3

2547 Words
  Pradana dan Vio sampai di halaman parkir di sebuah rumah sakit swasta tepal pukul delapan malam, mereka akan menjenguk Riana. Beberapa jam yang lalu Dion mengabari Vio bahwa sahabatnya itu sedang menjalani rawat inap dan saat bersama Pradana juga mendengar pemberitahuan tersebut karena mereka berada di lokasi proyek berdua. Mereka langsung berangkat menuju rumah sakit dari lokasi proyek yang jaraknya lumayan jauh, membutuhkan waktu tempuh sekitar dua jam. Pradana tampak khawatir, dia ingin segera bertatapan muka dengan mantan kekasihnya itu. Mengetahui keadaan Riana secara langsung. "Ciee, sahabat gue ini lagi sakit," kentara Vio ketika baru saja memasuki ruang inap yang ditempati Riana. Pradana mengekor di belakangnya. "Vio!" seru wanita itu terlihat senang akan kehadiran sang sahabat. Namun, ekspresi diwajahnya berubah saat mendapati Pradana juga ikut datang menjenguknya. "Long time not see you," ucap Pradana tanpa canggung. Berbeda dengan Riana yang terlihat tak nyaman. Dia sadar betul jika Dion tidak menyukai kehadiran mantan kekasihnya itu. "Iya. Kita sudah lama tidak bertemu," balas Riana berusaha menghindari kontak mata. Padahal Pradana terus saja memandang ke arahnya. "Udah baikan enggak lo, Riana? Ratu es bisa sakit juga ternyata." tanya Vio dengan gaya santainya. "Belum baikan sih," jawab Riana apa adanya. Dia tidak bisa berbohong di hadapan Vio. "Makanya banyakin istirahat. Biar kondisi lo dan calon keponakan gue bisa cepat sehat," pesan sang sahabat. Riana mengangguk pelan. "Eh, Dion mana? Lo sendiri di sini?" tanya Vio lagi. Mendadak Pradana mengepalkan tangannya. Dia muak mendengar nama bocah tengik itu. "Dia lagi beli makanan," balas Riana. Baru sekitar 15 menit yang lalu Dion pergi untuk membeli makanan di kantin rumah sakit. Sedari tadi laki-laki itu belum sempat makan karena sibuk mengurus dirinya. Lama-lama dia merasa semakin menyusahkan Dion saja. "Kirain dia kemana," tanggap Vio masih dengan gaya santainya yang khas. "Oh ya pasti Dion yang ngasih tahu kamu kalau aku lagi dirawat," tebak Riana. Sahabatnya tersebut mengangguk mengiyakan. Sedangkan, telinga Pradana kian memanas ketika nama bocah itu terus-menerus disebut. "Iya, dia ngabarin gue tadi. Makanya lo ingat jaga kesehatan Non!" seru Vio sambil mengacak rambut sang sahabat tanpa segan. "Apaan sih lo, Vio! Udah dewasa masih aja suka ngacak rambut gue!" sisi lain Riana muncul. Dia hanya menggunakan kata 'gue-lo' pada Vio saat merasa kesal akan tingkah sahabatnya yang suka mengacak-acak rambutnya tanpa berperasaan itu. "Hahahaha, habis gue gemas. Ya, hitung-hitung lo belum resmi menjadi seorang ibu ya gue masih punya kesempatan buat ngacak rambut lo. Nanti kalau keponakan gue udah lahir, gue akan berubah menjadi Om yang baik dan itu artinya gue harus berhenti ngacak rambut lo," kata Vio blak-blakan. "Sasmita sama Indria udah datang jengukin lo, enggak?" lanjut Vio dengan sebuah pertanyaan. Riana menggeleng pelan. "Belum. Mungkin besok." "Ya udah, besok biar gue ajak Sasmita ke sini," balas Vio disertai seringaian yang hanya dimengerti oleh mereka berdua. Riana pun tertawa kecil. "Modus terus," komentarnya kemudian. Pradana asyik menikmati candaan antara dua sahabat ini. Dulu saat masih berpacaran dengan Riana, dia terbiasa melihat interaksi mereka tanpa timbul rasa cemburu. Jauh berbeda dengan apa yang dia rasakan pada bocah bernama Dion itu. "Kapan kamu mau nikah? Jangan jadi playboy terus," ingat Riana. Vio malah tertawa. "Hahaha, gue belum pengin nikah. Calon istri gue nolak mulu. Eh, sekarang ada teman senasib, jadi gue betah-betah aja," jawabnya sambil menoleh ke arah Pradana. "Iya, lo benar kita senasib karena calon istri gue malah nikahnya sama orang lain. Puas lo?" Pradana menanggapi ucapan Vio dengan maksud yang tersirat. Tentu Riana paham. "Hahaha, lo kok jadi curhat?" Vio mengejek. "Lo yang mancing gue duluan," balas Pradana tak acuh. Fokusnya terus tertuju pada wanita yang masih ia cintai sampai sekarang. "Haha, sensitif banget lo!" seru Vio masih dengan tawanya. Dia suka menguji emosi sahabatnya yang paling sensitif jika sudah menyangkut Dion dan Riana. "Kayaknya handphone gue ketinggalan di mobil lo. Mana kunci mobil lo? Gue mau ambil handphone dulu kali aja gebetan gue ada yang nelepon," cerocos Vio. Pradana kemudian menyerahkan kunci mobilnya. Dengan langkah cepat pria itu berjalan keluar dari ruang inap. Kini yang ada di dalam hanya mereka berdua, ya Riana dan Pradana. Kecanggungan pun tak bisa dicegah. "Udah makan? Wajah kamu pucat." Pradana bertanya. Dia tahu Riana sedang berusaha menjaga jarak dengannya. "Udah kok," balas wanita itu memilih tetap tidak menatap ke arahnya. Kecewa, ya dia kecewa karena Riana dengan cepat bisa melupakan kenangan yang sempat mereka lalui selama kurang lebih enam tahun. Jujur, dia bukanlah tipe yang mudah jatuh cinta pada seseorang. Apalagi, dengan phobia yang dia alami, Riana merasa takut menjalin suatu hubungan. Dulu saja dia membutuhkan waktu dua tahun untuk dapat menerima Pradana sebagai kekasihnya. "Cepat sembuh ya. Aku khawatir lihat kamu sakit kayak gini," kata Pradana. Kecemasannya memang tak mampu terelakkan sejak pertama kali dia mendengar kabar bahwa Riana masuk rumah sakit. Ingin rasanya saat itu pula dia menjenguk wanita yang masih mengisi relung hatinya tapi sikap profesional dalam bekerja di lokasi proyek membuat Pradana harus mengurungkan niatannya tersebut. Dia belum mampu merelakan Riana sepenuhnya menjadi milik orang lain. "Iya. Makasih." Balas wanita itu sembari tersenyum ke arahnya. Sebuah senyuman yang dulu sering diperlihatkan oleh Riana padanya. "Apa dia jagain kamu dengan baik?" tanya Pradana. Sebenci apa pun dirinya dengan bocah tengik itu, dia berharap Dion bisa menjaga dan tidak membuat Riana terluka. Jika hal tersebut sampai terjadi, dia tak akan pernah ragu untuk merebut kembali wanita ini. "Iya, dia selalu menjagaku dan calon anak kami dengan baik," jawab Riana apa adanya. Mendadak pria itu merasakan sesak di dadanya. "Syukurlah. Aku harap kamu bisa terus tersenyum dan bahagia hidup dengannya. Aku enggak mau lihat kamu sedih ataupun menangis," harap Pradana. Riana menggigit bibir bawahnya, perkataan pria yang kini duduk di kursi samping ranjang pasti selalu mampu menusuk hatinya. "Kamu juga harus hidup bahagia, Pradana. Ya, memperoleh kebahagiaan dalam hidup kita masing-masing," ucap Riana menekankan. Tatapan mereka berdua bersinggungan. Riana, kamu masih menyimpan rasa cinta itu kan? Tapi, kenapa kamu senantiasa berusaha menyembunyikannya dariku? Pradana bertanya-tanya. "Bahagia? Kebahagiaan yang selalu aku impikan sekarang hancur tak bersisa. Entahlah, aku ragu bisa menemukan kebahagiaan seperti yang pernah aku rasakan," ungkap Pradana mulai terpancing dengan perasaannya sendiri. "Pasti ada kebahagiaan untukmu dan jauh akan lebih berarti dari apa yang pernah kamu rasakan sebelumnya," balas Riana memberi ketegasan bahwa mereka tidak bisa kembali seperti dulu. "Mungkin," tanggap Pradana hanya dengan satu kata. Mereka masih beradu pandang. "Kamu harus percaya akan hal itu," Riana berucap sambil menyunggingkan senyuman sebagai seorang sahabat. Bagaimana aku bisa yakin kalau rasa sayang dan cintaku semakin besar padamu Riana? Tidakkah kamu mengerti? Pradana membatin. ..................... Dion mengurungkan keinginan untuk masuk ke dalam ruang inap ketika menyadari istrinya sedang mengobrol berduaan dengan sang mantan terindah. Dia kemudian memilih duduk di salah satu deretan kursi yang tersedia di depan ruang inap untuk menetralkan emosi dan rasa cemburu yang mulai menyelimutinya. Darimana dia tahu kalau Riana dirawat di sini? Sabar Dion, lo enggak boleh emosi.'Ingat Dion pada dirinya sendiri. Dia harus bisa mengontrol rasa cemburu dan ketidaksukaannya terhadap sosok mantan kekasih istrinya itu. Dia tidak boleh menunjukkan egonya sebagai pria di hadapan Riana saat ini, mengingat kondisi istrinya yang lemah dan tidak stabil baik secara fisik maupun psikis. Dia tak ingin memperburuk lagi kesehatan Riana. "Ngapain lo di sini? Kagak masuk?" tanya Vio sambil menepuk pundak Dion. "Eh, sejak kapan lo datang Vio?" Dion balik bertanya. Dia sedikit kaget tiba-tiba saja ada Vio duduk di sebelahnya. "Ya sekitar 30 menit yang lalu bareng Pradana. Tapi tadi gue habis ambil handphone yang ketinggalan di mobilnya dia. Lo enggak masuk ke dalam?" Vio mengulang pertanyaannya. Ternyata dia tahu dari Vio. Lo mesti sabar Dion, dia itu cuma mantan bagi Riana. Dion menyugesti dirinya lagi. "Biarinlah mereka berdua ngobrol dulu. Ntar gue malah ganggu kalau masuk," jawabnya. Tampak ada kecemburuan yang terdeteksi secara langsung dari ucapannya. "Emangnya lo kagak cemburu istri lo ngobrol bareng mantannya? Hahaha. Gue cuma becanda bro," Vio berucap dengan nada santai. "Gue pengin nanya sama lo," kata Dion mengabaikan ucapan yang tadi dilontarkan oleh sahabat istrinya itu. "Nanya apaan?" "Lo pasti tahu gimana hubungan mereka dulu, 'kan? Gue yakin lo tahu. Coba ceritain ke gue. Soalnya kalau gue tanya ke Riana dia enggak mau jawab," kata Dion. Pernah dia mencoba untuk mengulik hubungan sang istri dengan mantannya itu padahal dia sendiri tak suka Riana menyebut nama Pradana di depannya. Akan tetapi, tetap saja dia penasaran. "Haha, kenapa lo jadi pengin tahu? Aneh lo!" "Iya, gue pengin tahu aja. Gue merasa Riana masih nyimpan perasaan buat Pradana, gitu juga sebaliknya," cerita Dion. Dia merasa Vio sosok yang bisa dipercaya, walau mereka pernah terlibat perkelahian. "Makanya lo harus mampu ngebuat Riana jatuh cinta. Gue tahu kok Dion, lo itu sayang banget sama dia. Lagian lo berhak dapatin cinta Riana, lo 'kan suaminya. Dulu Pradana aja butuh waktu kira-kira dua tahun buat luluhin hati sahabat es gue itu. Dia sulit ditaklukan," kata Vio. Dion terkekeh. "Lo benar, dia itu kayak es. Dingin dan beku." Dia menambahkan. Giliran Vio yang tertawa. "Setahu gue mereka dulu pacaran ya putus-nyambung gitu. Pradana dan Riana udah dekat sejak SMA tapi baru pacaran pas kuliah. Beda kampus pula, gue dan Pradana ngambil jurusan Arsitektur," beri tahu Vio. "Pradana pernah bilang ke gue kalau Riana berarti banget buat dia karena sahabat gue itu selalu dukung dia. Dulu Pradana terpaksa masuk ke jurusan Arsitektur cuma nurutin perintah ayahnya yang kebetulan punya usaha di bidang properti. Dia sempat tertekan dan pengin mundur, tapi Riana selalu ada buat dukung dia. Akhirnya tuh orang bisa luluh juga. IPnya malah lebih gede dari gue," imbuh Vio. Dion mendengarkan dengan saksama. Dia menarik kesimpulan sendiri bahwa dulu Riana dan Pradana saling mendukung satu sama lain dalam mencapai impian masing-masing. Sedangkan, dirinya hadir di tengah-tengah mereka hanya sebagai pengacau. "Tenang lo, Dion. Gue bakal cegah Pradana kalau dia masih ingin ngerebut Riana. Gue enggak pengin aja dia melakukan hal yang kurang wajar untuk mempertahankan apa yang dia anggap sebagai cinta," tegas Vio. "Gue juga enggak bakal biarin hal itu terjadi," Dion beralasan. Dia akan mempertahankan Riana untuk selalu berada di sisinya. "Iyalah lo harus jaga pernikahan kalian. Tapi, awas aja lo berani nyakitin Riana. Gue bakal hajar lo lagi," ancam Vio dengan nada serius. Dion tak menjawab karena dia belum mampu memastikan jika Riana akan tetap terus bahagia hidup dengannya sebab mereka masih memiliki ego tersendiri. "Mending lo ikut masuk ke dalam bareng gue. Sekalian gue mau ngajakin Pradana pulang soalnya udah malam," ajak Vio. Dion mengiyakan. Mereka berdua lantas melangkah masuk ke dalam. Tatapan sendu Riana menyambut kedatangan mereka. Sedangkan, Pradana dan Dion saling melemparkan pandangan tidak suka satu sama lain. Bahkan, tangan Dion mengepal. Dia masih ingat ketika Pradana menyuruhnya untuk melepaskan Riana beberapa bulan yang lalu. "Eh, kayaknya kita mesti pulang deh. Gue ada acara jam sepuluh. Lagian udah cukup lama kita di sini. Kasihan Riana butuh istirahat," kata Vio pada Pradana. "Ok. Kalau gitu aku pamit ya, Riana. Kamu harus cepat sembuh." Pradana berpamitan. Dia bangkit dari kursi yang didudukinya. Wanita itu membalas dengan anggukan. "Cepat sembuh ya lo, Riana! Gue pulang dulu." Vio mengacak rambut sahabatnya sekali lagi. Riana hanya mendengus. "Tolong lo jagain dia." Pradana berpesan pada Dion dengan nada dingin. Suasana mendadak menjadi tegang. "Gue pasti jagain dia karena Riana adalah istri gue. Lo enggak usah khawatir," balas Dion tak kalah dingin. Dia dan Pradana masih saling melayangkan tatapan tajam. "Udah mending kita cepatan pulang. Gue pamit Dion. Ingat jagain Riana," ucap Vio berusaha memecah ketegangan. Dia merangkul Pradana dan menuntun sahabatnya untuk melangkah keluar. ...................... Riana menggeser tubuhnya ke tepian dan mengisyaratkan sang suami agar naik ke atas ranjang dengan ukuran yang cukup untuk mereka berdua tiduri tersebut. Dion langsung naik dan mengambil posisi duduk di samping istrinya. Riana menyenderkan kepalanya di d**a Dion. "Kok tiba-tiba jadi manja gini?" tanya laki-laki itu. Tidak biasanya Riana bersikap seperti ini. "Kamu enggak marah 'kan Pradana datang ke sini?" Riana mengajukan sebuah pertanyaan. Dia merasa bersalah karena tadi mengobrol berdua dengan Pradana. "Udah kamu jangan mikirin itu. Aku enggak marah kok. Dia 'kan cuma pengin jengukin kamu, Sayang," balas Dion berbohong. Dia memang tidak marah melainkan cemburu. "Kamu udah makan yang banyak 'kan tadi, Dion?" tanya Riana lagi sambil menatap suaminya. Dion mengangguk lalu menarik wanita itu agar bersender di dadanya, lagi. Perkataan Dokter Shella terngiang di benaknya. "Udah. Tadi aku makannya nambah biar punya energi lebih buat jagain kamu dan anak kita," jawab Dion kembali berbohong. Dia bahkan tak memiliki selera untuk makan tadi dan memilih hanya minum kopi. Tangan kanannya mengelus perut Riana dengan lembut. "Maaf aku cuma bisa ngerepotin kamu, Dion. Waktu ini karena phobia dan sekarang malah masalah kelainan rahimku yang membahayakan anak kita sendiri," kata wanita itu lirih. Dia sudah banyak menyusahkan Dion. "Makanya kamu harus cepat sembuh biar aku juga bisa manja-manjaan sama kamu, Sayang," balas Dion dengan nada menggoda. "Maaf ya aku bukan istri yang sempurna buat kamu. Aku banyak punya kekurangan." Riana makin terbawa perasaan. "Aku enggak pernah nuntut agar kamu menjadi istri yang sempurna. Aku nerima kamu apa adanya. Kamu hanya cukup jadi diri kamu sendiri, Sayang," sahut Dion berusaha menenangkan wanita itu. Dia tahu kemana arah pembicaraan istrinya. "Gimana kamu bisa nerima aku apa adanya? Aku bahkan sulit hamil lagi, Dion. Aku gak akan bisa melakukan tugasku sebagai seorang istri buat ngasih kamu keturunan." Isakkan Riana terdengar. Air matanya mulai membasahi baju Dion. "Siapa bilang kamu enggak akan bisa? Kenapa kamu jadi lemah kayak gini? Riana yang aku kenal itu wanita es yang dingin, tapi terlihat kuat dan mandiri." Nada suara laki-laki itu sedikit meninggi. Riana semakin terisak. "Seorang istri enggak akan bisa terlihat sempurna kalau dia enggak bisa ngasih keturunan untuk suaminya." Riana masih sulit menerima kenyataan tentang kelainan yang mendera rahimnya. "Kita enggak akan tahu rencana Tuhan itu seperti apa. Kita cukup berusaha dan selalu berdoa. Tuhan yang menentukan, Sayang." Dion mencoba memberi pengertian pada istrinya. Dia tahu hal ini tidak mudah bagi Riana. "Di luar sana masih ada banyak perempuan yang lebih sempurna buat kamu, Dion," kata wanita itu lirih. "Jangan menyuruhku untuk meninggalkanmu! Kita akan menghadapi masalah ini bersama." Nada suara Dion kembali meninggi. Riana bungkam. "Maaf Riana. Aku tidak bermaksud membentakmu. Tolong jangan pernah berpikiran seperti tadi lagi. Kamu harus tenang supaya kondisi kamu dan anak kita gak memburuk," pintanya sambil memeluk erat tubuh mungil sang istri. "Kamu itu bukan wanita yang lemah. Kamu pasti bisa Riana," lanjut Dion. Kemudian, dia merebahkan wanita itu dan menghapus air mata yang terus mengalir di pipi tirus Riana. "Maafkan aku, Dion. Aku enggak bisa buat kamu bahagia." Sang istri masih saja terbawa emosi. "Udah. Sekarang kamu tidur jangan pikirin hal lain yang enggak penting. Aku mencintaimu, Sayang," ucap laki-laki itu dengan nada lembut. Dia ikut berbaring dan mendekap erat Riana yang mulai memejamkan kedua matanya. ............................. Kegiatan tidur Dion terusik karena mendengar suara menahan sakit yang keluar dari bibir Riana. Keringat juga menghiasi wajah wanita itu. Namun kelopak mata sang istri masih tertutup rapat. "Kamu kenapa, Sayang?" tanya Dion dengan kecemasan yang tidak mampu dia sembunyikan kali ini. Riana belum menjawab. "Riana kamu kenapa? Bagian mana yang sakit? Beri tahu aku," Dion bertanya lagi. Dia mengusap keringat yang semakin banyak membanjiri wajah wanita itu. "Sakit, Dion! Perutku sakit," jawab Riana kesakitan sambil memegangi bagian perutnya di balik selimut. Dengan panik dia menyibakkan selimut yang menutupi tubuh istrinya tersebut. "Ya Tuhan! Darah!" Dion sangat terkejut mendapati cairan berwarna merah merembes di atas sprei kasur.. ................. l  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD