Chapter 4

1690 Words
Julian bedecak kesal saat seseorang menekan bel apartemennya dengan begitu tidak sabaran. Lagi pula siapa yang datang malam-malam begini, mengganggu saja. Julian yang tadinya sedang berolah raga menggunakan treadmill-nya langsung segera bergegas membukakan pintu agar suara bel itu berhenti. Pupil Julian membesar saat pintu sudah terbuka dan memperlihatkan siapa yang berada di hadapannya kini. Ini mencoba mengedipkan matanya beberapa kali memastikan bahwa ia tidak salah lihat. "Hai... senang bertemu lagi," kata orang itu kemudian berlalu begitu saja memasuki apartemen Julian. Julian yang tadi sempat membeku langsung tersadar dan segera menahan lengan wanita cantik itu untuk yang hendak langsung melihat-lihat apartemen Julian. "Apa yang kau lakukan disini?" "Tentu saja menemuimu karena merindukanmu. Kau tidak pernah mengangkat telfonku, jadi aku datang saja. Ternyata apartemenmu lumayan besar juga." Wanita itu melepaskan tangannya dari pegangan Julian kemudian melihat-lihat ke sekeliling. "Dari mana kau tau alamatku?" "Manajer Han." Dalam hati Julian merutuki manajernya itu. Bisa-bisanya ia memberikan alamatnya pada sembarang orang. Meskipun Julian dan wanita ini saling kenal, tapi ia adalah orang yang paling Julian hindari saat ini. Bahkan meskipun ia sudah mendapati nomor ponsel Julian, Julian sama sekali tidak berniat untuk mengangkatnya saat ditelfon. Tentu saja wanita itu adalah Erika. Siapa lagi yang akan bertingkah nekat seperti ini jika bukan dia. "Aku bawa pizza, bagaimana jika kita makan bersama. Kau pasti belum makan malam." Erika memperlihatkan kotak berisi pizza yang ia bawa. "Pulanglah. Aku tidak ingin kau ada disini." "Aku tau kau suka aku disini." Menghiraukan ucapan Julian, Erika langsung duduk di meja makan dan membuka kotak pizza yang ia bawa. Julian berdecak kesal, wanita ini benar-benar keras kepala. "Kau mau? Aku bisa menyuapimu." Erika menyodorkan pizza yang sudah ia makan satu gigit kepada Julian yang kini berjalan menghampirinya. "Aku tidak ingin kasar, jadi lebih baik kau bisa pergi dengan sendirinya dari sini." "Tidak sopan menyuruh orang pergi saat sedang makan. Setidaknya biarkan aku menghabiskan semua pizza ku. Apa kau sedang diet?" Julian benar-benar tidak habis pikir bagaimana gadis ini bisa begitu keras kepalanya dan mengabaikan semua ucapan Julian. "Wah, lenganmu bagus sekali. Pasti kau sering berolah raga." Tangan Erika terulur mengelus lengan Julian yang saat itu sedang memakai kaos tanpa lengan. Erika terlihat menatapnya takjub dan mengelus setiap inci bagiannya. Julian dengan cepat menepis tangan gadis itu membuat Erika mengerucutkan bibirnya kesal. Merasa akan sia-sia berbicara dengan Erika, Julianpun memutuskan untuk menuju kamarnya dan mandi. Ia akan menganggap seolah-olah Erika tidak ada, meskipun kenyataannya memikirkan bahwa Erika kini ada di apartemennya membuat darahnya mendidih. Ia benar-benar kesal malam ini. Besok ia akan memberi perhitungan pada manajernya itu. *** Julian kembali berdecak kesal untuk kesekian kalinya saat keluar kamar dan masih mendapati Erika di apartemennya. Bahkan kini ia sedang duduk santai di sofa sembari menonton film. "Ayo kita menonton bersama," ucap Erika menyadari kedatangan Julian. "Apakah kau benar-benar tidak akan pulang?" Erika mengangguk cepat. "Sebenarnya apa yang salah denganmu? Kenapa kau sangat suka menggangguku? Kita baru bertemu beberapa kali, tapi kau sudah bersikap seenaknya." Julian melipat kedua tangannya di depan d**a merasa sangat jengah melihat Erika. "Akukan sudah bilang padamu, bahkan sejak pertama kali kita bertemu. Aku suka padamu, dan itu artinya kau adalah milikku. Jadi tidak ada yang salah," balas Erika santai. Kali ini Julian mengusap wajahnya kasar. Berbicara dengan Erika benar-benar hanya mengabiskan tenaga dan menguras emosi. Sebaiknya ia kembali ke rencana awal, menganggap gadis itu tidak pernah ada. Julian mengambil naskah dramanya kemudian mengambil minuman bersoda di dalam kulas dan bergegas menuju balkon untuk membaca naskah itu. Ia mendapatkan tawaran bermain serial drama terbaru. Sebenarnya ia belum menerimanya, oleh karena itu Julian perlu mempertimbangkan dari jalan ceritanya. Diam-diam Erika memperhatikan gerak gerik Julian. Ia langsung berinisiatif untuk menyusul Julian ke balkon. "Apa yang sedang kau lakukan?" Hening, tidak ada jawaban. "Apa yang sedang kau baca?" Tetap hening. "Julian!!! Aku tidak suka diabaikan!" Erika berteriak di hadapan Julian, dan berhasil. Kini Julian menatapnya. Julian bangkit dari duduknya dan berdiri di hadapan Erika. Nafas Erika sempat tertahan saat Julian terasa terlalu dekat dengannya. Sial sekali wajah tampan Julian yang sangat pas sebagai aktor itu membuatnya sangat berdebar. "Kau tidak diinginkan disini, jadi jangan menuntut aku untuk meresponmu," katanya dengan suara berat khasnya. "Kau yakin tidak menginginkanku? Harusnya kau tidak gegabah mengatakan hal itu. Kau bukannya tidak menginginkanku, tapi belum menginkanku." Erika semakin mengikis jarak di antara mereka hingga membuat Julian mendur perlahan untuk tetap memberi jarak. Ia ingin tahu apakah dirinya benar-benar tidak menarik di mata Julian. Dengan jarak sangat dekat seperti ini, Erika bahkan bisa merasakan hembusan nafas Julian menerpa wajahnya. Mata Erika turun pada bibir Julian yang sedikit terbuka. Bibir itu terlihat sangat kenyal. Erika mendekatkan wajahnya pada Julian berusaha menjangkau sesuatu yang kenyal dan sangat ia inginkan itu, tapi dengan cepat Julian memalingkan wajahnya. Erika tersenyum simpul, meskipun menolak, Erika tahu bahwa tadi Julian sempat terbuai. Bahkan sekali Erika menangkap basah Julian melirik ke arah bibirnya. Erika menjadi penasaran, sampai kapan Julian bisa menahannya. Tidak ada pria yang bisa menahan pesona Queena Erika. "Baiklah, aku akan pulang. Jangan mengabaikan telfonku lagi atau aku akan lebih nekat dari ini." Erika mengedipkan sebelah matanya kemudian berlalu dari hadapan Julian. Julian kembali terduduk. Menghadapi Erika ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Entah kenapa gadis itu terlihat sangat gencar mendekatinya. Caranya terbilang cukup ekstrim dan terang-terangan. Jika sudah begini, Julian harus lebih waspada. Ia meneguk minuman soda yang tadi ia ambil kemudian memutuskan untuk kembali fokus pada naskah miliknya. Ah Erika mengacaukan konsentrasinya malam ini. *** Erika menatap lurus ke arah dinding kaca ruang kerjanya yang menampilkan pemandangan kota Seoul yang cukup menyejukkan mata dengan gedung-gedung indahnya yang menjulang tinggi. Meskipun pandangannya lurus ke depan, tapi pikirannya melayang entah kemana. Ia terlihat memikirkan sesuatu yang mengusai pikirannya beberapa waktu belakangan ini. "Bagaimana bisa ia terlihat sama sekali tidak mengenaliku. Apakah dia sudah melupakannya? ah aku bahkan masih mengingat jelas. Tapi apa mungkin aku salah orang? tapi rasanya tidak." Erika berbicara sendiri kepada dirinya karena memang hanya ada dia di dalam ruang kerjanya ini. "Erika." Lamunan Erika langsung pecah saat seseorang masuk ke dalam ruangannya, Arin. Erika kembali duduk di kursi kebesarannya. Ia sempat menyesap coffe latte yang masih tersisa miliknya sementara Arin duduk di hadapannya. "Kau tau, respons masyarakat sangat luar biasa setelah kita meluncurkan teaser produk tebaru kita. Mereka terlihat sangat tidak sabar untuk menunggu perilisannya." "Aku sudah menduganya. Tidak ada pekerjaanku yang tida berhasil bukan," ucap Erika percaya diri sambil memperhatikan kuku-kuku tangannya yang baru saja ia warnai, terlihat sangat cantik.  "Ya, aku akui itu. Tapi memilih Julian sebagai modelnya juga merupakan pilihan yang bagus. Dia ternyata sedang terkenal, dan itu adalah ideku. Jadi kau harus berterima kasih padaku." Sekarang giliran Arin yang terlihat percaya diri karena merasa memiliki peran cukup besar dalam kesuksesan ini. "Tapi aku yang memiliki Julian." "Apa kau benar-benar serius menyukai dia?" "Tentu saja." "Bagaimana dengan Mark? bukankah kau dan dia memiliki hubungan?" tanya Arin mengingat sosok pria tampan berdarah Korea-Australia yang belakangan ini dekat dengan Erika. "Kami hanya berteman." "Aku pernah memergoki kalian berciuman di mansionmu. Apa yang seperti itu namanya berteman." "Seperti itulah caraku berteman. Kau saja yang terlalu kaku dengan temanmu. Sudahlah, aku tidak punya waktu menjawab pertanyaanmu yang terlalu banyak ingin tahu itu. Aku akan ke salon, aku butuh mewarnai sedikit rambutku." Erika mengambil tas mahalnya kemudian berlalu pergi keluar dari ruangannya. Arin hanya mampu menggeleng melihat tingkah sepupunya itu. Sepertinya hanya dirinya CEO yang tidak begitu sibuk. Untung ayah Arin dapat mengambil alih pekerjaan Erika jika ia sedang betingkah seperti ini. Entahlah, terkadang Arin bingung siapa sebenarnya CEO di perusahaan ini.  *** Erika meneguk minuman terakhirnya. Di luar cukup dingin karena sudah memasuki musim dingin, ia butuh sesuatu untuk menghangatkan tenggorokannya serta tubuhnya. Erika sesekali tersenyum pada orang-orang yang ia kenal di bar ini yang terlihat menyapanya. "Apakah aku lama?" tanya seorang pria berperwakan tinggi dengan tubuh atletis menghampiri Erika. "Tentu saja, kau bahkan membuat aku hampir menjadi santapan pria-pria disini," kesal Erika. Pria itu malah terlihat terkekeh.  "Maaf, ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Ayo aku antarkan pulang." Erika mengangguk kemudian membiarkan dirinya di rangkul oleh pria itu keluar dari bar. Kepalanya sudah mulai agak terasa berat, pasti ini karena ia cukup banyak minum. Erika memang sengaja tadi meminta supir pribadinya untuk pulang terlebih dahulu agar ia bisa dijemput oleh pria ini. Erika merasa kesal setiap kali pria ini selalu sibuk hingga melupakan dirinya. Pria tampan itu bernama Mark Anderson. Ia dan Erika sebenarnya sudah cukup lama kenal diacara makan malam keluarga karena orang tua Mark merupakan rekan kerja baik orang tua Erika dulu. Mark adalah seorang pengusaha di bidang perhotelan ikut membantu usaha keluarganya. Jadi sebenarnya tidak heran jika ia cukup sibuk. "Masuklah dan beristirahat," kata Mark saat ia sudah berhasil mengantarkan Erika sampai di depan pintu masuk mansionnya. "Kau tidak ingin masuk?" Erika menarik pelan dasi Mark agar mendekat kepadanya. Ia membuat pola-pola abstrak di d**a Mark. Sepertinya ia cukup mabuk. Gadis ini selalu saja seperti ini, sebagai pria normal tentu saja ini cukup menguji bagi Mark. Mark mendorong Erika agar masuk ke mansionnya kemudian menyudutkannya ke dinding dan mencium bibir gadis itu tidak sabaran. Erika tampak membalas ciuman Mark. Suara decapan ciuman panas mereka terdengar memenuhi ruangan. Mark mengarakan Erika agar naik ke gendongannya. Tanpa melepaskan ciuman mereka, Erika melingkarkan kakinya di pinggang Mark. Tangannya mengelus rambut Mark membuat Mark menggerang dalam ciuman mereka.  Mark berjalan memasuki lift menuju lantai dimana kamar Erika berada. Keduanya tampak sama sekali tidak terganggu. Setelah memasuki kamar Erika, Mark langsung menidurkan gadis itu di ranjangnya yang berukuran king size itu. Ia melepaskan ciumannya dan beralih menciumi leher Erika. Erika mengangkat kepalanya seolah memberi akses untuk Mark. Tubuhnya menggeliat merasakan sensi yang diberikan Mark. "Aahhh Julian..." Erika mengeluarkan desahannya. Mark langsung terhenti saat mendengar sebuah nama yang diucapkan Erika barusan, meskipun kurang jelas terdengar dan masih ragu nama siapa yang disebut Erika, tapi ia yakin itu bukanlah namanya.  Mark menjauhkan tubuhnya dari Erika. Erika tampak menutup matanya setengah sadar. Mark kembali berpikir sejenak, kemudian ia memutuskan untuk memperbaiki posisi tidur Erika, melepaskan sepatunya dan menutup tubuh itu dengan selimut tebalnya.  "Istirahatlah." Mark mencium singkat bibir ranum Erika sebelum akhirnya keluar dari kamar Erika. Erika tampak diam tidak bergeming, sepertinya ia sudah benar-benar tidur sekarang. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD