2. Titisan Medusa

1577 Words
"Ish, kenapa musti sma cewek galak itu sih! Males banget gue sekelompok sama dia, dimarah-marahin terus yang ada," keluh seseorang dengan suara ditekan. Seseorang lain yang ada di hadapannya tampak tertawa dengan puas. "Syukurin! Makanya hidup tuh banyakin beramal biar engga kena sial! Gue udah pernah tuh sekelompok sama dia, gila aja tengah malem juga dia teror email gue minta buat dikirimin bahan tugasnya. Sampe mimpi buruk gue gara-gara dia," timpalnya. Temannya yang tadi itu tampak frustasi, ia kembali mengeluhkan tentang kesialannya berada di satu kelompok dengan orang yang paling ia hindari. lalu kemudian mereka buru-buru diam saat objek yang mereka bicarakan tiba-tiba memasuki kantin. "Liat tuh, percuma aja wajahnya cantik kalau sifatnya lebih kejam dari medusa. Boro-boro ada cowok yang naksir, ngelirik dia sebentar aja takut langsung berubah jati batu," bisik pria yang pertama. Pria yang kedua tertawa terbahak mendengar ucapan temannya itu. Lalu perhatian mereka teralihkan saat ada dua orang yang memasuki kantin dan sontak menjadi sorotan semua orang. "Nah, kalau liat yang ini mah bawaannya adem. Pasangan Malaikat yang baik hati dan suka menolong," puji pria pertama. Pria kedua menyetujui ucapan temannya. Siapa yang tidak tahu bahwa di jurusan mereka ada dua titisan malaikat yang akan selalu menuai pujian kemanapun mereka pergi. Si malaikat tampan dan juga si bidadari cantik. Begitu mereka biasanya menyebutnya. Sedangkan sesosok wanita yang tadi menjadi pembicaraan buruk kedua pria itu hanya diam menikmati makanan di hadapannya. Ia mendengar semua nya. Mendengar segala ucapan buruk yang ditujukan padanya dan segala pujian yang ditujukan pada dua orang yang baru saja datang ke kantin. Namanya Rindang. Nama yang diberikan kepala panti tempatnya di besarkan dulu. Sejak dirinya di adopsi oleh sebuah keluarga dan mengalami kejadian pahit, dirinya langsung berubah menjadi wanita yang tidak bisa didekati oleh siapapun. Rindang sudah biasa mendengar segala macam ucapan buruk atau bahkan umpatan dari sekelilingnya. Tapi ia merasa baik-baik saja, karena apa yang dia lakukan adalah apa yang dia bisa untuk melindungi dirinya sendiri. "Rin, gue kayaknya baru bisa besok deh nyerahin tugas bagian gue." Rindang mendongak dan menatap datar seorang teman sekelompok nya yang tampak mencolok dengan dandanan tebal yang menjadi ciri khas wanita itu. "Sebelum jam dua belas siang," jawab Rindang singkat. Wanita di depannya tampak mengangguk sebelum kemudian meninggalkan meja tempat Rindang makan. Rindang sempat mendengar dengusan dari wanita tadi dan gerutuan pelan yang mengomentari sikap menyebalkan nya. Tidak masalah, toh Rindang tidak akan berurusan dengan wanita itu tadi setelah tugas kelompok ini selesai. Rindang menghela nafas, ia bangun dari duduknya dan berjalan ke stand yang menjual bubur. Ibunya sedang sakit dan tidak ada yang merawat di rumah sehingga Rindang berniat untuk membelikannya bubur saja. "Ugh!" Rindang mengerutkan kening saat seseorang berbalik dengan cepat dan menabraknya. "Ah maaf, saya engga sengaja!" seru seorang pria yang tampak merasa bersalah ke arah nya. Rindang hanya menatapnya datar, dan langsung melewati pria itu tanpa mengatakan apapun. Dari sekali lihat saja Rindang langsung tahu, bahwa pria yang tadi menabraknya adalah si malaikat tampan yang sering diagung-agungkan oleh semua orang. Tipikal manusia baik hati yang mau-mau saja dimanfaatkan oleh orang lain, tipikal orang yang paling Rindang hindari. ** "Assalamu'alaikum!" seru Rindang saat memasuki rumah. Sepi. Seperti biasanya. Ia melepas sepatu dan berjalan masuk. Menaruh tas di sofa dan berjalan ke sebuah kamar yang pintunya tertutup. "Ma, Rindang bawain bubur. Mama makan dulu ya," ujarnya. Ia melangkahkan kaki mendekat ke arah seseorang yang sedang duduk bersandar di ranjang. Rindang membuka pelastik yang dibawanya dan membuka tempat styrofoam yang berisi bubur yang dibelinya. "Mama engga lapar," ujar wanita di hadapannya. Gerakan tangan Rindang yang sedang mengaduk bubur terhenti. Dia mengangkat wajah dan memasang senyum manis yang ia punya. "Tapi Mama harus makan, kalau engga makan nanti Mama engga akan sembuh," bujuk nya. Wanita yang ia panggil Mama itu justru memalingkan muka dan mengunci mulut rapat-rapat. Rindang mendesah pelan dan meletakan styrofoam itu ke atas nakas. "Nanti kalau Mama udah lapar, Mama makan ya buburnya," pintanya. Lalu ia bangkit dan keluar dari kamar yang ditempati ibu angkatnya itu. Dalam hidupnya, ada banyak hal yang Rindang tidak mengerti. Salah satunya adalah alasan kenapa keluarga ini mengadopsinya jika saat itu mereka bahkan sudah memiliki anak kandung yang tampan dan baik hati. Juga kenapa keluarga ini selalu memperlakukan nya acuh tak acuh walaupun memang di antara mereka tidak ada yang pernah merundung atau menyakitinya. Irene, ibu angkatnya dan juga Fadli, Ayah angkatnya berasal dari keluarga berkecukupan. Dulu mereka memiliki satu anak lelaki bernama Abigail yang sangat baik dan juga dewasa. Usia Rindang dan Abigail terpaut lima tahun saat keluarga ini membawanya masuk menjadi bagian dari keluarga mereka. Sejak pertama kali Rindang menginjakkan kaki di rumah ini, Irene dan Fadli sudah memperlakukannya dengan acuh. Mereka tidak pernah tersenyum lebar ke arah Rindang, berbeda saat mereka bahkan bisa tertawa lepas jika bersama Abigail. Sejak dulu Rindang selalu memikirkan apa sebenarnya alasan yang melandasi keluarga ini mengadopsinya di saat keluarga ini bahkan sudah bahagia tanpa kehadiran Rindang. Tapi Rindang selalu mengabaikan segala sikap acuh orang tua angkatnya karena dia cukup puas mendapatkan perhatian tulus dari Abigail yang selalu memanjakannya. Kakaknya itu selalu bersikap manis dan akan selalu tersenyum ke arah Rindang. Hal yang cukup menjadi alasan Rindang merasa bahagia ada di keluarga ini. Rindang melempar tubuhnya ke arah ranjang. Ia menutupi wajahnya dengan tangan dan berulang kali menghela nafas. "Kenapa waktu terasa lambat," gumamnya. Matanya terpejam. Otaknya memutar ulang beberapa kalimat menyakitkan yang ia dengar hari ini. Bibirnya tersenyum miring bahkan hingga mengeluarkan kekehan kecil yang terdengar mengerikan. "Manusia memang sampah," ujarnya. Ia melepaskan tangan dari wajahnya dan menatap langit-langit kamar yang tampak putih. "Mereka jagonya kalau soal nyakitin perasaan orang lain. Apalagi orang yang mereka anggap lebih lemah dari mereka," gumamnya lagi. Kemudian dia bangkit dari posisinya dan berdiri di depan pintu saat terdengar suara langkah kaki. Ia mengintip dari lubang pintu dan melihat Irene yang keluar dari dalam kamar membawa styrofoam yang sudah kosong dan membuangnya di tempat sampah. Rindang tersenyum, ia merasa senang karena Mamanya menghabiskan makanan yang ia beli tadi meskipun harus menunggu Rindang meninggalkannya sendirian. "Cepat sembuh, Ma," gumamnya. ** "Bukannya gue udah bilang sebelum jam dua belas?" tanya Rindang pelan. Ia tengah berdiri di depan meja yang ditempati oleh Fani, temannya yang kemarin menemuinya di kantin. Fani tampak gugup ditatap datar oleh Rindang. Tapi melihat beberapa orang tengah menatap ke arah mereka, Fani berusaha memberanikan diri untuk melawan. "Iya. Tapi gue kan engga tahu bakalan ada urusan penting sampai gue engga sempat nyari bahan buat tugas kita," kilahnya. "Urusan penting apa?" tanya Rindang. Fani melebarkan matanya, ia tidak menyangka bahwa Rindang akan memberikan pertanyaan seperti itu padanya. "Ya..ya..adalah! Urusan pribadi, lo engga usah kepo dong. Gue janji sore ini pasti gue email tugas bagian gue!" elaknya. Ia tidak sadar bahwa dirinya sempat tergagap karena ditatap dengan dingin oleh titisan Medusa di hadapannya. Rindang menatap datar wanita di hadapannya. Ia sudah sering kali mendapati kejadian seperi ini, dan kali ini pun dia sudah berusaha memberi kesempatan pada Fani. "Oke. Kalau nanti sore lo tetap engga kirim tugas bagian lo, jangan salahin gue kalau besok nama lo engga akan ada di daftar nama kelompok," tegas Rindang. Ia lalu berbalik dan hendak kembali ke mejanya saat suara Fani menghentikan langkahnya. "Lo emang engga punya hati! Engga heran kalau orang-orang ngatain lo titisan Medusa!" hardiknya. Suasana kelas mendadak jadi hening ketika ucapan itu terdengar. Tidak ada satupun orang yang berani membuka mulut untuk menengahi suasana kelam yang melanda kelas mereka. Rindang tersenyum miring lalu berbalik badan kembali menghadap Fani. Ia bisa melihat tatapan menantang yang diberikan Fani kepadanya. "Buat apa gue ngasih hati dan pengertian gue buat orang-orang yang bahkan engga bisa menghargai kerja keras orang lain macam kalian?" tanya Rindang pelan. Ia melangkah lebih dekat, membuat Fani tampak menatap waspada ke arahnya. "Apa lo pikir gue engga tahu, kalau urusan yang lo punya sampai lupa sama tanggung jawab lo itu adalah pacaran dan jalan-jalan di pusat kota?" desisnya. Fani membulatkan mata. Ia tidak menduga jika Rindang akan mengetahui perihal ini. "Apa--apa maksud lo? Jangan asal tuduh ya!" elak Fani. Dia bahkan sampai bangun dari duduknya dan menatap tajam ke arah Rindang. Rindang tersenyum miring, ia melipat tangan di d**a dan menatap dingin lawan di depannya. "Kayaknya emang benar, kalau bodoh itu engga ada obatnya. Seisi fakultas sastra tahu fakta tentang lo yang sering bolos kuliah cuma demi nemenin pacar lo kemana-mana, Fan. Dan lo masih berpikir kalau gue engga tahu soal itu cuma karena gue engga masuk ke sirkel manapun di kampus ini?" Fani semakin gugup. Niatnya ingin mempermalukan Rindang dengan menguak sisi tidak berempati Rindang, kini berbalik membuatnya menjadi bahan cibiran wanita galak di depannya ini. "Terus apa masalahnya kalau gue nemenin cowok gue jalan?! Gue cuma telat nyerahin tugas dan lo bikin gue malu kayak gini!" cecar Fani, ini adalah cara terakhir yang ia pilih untuk tetap membuat Rindang menjadi pihak yang dipersalahkan walaupun sebenarnya ia merasa sedikit takut saat bertatapan dengan mata Rindang yang menyorotnya tajam. Rindang berdecih pelan, bisa-bisanya wanita menor di depannya ini mencoba memainkan peran sebagai korban. Ia kembali maju satu langkah dan berniat membalas perkataan Fani saat seseorang tiba-tiba menyela dengan suara berat dan lembut. "Ada apa ini? Kenapa kalian bertengkar?" Semua orang sontak menoleh ke sumber suara. Termasuk Rindang dan Fani yang menjadi biang dari pertengkaran yang dimaksud. Rindang berdecak pelan dan langsung melengos pergi saat ia mendapati orang yang menyelanya barusan adalah Awan, si Malaikat tampan pujaan semua orang. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD