"Dia lagi. Memang seharusnya dia dibikin sendirian aja pas tugas kelompok biar engga bikin ribut."
Awan menoleh, alisnya terangkat naik ketika mendengar ucapan Satria yang berdiri di belakangnya.
Di detik yang lain, matanya kembali melirik ke arah seorang gadis yang ia kenal bernama Rindang, mengambil tempat duduk di barisan paling depan setelah membuang muka begitu saja mendengar pertanyaannya. Lalu barulah ia menunduk, menatap Fani yang wajahnya memerah seakan menahan tangis.
"Kenapa, Fan?" tanyanya memberi atensi penuh.
Gadis cantik itu kemudian mendongak dengan mata basah, bibirnya berkedut seakan mencoba bicara tanpa terisak.
"Gue belum sempet nyerahin tugas gue ke dia kemarin, gue udah janji bakal nyerahin pas sore nanti tapi dia malah ngata-ngatain gue, Wan. Katanya gue lebih sibuk pacaran sampai lupa sama tugas, padahal aslinya engga gitu. Kemarin pacar gue butuh bantuan jadi gue bantuin dong! Gue bukan lalai tugas, tapi cuma telat ngasih doang," jawabnya dengan wajah bermuram durja.
Diam-diam, Awan menghela napas.
Kejadiannya sama persis dengan apa yang sering kali dirinya hadapi. Yang berbeda adalah karena selama ini dirinya memilih diam, sedangkan Rindang memilih speak up karena tidak senang dengan sikap teman kelompoknya yang menganggap remeh tugas.
"Intinya kalian cuma salah paham, kan bisa diomongin baik-baik. Kamu juga salah, Fan. Karena harusnya udah nyiapin bahan bagian kamu biar Rindang bisa ngerjain bagian yang lain," kata Awan dengan intonasi selembut biasanya.
Gadis di depannya itu mengangguk pelan, "Iya gue tahu kok gue salah. Makanya gue juga udah minta maaf dan janji bakal kasih tugasnya sore ini, tapi dia malah ngancem nyoret nama gue kalau gue engga nyerahin tugasnya."
Pandangan Awan kemudian kembali beralih pada Rindang yang ia yakin bisa mendengar semua obrolannya bersama Fani namun gadis itu memilih diam saja.
Suasana kelas juga riuh dengan bisikan rendah, yang samar-samar Awan dengar sebagai komentar untuk sikap Rindang yang dinilai tidak punya hati. Padahal bagi Awan sendiri, ia yakin jika Rindang sudah melakukan hal yang benar dengan caranya sendiri.
Awan tersenyum, tangannya menepuk pundak Fani sekali sebelum berujar,
"Pastiin sore nanti kamu kirimin tugasnya ya. Jangan sampai kamu lupa lagi dan nama kamu dicoret nantinya," pesannya.
Setelahnya, Awan sengaja berjalan ke depan. Hingga namanya dipanggil oleh Satria beberapa kali karena seharusnya ia duduk di bangku yang ada di barisan tengah bersama dengan Satria dan temannya yang lain, namun Awan tetap berjalan ke depan dan mengambil duduk di barisan yang sama dengan Rindang.
Ia tidak berkata apapun. Yang dilakukan Awan hanya mengeluarkan buku miliknya dan alat tulis. Lalu dari ekor matanya, ia melirik Rindang yang fokus pada sebuah buku sketsa yang penuh dengan doodle berbagai bentuk dan warna hitam putih.
Awan tertarik. Tidak menyangka jika gadis yang ia kenal sebagai gadis penyendiri dan sulit diajak bicara itu, memiliki bakat seni yang mengagumkan.
Kemudian otaknya memaksa kotak ingatan terbuka, mengingat sudah berapa lama dirinya mengenal gadis ini? Gadis yang hanya ia tahu namanya namun tidak pernah benar-benar terlibat obrolan dengannya.
Mereka ada di jurusan yang sama. Dulu, Awan sempat juga mendekati Rindang seperti dirinya mendekati teman yang lain. Dan seingatnya, dulu Rindang tidak sedingin dan setertutup ini, gadis itu pernah beberapa kali berdiskusi perihal tugas dengannya dulu. Namun jika diingat lagi, sudah tidak pernah lagi sekarang.
"Gambar kamu bagus," puji Awan tulus. Kepalanya dengan sengaja melongok pada buku sketsa yang sedang dipegang sisinya oleh Rindang.
Reaksi yang ditunjukan oleh gadis di sebelahnya adalah, langsung menutup buku itu dan mendorong jauh dari Awan. Hal yang membuat Awan meringis setelahnya.
"Maaf, kamu engga suka kalau saya ikut lihat gambarnya ya?" tanyanya tidak enak.
Rindang bergeming, yang dilakukan gadis itu hanya menatap datar pada Awan sebelum kemudian membuang muka, mengambil tas miliknya, dan berpindah pada bangku yang lain.
Bangku yang jauh dari tempat Awan.
*
Harusnya Awan sudah duduk tenang di salah satu bangku perpustakaan setelah kelas berakhir. Namun apa dayanya saat Satria dengan paksa menariknya ke arah kantin dengan berbagai alasan dan Awan yang tidak sempat untuk menolak.
"Manusia tuh harus makan makanan, bukan buku pelajaran," cetus Satria ketika Awan memprotes tindakannya.
Yang bisa dilakukan Awan hanya memutar bola mata malas dan ikut memesan satu piring gorengan dengan sambal kacang, tidak berniat memesan makanan berat yang lain.
"Gue lihat lo ngajak ngobrol medusa, perbuatan yang sia-sia kan, Wan?"
Kening Awan berkerut dalam ketika mendengar ucapan Satria.
"Namanya Rindang, tolong jangan ganti nama orang seenaknya, Sat," tegurnya tegas.
Satria cengengesan, tangannya mencomot siomay dalam piringnya yang sudah berlumur sambal kacang dengan sambal pedas berwarna merah gelap.
"Semua orang manggil dia begitu soalnya. Dan kayaknya dia sendiri juga sadar kalau dia dapat julukan itu, tapi engga pernah protes," kilahnya tidak tahu malu.
Awan menggelengkan kepala pelan, merasa tidak senang dengan ucapan Satria.
"Dia bukannya engga mau protes, tapi dia tahu kalau itu pekerjaan yang percuma karena setelahnya kalian akan semakin ngomongin dia di belakang. Engga bagus banget itu, Sat," katanya.
Satria justru tertawa sambil mengangkat tangannya, "Iya deh, sudah banget deh kalau ngomong sama Pendeta. Nanti gue engga akan begitu lagi deh, seenggaknya di depan lo," balasnya.
Awan menyerah, dirinya hanya kembali menyantap gorengan miliknya tanpa perduli lagi dengan segala yang Satria ucapkan.
Ketika mulutnya terbuka hendak menelan sepotong bakwan, matanya menangkap keberadaan Rindang yang memasuki kantin dan duduk seorang diri di meja kosong yang tidak ditempati siapapun.
Kepalanya ia miringkan, matanya tanpa sadar mulai memperhatikan gadis itu dengan seksama diam-diam.
Jika dilihat sekilas, Rindang adalah gadis yang terlihat 'normal'. Rambut panjang berwarna coklat gelapnya, selalu diikat tinggi ke atas. Alisnya yang tipis itu, membuat wajahnya malah terkesan unik. Juga keningnya yang selalu berkerut, kerap kali membuat Awan ingin mengusap kening gadis itu untuk menghilangkan kerutannya. Lalu ketika pengamatannya jatuh pada bibir tebal gadis itu, Awan otomatis langsung menunduk. Dirinya merasa kurang ajar karena sudah memperhatikan Rindang hingga ke bagian yang tidak seharusnya. Bisa mati dirinya itu kalau Rindang sampai tahu.
"Lo engga dicariin sama Tata? Gue engga lihat dia seharian ini."
Fokusnya langsung teralih pada Satria yang bertanya perihal Permata.
"Engga tahu. Memangnya saya ini siapanya sampai harus selalu tahu kegiatan dia?"
Satria cekikikan, matanya menatap jahil pada Awan yang masih sibuk menghabiskan sekelompok gorengan di piringnya.
"Calon pacar? Atau bahkan udah jadi pacar? Kalian kan couple goals di jurusan kita, semua orang udah kasih restunya buat kalian," selorohnya.
Awan mendelik, "Udah dibilangin jangan ngomong sembarangan, Sat. Saya engga suka," protesnya.
"Cuma lo yang engga suka dijodohin sama bidadari jurusan, Wan. Padahal Permata itu kurang apa coba? Udah cantik, baik, pinter, banyak yang suka lagi. Coba aja dulu lah."
Awan menggeleng, merasa lelah padahal yang dia lakukan hanya berbicara pada Satria. Rasanya seakan apapun yang dia ucapkan tidak bisa didengar dengan baik oleh lawan bicaranya, dan Satria hanya akan mendengar apa yang ingin pria itu dengar saja.
Ketika Awan sudah berniat untuk bangun dan meninggalkan temannya itu, sebuah keributan terjadi di sisi dimana Rindang duduk tadi.
Mata Awan membulat tidak percaya melihat sosok gadis yang sejak tadi duduk sendirian itu, kini sudah dalam keadaan kotor dengan noda kopi s**u di seluruh bajunya. Sedangkan di sisi lain, tampak Fani yang memegang cup kopi kosong di tangannya.
Dari penglihatannya, Awan tahu betul apa yang terjadi. Maka tanpa pikir panjang, langkahnya langsung bergerak mendekati kedua gadis itu.
"Gue engga sengaja, dan gue udah minta maaf." Fani berujar dengan nada tenang.
Namun Rindang masih bertahan dengan duduk di kursi nya, hanya menatap datar pada Fani.
Entah untuk alasan apa, Awan seakan bisa menebak jika hal buruk akan terjadi kalau saja Rindang bangun dari duduknya. Sehingga dia mulai bergerak lebih cepat mendekati mereka, namun sialnya dia kalah cepat karena hal yang dia takutkan benar-benar terjadi.
Ketika Rindang bangun, posisinya terbalik saat kuah soto yang tadi ada di mangkok Rindang kini sudah sukses membalur tubuh Fani yang mematung karena terkejut.
Awan membeku, tatapannya menatap cemas ke arah dua gadis itu yang kini sudah menjadi pusat perhatian.
"Mangkoknya terlalu berat buat tubuh gue yang kurus, jadi maaf ya kalau gue engga sengaja numpahin kuahnya ke badan lo." Rindang berujar datar, sama sekali tidak menunjukan ekspresi berarti setelah menyebabkan seseorang menjadi lusuh karena kuah soto yang ia tumpahkan.
Sedangkan Fani yang tadi hanya bisa terdiam, kini menunjukan raut wajah yang mengerikan. Gadis itu berbalik dengan cepat, menyambar minuman dari seseorang yang ada di dekatnya dan hendak kembali melemparnya ke arah Rindang saat Awan bergerak lebih cepat dan menghambur begitu saja ke hadapan Rindang.
Minuman berwarna merah itu, kini sudah berpindah pada sweater biru laut yang ia kenakan, membuat suasana kantin menjadi lebih heboh.
"A-Awan, kenapa..kenapa lo?" Fani gelagapan, tidak menyangka jika Awan akan berdiri tepat di depan Rindang.
Sedangkan Awan, dengan santai menunduk menatap sweaternya yang berubah warna di beberapa bagian. Kemudian, dia menoleh ke belakang, dimana Rindang dengan bola matanya menatap dirinya dengan tidak percaya dan bingung.
"Kenapa kalian masih pakai cara begini buat nyelesaiin masalah? Kalian udah kuliah loh," tanyanya sedikit kesal.
Fani menunduk dengan wajah pias, merasa bersalah karena sudah membuat baju yang dipakai Awan kotor.
"Gue cuma..."
"Kalian bisa bicarain baik-baik. Engga harus begini, kan?" potong Awan.
Dia bergerak sedikit ke samping agar bisa menatap Fani dan Rindang dengan lebih jelas.
Kemudian gadis yang baru saja dia selamatkan dari noda soda berwarna merah itu, tersenyum miring menatapnya. Seakan apa yang baru saja Awan katakan adalah hal yang lucu dan pantas ditertawakan.
"Ngomong baik-baik itu cuma berlaku buat manusia yang dijuluki malaikat kayak lo dan pacar lo itu, bukan buat gue yang mereka panggil Medusa!"
Lalu setelahnya Rindang bergerak meninggalkan kantin dan semua orang yang mengumpatinya diam-diam.
**