Chapter 3

1198 Words
Arin tiba di lokasi syuting iklan untuk produk terbaru Queeno de Parfume yang akan dilakukan hari ini. Tempat ini sudah ditata sedemikian rupa dan semuanya sangat sesuai dengan rancangan yang membuat Arin bisa bernafas lega. Ia mengecek semuanya secara detail, ia tidak ingin bosnya yaitu Erika akan mengomel jika ada yang tidak sesuai.  Tidak terlihat terlalu banyak properti karena memang iklan yang akan mereka buat bertema elegan, sesuai dengan parfum pria edisi Scent of King yang akan diluncurkan dalam waktu dekat ini. Terlihat beberapa kru masih berlalu lalang menyiapkan semuanya sebelum sebentar lagi proses syuting akan berlangsung. "Apa semuanya sudah siap?" Arin terlonjak kaget saat tiba-tiba Erika berdiri di sebelahnya. Ia bahkan tidak berkedip beberapa saat untuk memastikan apakah benar sosok di sebelahnya adalah Erika. "Tutup mulutmu, apa kau mau serangga masuk?" Arin langsung menutup mulutnya yang tanpa sadar terbuka. "Apa yang kau lakukan disini?" "Tentu saja mengecek proses pembuatan iklan produkku." "Bagaimana mungkin kau bangun sepagi ini dan datang kesini tanpa ada satu orangpun yang menyadarkanmu." "Semua orang pasti bisa berubah," balas Erika santai. Di balik kaca mata hitamnya, ia mengedarkan padangannya ke sekeliling tempat ini untuk mencari seseorang. Matanya terlihat seperti mata elang yang siap mencari mangsa.  "Apa yang kau cari?" tanya Arin menyadari gerak-gerik Erika. "Apa model kita sudah datang?" "Apa kau pikir model akan datang saat tempat syuting masih diatur seperti ini. Jadwal dia datang sekitar satu jam lagi." Erika terdengar mendesah kecewa.  "Baiklah." "Semuanya berjalan dengan baik. Kau bisa melihat hasil akhirnya nanti." "Aku akan menunggu disini untuk melihat prosesnya." "Benarkah? wah keajaiban apa lagi ini? tumben sekali seorang Erika mau menunggu." "Ya, apa salahnya. Aku ingin hasil yang terbaik untuk perusahaanku." "Benarkah itu alasannya? tidak ada maksud lain?" tanya Arin dengan nada menggoda. Ia bahkan menaik turunkan alisnya membuat Erika menatapnya aneh. "Tentu saja." "Kau pikir aku tidak tahu? Kau pasti kesini untuk menemui Juliankan." "Kalau begitu berpura-puralah tidak tahu." Erika langsung berlalu dari hadapan Arin. Telinganya terasa panas mendengar ocehan sepupunya itu. Erika memutuskan untuk berkeliling melihat-melihat. Tapi sebelum itu ia sempat menghampiri sebuah cermin yang menjulang tinggi untuk melihat penampilannya. Setelan jas kantor formal berwarna nude ini terlihat sangat pas di tubuhnya yang tinggi nan ramping. Lipstick merah yang selalu menjadi andalannya untuk memberi warna pada wajahnya yang putih membuatnya terlihat lebih menawan. Rambut panjangnya ia biarkan terurai. "Ah sangat sempurna," pujinya pada dirinya sendiri kemudian kembali melanjutkan untuk melihat-melihat. *** Erika dibuat hampir lupa caranya berkedip. Ia sengaja melepaskan kaca matanya yang membiarkan kaca matanya berada diatas kepalanya agar bisa melihat dengan jelas salah satu ciptaan Tuhan ini. Erika sesekali menahan nafasnya saat monitor untuk memantau hasil bidikan kamera terlihat memperbesar hingga wajah seseorang di dalam layar itu terlihat sangat jelas. "Jaga sikapmu, liur mu hampir saja menetes," bisik Arin berusaha menyadarkan Erika yang saat itu ikut memantau proses syuting. Erika yang tersadar berdehem pelan kemudian menyandarkan tubuhnya disandaran kursi berusaha untuk bersikap lebih tenang dan anggun. Mata hazelnya beralih dari layar ke objek sebenarnya yang tampak sedang fokus melakukan semua instruksi yang diberikan. Kini ia terlihat memejamkan matanya sambil menghirup aroma parfum dan terlihat sangat menjiwai. Saat mata itu terbuka usai pengambilan gambar selesai, tanpa sengaja matanya dan mata Erika saling bertemu. Erika langsung melemparkan senyuman termanis yang ia bisa, namun hanya bertahan 3 detik, senyum itu langsung sirna saat lawan yang ia tatap tidak membalas senyumannya dan malah mengalihkan pandangannya.  "Bagus, syuting untuk hari ini selesai hari ini. Kita lanjutkan lagi lusa. Terima kasih untuk kerja kerasnya Julian," kata sang sutradara menyudahi proses syuting iklan hari ini.  "Terima kasih untuk kerja kerasnya Pak," balas Julian sembari membungkuk sopan. Juliah terlihat sangat ramah kepada semua kru ataupun staff yang bekerja.  Tanpa aba-aba, Erika langsung melangkahkan kakinya menghampiri Julian. Julian yang tengah melepaskan beberapa atribut syuting seperti clip on terlihat langsung menyadari kehadiran Erika. "Kau bekerja sangat baik hari ini," puji Erika. "Terima kasih," balas Julian seadanya.  "Bagaimana kalau kita makan malam bersama?" tawar Erika. "Maaf saya ada kegiatan lain." "Ah tidak ada salahnya Julian pergi makan malam bersama bu Erika. Lagi pula mungkin kau lupa kalau kau tidak ada kegiatan setelah ini. Sangat tidak baik jika menolak niat baik seseorang, bukan begitu bu Erika?" manajer Han terlihat langsung ikut dalam obrolan ini membuat menatapnya tidak suka. Disaat Julian mencari cara untuk menghindar, ia malah menggagalkannya. "Tentu saja. Lagi pula memiliki hubungan yang baik di luar kerja juga sangat penting." "Baiklah, tapi kau harus ikut," kata Julian pada manajernya.  "Tentu saja aku akan ikut. Kalian bisa terkena masalah besar jika hanya pergi berdua," balasnya diiringi kekehan. Erika tersenyum senang, tidak masalah asalkan ia bisa makan bersama Julian meskipun harus membawa manajernya. *** "Sepertinya bosmu sangat tertarik dengan Julian." "Ku harap tidak bertahan lama. Ia membuat seseorang merasa tidak nyaman." "Ah itu sangat biasa. Lama-lama Julian juga akan terbiasa." "Kenapa kau malah mendukung?" "Bu Erika menjanjikan aku bonus jika aku bisa memberikannya waktu dengan Julian," balasnya diiringi cengirannya membuat Arin mencibir. Tentu saja uang bisa melakukan segalanya. Mereka berdua kembali menyantap makannya sembari memperhatikan dua orang yang berada di meja yang terpisah dengan mereka. Restoran dengan ruangan VIP yang mereka tempati sekarang sudah bisa dipastikan aman, jadi tidak akan ada yang bisa memata-matai mereka. Tentu saja sebagai seorang selebriti, Julian tidak bisa bebas melakukan apa saja. Jadi ia harus selalu berhati-hati. "Bisakah kau berhenti memperhatikanku?" ucap Julian jengah. Ia berhenti menyantap hidangannya dan menatap kesal seseorang yang sedari tadi membuatnya tidak nyaman. Bukannya ikut makan, ia malah menopang dagu sembari terus memperhatikan Julian makan. "Bagaimana bisa kau tetap terlihat tampan bahkan saat sedang makan?" tanya Erika. Diam-diam Julian menghembuskan nafas kasar. Ia sepertinya harus ekstra sabar menghadapi seseorang di hadapannya ini. "Apa kau gila?" "Aku tidak memiliki riwayat gangguan mental, jadi sepertinya aku baik-baik saja," balas Erika santai. Tidak mengerti harus bagaimana lagi menghadapi gadis di hadapannya membuat Julian pasrah. Ia akhirnya kembali melanjutkan santapannya. Menghadapi Erika malah membuat perutnya semakin lapar saja. "Aku akan berhenti memperhatikanmu makan asal kau memberikanku nomor ponselmu." Erika memberikan ponselnya pada Julian. Julian menatap ponsel itu sesaat, kemudian ia mengambilnya dan terlihat menekan beberapa nomor disana setelah itu mengembalikannya pada Erika. Erika mengambil ponselnya kembali dan langsung mencoba menelfon nomornya. Terdengar suara dering telfon, tapi bukan berasal dari ponsel Julian. Erika menoleh dan melihat manajer Han yang tengah memegang ponselnya yang baru saja berdering. Erika kini kembali menatap Julian dengan senyuman puasnya, ia tidak semudah itu untuk dibohongi. Ia bahkan sudah membaca pikiran Julian terlebih dahulu. "Tidak segampang itu Sayang," katanya kembali memberikan ponselnya pada Julian. Julian berdecak kesal kemudian mengambil ponsel itu dan kembali menekan sesuatu. Erika kembali mencoba menghubunginya dan benar saja kini ponsel dalam saku Julian yang berdering. "Simpan nomorku, tulis saja Queen. Tapi jika kau ingin menulisnya sayang, juga tidak masalah." Erika tersenyum puas kemudian sesuai janjinya ia berhenti memperhatikan Julian dan ikut melahap santapan makan malamnya. Ternyata tanpa sadar perutnya juga lapar. Julian menggelengkan kepalanya kecil melihat tingkah gadis aneh di hadapannya. Ia sudah biasa dipuja banyak wanita, baik itu dari penggemarnya maupun dari orang-orang di sekitarnya. Tapi kali ini sangat berbeda, gadis di hadapannya mendekatinya dengan cara sangat terang-terangan. Hal itu malah membuat Julian bingung dan risih dalam waktu bersamaan harus bersikap seperti apa. Benar-benar gadis yang aneh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD