Sepeninggalan Kirana, Agni tersenyum sendiri. Rupanya asyik juga menggoda kamu seperti ini. Pikir Agni yang masih tersenyum memikirkan Kirana.
Sedangkan Kirana sendiri kesusahan mengatur napasnya di dalam kamar. Dadanya yang terus berdetak kencang, membuat dia terlihat lebih gugup jika harus tetap berhadapan dengan Agni.
“Orang ini semakin meresahkan saja. Apa dia gak sadar kalau jantung ku ini bisa berhenti mendadak kalau terus di goda seperti itu. Benar-benar minta dikerjai dia,” gerutu Kirana.
Kirana memang seorang sekretaris yang terbilang perfect. Namun, dia juga wanita biasa yang bisa baper saat di goda. Agni mungkin melupakan hal ini, namun ketika Kirana baper maka Agni lah yang di untungkan.
Sore menjelang, Kirana menikmati pemandangan dari teras kamar Agni. Lelaki yang masih tidur itu pun tak mengira kalau seorang Kirana berani masuk dan sengaja menikmati pemandangan pantai dari terasnya.
Mengenakan baju pantai yang terkesan tipis, Kirana tak memikirkan apa yang akan di lakukan bos nya jika mengetahui dirinya seperti ini. Kirana hanya memikirkan jika lelaki m***m belakangan ini masih tidur, dan akan lama untuk bangun.
“Kenapa tak membangunkan aku?”
Kirana tersentak mendengar suara yang tak asing lagi di telinganya.
“Bapak, ngagetin saja,” ucap Kirana sambil memegangi dadanya yang sudah berdegup kencang akibat kaget.
“Saya lebih kaget, bangun tidur langsung melihat bidadari tengah berjemur di depan kamarku.” ucap Agni kembali menggoda Kirana.
“Siapa bilang saya Bidadari?” tanya Kirana mencoba membiasakan diri dengan kebiasaan baru Agni.
“Loh, bukan memangnya? Terus siapa wanita cantik di depan ku ini?” Agni mengubah posisi duduknya yang tadinya menghadap ke arah pantai, kini memandang Kirana.
“Bukan pak, percayalah kalau saya itu adalah malaikat maut mu!” Kirana menatap Agni dengan pandangan tajam menusuk.
“Percaya!” Agni kembali mengubah posisi duduknya memandang ke arah laut lagi.
“Apa kamu mau menemani ku menikmati pantai sore hari?” tanya Agni.
“Kalau bapak mengajak,yakin lah kalau saya tidak pernah bisa menolak keinginan bapak.” ucap Kirana sesopan mungkin, ya meski hatinya tengah jengkel karena lelaki ini.
“Baiklah, ayo kalau gitu!”
Kirana dan Agni berjalan ke arah pantai, menyusuri pasir putih tanpa tau tujuan. Pada saat mereka menyadari sudah sangat jauh dari resort, Kirana tampak sangat panik. Sedangkan Agni langsung memeluk Kirana, berusaha menenangkan sekretarisnya yang sudah kebingungan.
“Tenang lah, kita hanya tinggal putar balik dan kembali ke arah yang sama. Kita di tepi pantai yang gak ada pertigaan atau perempatan, jadi gak mungkin kita ke sasar. Jangan mikir kita sedang di hutan, ok!” Agni menenangkan Kirana yang entah kenapa sangat ketakutan saat dia tengah kehilangan arah.
Berjalan memutar arah dengan saling berpelukan, kedua orang ini sudah seperti pasangan yang tengah berbulan madu. Dengan waktu yang sedikit lebih cepat dari mereka berangkat, akhirnya sampai juga di depan kamar resort.
“Tenang lah, kita sudah sampai. Sekarang kamu bersihkan diri dan pakai gaun yang ada di kamar mu. Kita akan menghadiri undangan makan malam Mr. Smit.” kata Agni menyuruh Kirana.
“Baik pak,” berusaha untuk tenang dan tak menimbulkan kekacauan yang berarti seperti tadi.
Kirana dan Agni bersiap untuk menghadiri parti yang di adakan oleh relasi kerja Agni. Mengenakan dres hitam selutut, di padu dengan lengan panjang namun memperlihatkan d**a indah miliknya, Kirana terlihat sangat anggun. Dengan tatanan rambut yang di gerai, menambah nilai keanggunan wanita berumur dua puluh lima tahun itu.
“Bapak sudah siap?” Kirana melihat Agni yang sedikit kesulitan saat memilih aksesoris yang pas dengan baju yang dikenakannya.
Melihat hal itu, Kirana dengan cekatan langsung mengambil secara acak dua cincin yang akan di gunakan oleh Agni. Memilih dasi dan jam tangan yang pas untuk kemeja dan jas yang tengah di kenakan lelaki di depannya.
“Pas!” Agni melihat dirinya dari pantulan kaca.
Terlihat sempurna, di tambah dengan adanya wanita yang tengah serius memasang dasi di lehernya. Agni tersenyum membayangkan jika dia benar adalah seorang suami dari wanita di depannya.
Lingkaran senyum Agni yang menambah kadar ketampanan, rupanya baru di sadari oleh Kirana. Kirana seakan tersihir oleh senyuman itu pun malu-malu menyembunyikan senyuman yang menghiasi wajahnya.
“Bagaimana bisa pas gini? Perasaan kamu ngambilnya asal,” tanya Agni memecah khayalan.
“Itu karena bapak sudah sangat percaya sama saya,” jawab singkat Kirana membuat Agni semakin puas dengan cara kerjanya.
“Ok, ayo kita berangkat.”
***
Berjalan mendahului, Agni menjadi sorotan banyak tamu yang ada di acara parti tersebut. Tak sedikit yang berdecak kagum dengan penampilan sempurna Agni. Seorang CEO yang masih muda dengan postur tubuh yang ideal, menambah kesempurnaan dari diri Agni. Tinggi yang mencapai seratus delapan puluh satu, dengan berat badan sekitar enam puluh lima itu membuat Agni terlihat sangat gagah.
Hidung mancung, mata yang memancarkan tatapan tajam. Dimple yang sangat dalam, terlihat saat senyum pun menambah semakin tampan seorang Panji Agni.
“Hai, tuan Agni. Hai nona Kirana. Senang sekali kalian berdua bisa hadir di pestaku. Bagaimana istirahat kalian? Aku harap tidak menambah rasa lelah yang ada dalam diri anda,” ucap hormat seorang bule blasteran Irlandia dan Austria ini.
“Tenanglah, Mr. Smit, kami berdua sudah beristirahat sangat lama sebelum datang ke sini. Ini untuk anda,” Agni mengulurkan bingkisan kecil yang sudah di siapkan oleh KIrana sebelum datang ke acara tersebut.
Mr. Smit membuka bingkisan tersebut. “Ah, jam Rolex. Selera anda memang sangat-sangat bagus dalam memilih aksesoris,” decak kagum yang di perlihatkan oleh Mr. Smit tak kalah dari para gadis yang mengetahui betapa mahalnya harga bingkisan kecil yang di berikan pada pemilik acara.
Tak berhenti di sana saja, Mr. Smit sepertinya juga salah fokus pada cincin yang di kenakan oleh Agni. Hanya melirik dan membatin, Mr. Smit sepertinya memang bermain dengan orang yang bukan mainannya.
Cincin berlapis emas putih entah berapa karat, dengan bertahtakan berlian Blue sea yang terkenal mahal nomor lima di dunia. Dan Agni juga terlihat mengenakan jam tangan Rolex berlapis emas delapan belas kara.
Sungguh, Mr. Smit merasa jika bekerja sama dengan orang seperti ini bukan lah hal yang muda. Dengan berbagai macam cara, Mr. Smit berusaha mengajak lelaki itu masuk ke dalam ruang kerjanya. Dengan memberikan sebuah kontrak kerja yang jauh lebih menguntungkan di banding kerja sama sebelumnya.
“Bagaimana? Kalau menurut saya, kita lepas kerja sama sebelumnya dan kita perbaharui dengan kerja sama ini.” ucap Mr. Smit.
“Baiklah saya setuju. Besok saya akan atur orang untuk membawa surat pembatalan kerja sama yang pertama.” pungkas Agni sebelum keluar dari ruangan Mr. Smit.
Berjalan mendekati Kirana yang tengah asik bercengkerama dengan sekretaris pribadi Mr. Smit.
“Kita dapat kontrak yang baru!” bisik Agni pada Kirana.
“Yang lama bagaimana?” Tanya Kirana bingung.
“Ngapain mempertahankan kerja sama yang hanya akan merugikan kita besar-besaran?” ucap Agni santai masih dengan berbisik.
“Bapak sudah tahu?” kaget Kirana.
“Sudah, makanya aku menyiapkan jam tangan Rolex itu.” ucap Agni meminum minuman yang di suguhkan oleh pelayan.
Kirana merasa ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya tidak nyaman. Kirana menghentikan Agni untuk meminum minuman itu, namun sudah terlambat. Air manis berwarna merah itu sudah tandas dalam sekali teguk.
Kirana sudah merasa panas yang semakin membuatnya tak tahan mengenakan baju pun, segera mengajak Agni untuk meninggalkan tempat itu.