan mau ngajak berantem, makanya sekarang libur," ejek Lisa. "Anak kecil diem aja. Nggak usah kepedean jadi orang." "Idih. Siapa juga yang kepedean. Kenyataan tu yang aku omongin. Seorang Rama yang selalu kerja, bahkan kalau bisa 24 jam itu kerja terus. Sekarang tiba-tiba libur dan bilang kalau pengen libur aja karena mager. Suatu keajaiban sekali. Apa besok mau kiamat ya? Atau jangan-jangan lagi patah hati lagi. Ditinggal siapa lagi kali ini?" Lisa semakin mengejek Rama. Ia tak peduli jika ucapannya akan menyinggung Rama. "Anak kecil kalau ngomong nggak ada penyaringan ya." Rama berusaha menahan emosi saat menghadapi adiknya itu. Ia tahu betul jika Lisa tak bisa lagi bersikap sopan dan baik padanya semenjak kejadian dulu. Rama tahu jika ia sangat bersalah pada Lisa. Tapi ia juga enggan untuk meminta maaf. "Yang ngomong juga kagak punya penyaring." "Sudah. Kalian berdua ini berantem terus. Bisa nggak kalian sekali saja akur. Kamu juga Rama, ingat umur. Kamu itu sudah umur berapa dan Lisa itu adik kamu lo. Adik perempuan kamu. Jadi jangan judes begitu. Kamu juga Lisa, Rama itu Abang kamu. Kamu harus menghormatinya. Jangan bertingkah seperti itu. Kamu kalau sama Angga nurut banget. Nempel kayak perangko. Bisa nggak kamu kayak gitu juga sama Rama? Bisa nggak kalian akrab kayak gitu juga?" ujar Mommy panjang lebar. "Nggak!" ujar Lisa dan Rama berbarengan. "No. Big no," sambung Lisa. "Never dream, Mommy," sahut Rama. Mereka berdua kemudian saling padang dan akhirnya saling berbalik memunggungi. Mommy dan Ayah geleng-geleng kepala melihat kelakuan dua buah hatinya itu. Padahal mereka sudah sama-sama dewasa. Tapi tak ada satupun yang mengalah. Sikap mereka sama-sama keras. Meskipun memang dibalik sikapnya itu ada kejadian besar yang membuat hubungan keduanya merenggang. Padahal sewaktu kecil mereka bertiga sangat akrab. Tapi semenjak kejadian besar yang menimpa Lisa yang juga melibatkan Rama dan calon isterinya. Hubungan Lisa dan Rama tak bisa dikatakan baik lagi semenjak saat itu. Hal itu bermula dari kekecewaan Lisa pada Rama yang lebih memercayai calon isterinya dibandingkan Lisa. Pada saat itu Lisa dituduh sudah melakukan perundungan pada Nina, calon isteri Rama, hanya karena Lisa tak menyukai Nina. Lisa tahu betul bagaimana sifat Nina di belakang abangnya. Gadis itu kerap bermain laki-laki dan bahkan pada saat itu dia tak hanya bermain dengan satu laki-laki saja. Tapi ada tiga orang pria yang Lisa ingat menjadi selingkuhannya. Lisa sudah berkali-kali memberitahukan itu pada Rama. Tapi pria itu enggan percaya pada Lisa dan hanya menganggap bahwa tingkah Lisa itu disebabkan oleh rasa cemburu karena abangnya akan segera menikah. Puncaknya, Nina menuduh balik Lisa sering merundungnya. Bahkan Nina juga mengatakan bahwa Lisa lah yang sebenarnya suka bermain dengan banyak pria. Ia juga memperlihatkan bukti-bukti yang entah darimana ia karang. Lisa sampai disidang oleh keluarga besarnya akibat kejadian itu. Terlebih juga ada foto yang menunjukan bahwa gadis itu bermalam di hotel. Padahal pada waktu kejadian dia tengah pergi ke hotel itu untuk menemui temannya. Tapi entah kenapa temannya itu tak ada disana. Lisa sadar jika itu juga ternyata adalah bagian dari rencana licik Nina. Tak hanya foto, Lisa juga diarak oleh bodyguard ayahnya untuk pulang. Sementara laki-laki yang ada dalam foto tersebut tak satu kalipun ia pernah temui. Dikemudian hari akhirnya terbongkar itu adalah foto Nina yang diedit sedemikian rupa menjadi foto Lisa. "Kau, jangan pernah menuduh Nina seperti itu. Hanya karena kau adalah adikku. Aku tak akan segan-segan padamu. Aku tak akan pernah membela orang yang licik sepertimu," cerca Rama pada saat itu. *** "Kamu mau kemana, Ved?" ujar sang Bunda. "Ini sudah malam loh. Besok kamu mau menikah." "Aku mau nganterin barang milik Nina yang ketinggalan, Bun. Sebentar saja." "Ya sudah. Hati-hati di jalan. Jangan ngebut." "Siap nyai ratu," ujar Vedro dengan senyum ramah sembari mencium kening perempuan yang sangat dia cintai itu. Vedro melajukan kendaraannya dengan lambat. Ia tidak mau melawan keinginan bundanya. Ia sampai di apartemen milik Nina atau lebih tepatnya apartemen milik mereka berdua setengah jam kemudian. Ia bergegas memasukan password dengan hati membuka pintu. Ia tak ingin membangunkan Nina. Gadis itu tadi bilang dia tengah sakit kepala dan ingin tidur lebih awal. Hati Vedro sedikit mencelos melihat ada sepasang sepatu pria di pintu masuk. Ia tak mengenali sepatu itu. Vedro berjalan perlahan. Samar ia mendengar suara kebahagiaan yang berasal dari dua insan yang tengah dimabuk cinta. Vedro mulai memucat. Ia tak ingin berburuk sangka. Bisa jadi itu hanyalah suara adegan film yang diputar oleh Nina. "Ayo Rama. Bawa aku terbang." Bagaikan disambar petir, Vedro kaget mendengar suara Nina. Ia paham betul itu adalah suara kekasihnya. "Rama? Siapa Rama? Apa jangan-jangan." Tak mau berburuk sangka, Vedro segera bergegas ke kamar. Ia menguak pintu dengan kasar. Nina yang tengah dihimpit oleh seorang laki-laki menoleh kaget. Vedro lebih kaget lagi melihat jika pria itu adalah Rama, sahabatnya sendiri. "b******k," teriak Vedro. Vedro langsung terbangun dari mimpi buruk yang selalu menghantuinya setiap malam. Adegan yang sama yang selalu diputar berulang kali yang membuat ia tak pernah bisa tidur nyeyak. "b******k kalian. Awas saja kau Rama. Aku akan menghancurkanmu melalui adikmu." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD