Chapter 5

1596 Words
Erika terlihat masih setia membenamkan dirinya seutuhnya di dalam selimut tebal berwarna emas miliknya. Kamarnya terasa lebih dingin dari biasanya, pasti karena tadi malam ia lupa menyalakan penghangat ruangan padahal sekarang sudah mulai memasuki musim dingin. Tapi meskipun begitu, tidur gadis cantik itu sama sekali tidak terusik, ia malah terlihat semakin terlelap.  Arin menyembulkan kepalanya ke dalam kamar Erika saat berhasil membuka pintunya. Ia memutar bola matanya jengah saat melihat pemandangan yang tidak begitu asing lagi baginya. Sebenarnya ia bingung ia bekerja sebagai apa untuk Erika. Ia bahkan terlihat seperti pengasuh bayi besar itu yang selalu harus memastikan bahwa ia bangun di pagi hari dan kembali ke rumah di malam hari.  Erika melangkah mendekati jendela besar yang menutupi satu sisi dinding kamar Erika kemudian membuka gordennya membiarkan sinar matahari masuk. Seperti dugaannya, gadis itu sama sekali tidak bergeming. Ia memutuskan untuk menarik selimut Erika, terlihat sedikit pergerakan. "Bangunlah Nyonya Erika, apa kau tidak berniat ke kantor." "Tidak," terdengar sahutan. Erika menjawab dengan masih memejamkan matanya.  "Kau baru dua kali datang ke kantor dalam minggu ini, bahkan itu hanya setengah hari. CEO macam apa kau ini," omel Arin mengingatkan bahwa benar adanya, Erika baru datang ke kantornya 2 hari dalam minggu ini. Selebihnya ia meminta Arin untuk membawa berkas-berkas ke mansionnya dan akan ia periksa jika ia ingin. Ingat! jika ia ingin. Gadis itu selalu bekerja semaunya. "Aku tidak datang ke kantor bukan berarti aku tidak bekerja," ucap Erika lagi buka suara. "Benarkah? jadi apa yang akan kau kerjakan hari ini?" tanya Arin penarasan. Ia berdiri di samping ranjang Erika, melipat kedua tangannya di depan d**a dan menunggu jawaban dari Erika selanjutnya. "Aku akan mencari ekstrak terbaru yang cocok untuk campuran parfum yang akan keluarkan di edisi selanjutnya." "Ah benarkah? sekretaris kau bilang, hari ini kau tidak ada kegiatan di luar kantor. Ia bahkan sudah menunggumu di kantor." "Aku tidak akan pergi dengannya." "Lalu dengan siapa kau akan pergi?" "Julian." Dahi Arin mengernyit mendengar nama yang disebut oleh Erika. Julian? bukankah ia adalah selebritis yang menjadi Brand Ambassador produk mereka? apakah mereka sudah sedekat itu hingga ia mau pergi dengan Erika? "Julian? Ku pikir dia sangat sibuk, apa ia masih punya waktu untuk itu? bagaimana cara kau membujuknya? bukankah ia sangat tidak suka denganmu?" Erika membuka matanya dan duduk dari tidurnya. Ia menatap Arin tidak suka. Apa yang baru ia katakan? Julian tidak menyukainya? yang benar saja, ia bukannya tidak suka, hanya saja belum suka. "Aku akan memikirkan caranya nanti saat aku menghubunginya." "Jadi kau belum memberi tahunya? wah, kau sangat percaya diri sekali dia akan menerimanya." "Kita lihat saja." Erika menatap Arin sengit. Arin hanya mengangkat bahunya acuh. "Bisakah kau keluar dari kamarku? aku tidak membayarmu untuk bersantai-santai disini." Arin mencibir mendengar ucapan Erika. Ia berucap seolah-olah tidak membutuhkan Arin, padahal ia sangat takut jika Arin tidak mau lagi bekerja dengannya karena tidak akan ada yang bisa memahaminya melebihi Arin. Arin melenggang keluar dari kamar Erika, tapi saat ia mengingat sesuatu, ia kembali berbalik. "Oh iya, Ford Mustang mu pesananmu sudah datang. Bagaimana bisa kau tiba-tiba membeli mobil?" "Ah benarkah? aku kemarin melihat-lihat mobil, jadi aku iseng saja membelinya." Arin menggelengkan kepalanya pelan melihat tingkah sepupunya yang selalu membuatnya pusing itu. Ia bahkan bisa tiba-tiba mengeluarkan uang dengan jumlah yang sangat besar tanpa berpikir dua kali. Tapi jika dipikir lagi tidak ada salahnya juga, uangnya bahkan sepertinya tidak akan pernah habis. Arin pun kali ini benar-benar keluar dari kamar Erika. Sepeninggalan Arin, Erika mencoba meregangkan otot-otonya. Ia mengikat rambutnya yang tergerai semalaman. Gadis itu mengambil ponselnya di nakas. Ada beberapa panggilan dan pesan dari pekerjanya yang tentu saja tidak akan ia periksa sekarang. Ia langsung mencari nama seseorang dan mencoba menghubunginya. Tidak ada jawaban, Erika terus mencoba menghubunginya bahkan hingga 5 kali. Gadis itu berdecak kesal, bisa-bisanya ia masih tidak mengangkat telfon dari Erika setelah diberi peringatan saat itu. Benar-benar pria tampan yang keras kepala. Erikapun bergegas untuk mandi dan bersiap-siap, ia akan mencoba menghubunginya lagi nanti.  *** Erika melenggang dengan percaya dirinya memasuki sebuah gedung. Dress berwarna hitam selutut yang dibaluti long coat berwarna coklat muda terlihat sangat pas di tubuhnya. Ia juga memberikan aksesoris terupa topi baret untuk menutupi kepalanya dengan rambut panjangnya yang ia biarkan terurai membuat penampilannya semakin sempurna di musim dingin ini. "Dimana Julian?" tanya Erika saat sudah memasuki ruangan yang menjadi tujuan utamanya. Ia bertanya pada salah seorang yang berlalu lalang. Orang itu tampak mengernyitkan dahinya bingung melihat seseorang yang baru datang dan langsung menanyakan keberadaan Julian. "Aku sepupunya, dia memintaku kesini," bohong Erika. "Oh, ia sedang berganti pakaian." Tanpa mengatakan apapun, Erika langsung berlalu pergi.  Ia mengedarkan pandangannya mencari dimana tempat Julian berada. Ia tersenyum kecil saat melihat ruangan khusus di sudut ruangan yang luas ini. Itu pasti tempat berganti pakaiannya. Langkah Erika berhenti di depan pintu, disana terlihat seorang wanita yang berdiri. Erika bisa menarik kesimpulan bahwa wanita itu pasti fashion stylist yang membantu Julian dalam pemotretan yang dijalankan pria itu hari ini. "Manager Han mencarimu," kata Erika pada wanita itu saat ia menyadari kehadiran Erika di hadapannya. "Benarkah?" Erika mengangguk pasti. "Ah baiklah, permisi." Erika tersenyum simpul saat berhasil membuat stylist itu pergi.  Erika langsung memasuki ruangan ganti yang untung tidak dikunci itu. Julian pasti tidak sengaja menggantinya karena tidak berpikir bahwa akan ada yang dengan nekat masuk seperti yang dilakukan Erika sekarang. Julian yang baru saja membuka kemejanya yang tadi ia pakai saat menyadari seseorang masuk ke dalam ruangannya.  "Ka.. Kau?!" Julian sampai tergagap sangkin kagetnya dan menyadari siapa yang ada di hadapannya sekarang. "Kenapa kau masih tidak menjawab telfonku?" tanya Erika kesal. "Apa kau sudah gila? apa yang kau lakukan disini." "Bukankah aku sudah memperingatimu untuk tidak mengabaikanku?" Julian terlihat sangat frustasi sekarang. Gadis ini ternyata lebih nekat dari yang ia pikirkan. "Gak tidak bisa datang ketempat kerjaku sembarangan seperti ini." "Tentu saja aku bisa. Aku bisa melakukan apapun yang aku mau, itu karena kau..." ucapan Erika langsung terhenti saat tiba-tiba Julian membungkam bibirnya dengan bibir milik Julian yang membuat Erika membelalakkan matanya tidak percaya. Tubuhnya bahkan sampai terpojok ke dinding karena tiba-tiba Julian mendorongnya dan langsung menciumnya. Tidak ada lumatan ataupun sebuah decapan, bibir keduanya hanya menempel begitu saja. Untuk sesaat tubuh Erika membeku begitu juga dengan Julian. Namun setelah beberapa saat, Julian melepaskan bibirnya dari bibir Erika. Wajahnya terlihat sangat serius melihat ke arah pintu ruangan. Ia bernafas lega saat langkah kaki yang tadi ia dengar sudah tidak terdengar lagi. Sepertinya ada seseorang yang lewat tadi. Oleh karena itu Julian refleks membungkam mulut Erika yang tiada henti berceloteh.  Julian mengalihkan pandangannya dan kini menatap Erika yang tengah menatapnya dengan jarak yang begitu dekat. Wajah Erika masih terlihat terkejut. Untuk sesaat Julian menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Kenapa ia begitu bodoh, bukankah ia bisa menggunakan tangannya untuk membungkam bibir gadis ini? kenapa ia malah menggunakan bibirnya, memalukan sekali. Baru saja Julian ingin menjauhkan tubuhnya dari Erika, Erika langsung menarik tengkuk pria itu hingga membuat bibir mereka kembali menempel. Sekarang tidak hanya sekedar menempel, Erika sengaja melumat bibir Julian yang ternyata lebih manis dari yang bayangkan. Untuk sesaat Julian terdiam terpaku, namun setelah beberapa saat, entah atas dorongan apa ia membalas ciuman Erika. Keduanya terlihat saling menikmati decapan masing-masing atas bibir manis yang masih asing bagi keduanya. Namun tidak berlangsung lama hingga Julian menjauhkan dirinya dari Erika. "Keluarlah." "Aku tidak akan keluar sampai kau berjanji kali ini untuk menjawab telfonku." Erika berkata sembari mengelus d**a Julian yang terlihat sangat berotot. Tubuhnya ternyata luar biasa bagusnya. Julian menatap kearah badannya yang masih terbuka. Lagi-lagi ia merutuki dirinya sendiri, bagaimana bisa ia lupa bahwa ia belum memakai kembali bajunya. "Aku berjanji akan menghubungimu," kata Julian kemudian menepis tangan Erika agar menjauh dari tubuhnya.  "Baiklah, aku akan menunggumu," balas Erika senang. Sesuai dengan permintaan Julian, Erika pun bergegas keluar dari ruangan itu. Namun sebelum ia benar-benar keluar, ia kembali menoleh pada Julian. "Ternyata kau sangat ahli dalam berciuman," kata Erika dengan nada menggodanya. Ia sempat mengedipkan sebelah matanya sebelum benar-benar keluar. Julian mengusap wajahnya kasar setelah kepergian Erika. Gadis itu ternyata sangat berbahaya.  *** "Aku benar-benar akan melaporkanmu ke pihak agensi jika kau sekali lagi membocorkan tentang jadwalku pada wanita gila itu," kesal Julian kemudian meneguk ice americano-nya.  "Ah kau jangan seperti itu Julian. Bukankah kita sudah seperti kakak dan adik, kau tidak mungkin setega itu. Lagi pula Erika tidak mungkin mengangguk jadwalmu." "Apanya yang ti..." kalimat Julian tertahan. Ia tidak mungkin memberi tahu pada managernya itu tentang apa yang terjadi tadi. Membayangkannya saja membuat Julian sangat malu sekaligus kesal. "Pokoknya aku tidak ingin kau melakukannya lagi dengan alasan apapun." "Baiklah," balasnya pasrah. Ia terlihat mengecek beberapa email yang masuk di ponselnya sembari menunggu Julian yang ingin bersantai di salah satu kafe usai pemotretannya hari ini.  "Apa sudah ada yang menghubungimu?" tanya Julian pada manager Han membuat pria itu kembali menatap Julian. "Menghubungi soal apa?" tanyanya tidak mengerti. "Orang yang mungkin mengenalku." "Ah tentang itu. Belum, kau tenang saja, jika ada aku pasti langsung memberi tahu padamu. Bersabarlah," katanya. Julian menghembuskan nafasnya kasar. Ia rasanya bahkan sudah sangat sabar. Sesaat kemudian tiba-tiba ponsel Julian berdering. Rasanya ia ingin sekali menghempaskan ponselnya sekarang melihat siapa yang menghubunginya. Tapi sesaat kemudian ia menjadi mengingat tentang satu hal, jika ia tidak menjawab, gadis itu bisa saja melakukan hal yang lebih nekat lagi. Akhirnya dengan terpaksa Julian mengangkatnya. "Halo." "..." "Aku sedang sibuk." "..." "Baiklah, berikan alamatmu." Julian langsung mematikan sambungan telfonnya. Ia langsung menatap manajer Han tajam sedangkan yang ditatap terlihat pura-pura sibuk dengan ponselnya. "Kau benar-benar tidak bisa diandalkan." Julian mengambil coatnya di samping kursinya kemudian berlalu pergi keluar dari kafe. Manajer Han hanya terkikik melihat kepergian Julian. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD